Konten dari Pengguna

"Penumpang Musiman" di KRL dan Masalah yang Lebih Besar dari Etika Publik

Alifia Putri Yudanti
An ordinary girl who willing to learn more. Sedang belajar di Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia.
14 April 2025 11:09 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alifia Putri Yudanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun lalu, saya juga pernah ikut kesal.
Melihat ibu-ibu duduk di lantai stasiun sambil menyuapi anak-anak mereka, orang-orang berwajah ‘baru’ dengan santainya duduk di lantai gerbong, hingga anak-anak yang berteriak dan berlarian layaknya taman bermain. Yang terlintas di kepala saya waktu itu hanya penghakiman bahwa mereka tidak tertib.
ADVERTISEMENT
Saya, sebagai pengguna rutin dan menjadi si paling paham aturan, melihat mereka seperti gangguan terhadap kenyamanan yang seharusnya bisa saya nikmati. Tapi, semakin saya belajar, terutama soal interseksionalitas, saya pelan-pelan mulai merasa kemarahan yang saya tujukan salah arah.

Mereka yang Tidak Pernah Diundang ke Ruang Kota

Fenomena yang pernah saya lihat pun terjadi saat libur lebaran kemarin. Sebuah akun pegiat transportasi publik di X, @txttransportasi membuat cuitan “Perilaku penumpang KRL musiman. Gelar mainan pas di depan pintu 😮‍💨” yang disambut pengalaman serupa warganet lainnya hingga ribuan balasan.
Tangkapan layar cuitan @txttransportasi di X. (Sumber: Tangkapan layar pribadi)
Tidak ada yang salah dari menyampaikan keresahan melalui cuitan memang. Namun, yang mengganggu saya adalah penggunaan frasa “penumpang musiman” yang terdengar sangat diskriminatif. Istilah yang mungkin terlihat biasa saja ini justru secara halus menghakimi dan menetapkan batas siapa yang dianggap “benar” dan “salah” dalam menggunakan KRL sebagai transportasi publik di ruang kota.
ADVERTISEMENT
Dan, saat jadi pengguna pun mereka harus tunduk pada standar tidak tertulis yang dibuat oleh kelompok yang merasa lebih dulu “berhak” atas ruang itu, seperti kelas menengah urban, pengguna rutin, atau pekerja harian. Mereka seperti lupa dengan esensi inklusivitas dari transportasi publik, yang pada hakikatnya adalah milik bersama, bisa diakses siapa pun, dan dari latar belakang mana pun.
Ketika akun yang seharusnya memperjuangkan perluasan akses justru ikut mereproduksi narasi eksklusif, saya jadi bertanya-tanya: apa benar kita sedang memperjuangkan transportasi publik yang inklusif? Atau kita hanya ingin sistem yang nyaman untuk kita saja, dan diam-diam mengusir mereka yang tidak sesuai dengan standar kita?

Akses yang Tidak Setara, Tapi Dituntut Sama Rata

Kita sering lupa bahwa tidak semua orang memiliki akses yang setara untuk memahami, apalagi beradaptasi, dengan aturan sosial yang dominan. Banyak ibu-ibu yang disoroti warganet dalam cuitan viral itu kemungkinan datang dari luar atau pinggiran Jakarta, seperti Jonggol, Cariu, Rangkasbitung, atau Parungpanjang. Wilayah-wilayah yang secara administratif masuk dalam cakupan Jabodetabek, tapi secara infrastruktur masih tertinggal jauh dari pusat kota.
ADVERTISEMENT
Di tempat-tempat seperti itu, akses terhadap ruang terbuka, taman kota, atau fasilitas transportasi publik yang aman dan nyaman sangatlah minim. Sehingga, menggunakan KRL ke pusat kota menjadi satu-satunya cara ‘berlibur’ paling murah sekaligus memberikan pengalaman baru untuk anak-anak mereka.
Sayangnya, sistem tidak memberi mereka eksposur, informasi, ataupun ruang belajar tentang bagaimana seharusnya ruang-ruang kota itu digunakan. Tidak ada edukasi tentang etika transportasi publik yang disampaikan dalam bahasa yang bisa mereka pahami. Tidak ada ruang tunggu yang nyaman dan layak untuk keluarga dengan anak kecil di stasiun. Tidak ada pula kesadaran kita untuk menegur mereka secara baik-baik. Yang ada justru kamera ponsel, guna mengabadikan momen yang terlihat “tidak tertib”, lengkap dengan caption menyindir.
ADVERTISEMENT
Dan di sinilah interseksionalitas berbicara. Diskriminasi berupa stigma yang dialami oleh perempuan dalam cuitan di atas terjadi karena status sosial ekonomi mereka, peran pengasuhan yang melekat pada mereka—khusunya perempuan, serta pola mobilitas yang tidak sesuai dengan standar “ideal” ala kelas menengah urban. Akibatnya, mereka menjadi tubuh-tubuh asing di ruang publik yang seharusnya menjadi milik semua.
Padahal, mereka hanya hadir dengan cara yang berbeda. Dan, bagi saya, selama tidak melakukan tindak kejahatan, mereka tidak melanggar apa pun; mereka hanya tidak teredukasi dan terfasilitasi. Tapi, karena sistem tidak mampu (atau tidak mau) mengakomodasi, maka merekalah yang akhirnya disalahkan.

Kota Ini Tidak Ramah untuk yang Sekali Datang

Kita sering kali menggaungkan “ruang publik milik semua”. Tapi, melihat diskriminasi terhadap pengguna baru KRL di atas, saya kembali mempertanyakan siapa saja yang dimaksud dengan “semua” ini. Karena bisa jadi, kita mengecualikan mereka dari perjuangan.
Situasi di dalam KRL Jabodetabek. (Sumber: Freepik/EyeEm)
Iqball, dkk. (2020) dalam penelitiannya di Karachi, Pakistan menyebut bahwa transportasi yang tidak inklusif membuat perempuan miskin kehilangan akses terhadap mobilitas. Secara tidak langsung, mereka juga kehilangan akses terhadap kesempatan hidup yang layak karena budaya, kebijakan, dan infrastruktur yang bias​.
ADVERTISEMENT
Saya rasa, Jakarta juga mengalami hal yang sama. Kota ini ramah untuk mereka yang terbiasa, tapi mencekam bagi mereka—pendatang baru atau yang datang hanya sesekali saja. Dan ketika mereka datang, lalu tidak tahu harus duduk di mana, membawa makanan sendiri, atau membuat anak-anak bermain di tempat yang “tidak semestinya”, kita dengan mudah menyebut mereka “tidak tahu aturan”.
Padahal, aturan itu pun dibuat oleh mereka yang sudah lebih dulu punya akses. Kita yang sudah terbiasa duduk nyaman di gerbong ber-AC—yang paham mana bangku prioritas, mana jalur antre, penggunaan lift prioritas—sejatinya adalah produk dari sistem yang mendukung. Sementara, mereka adalah korban dari sistem yang tidak pernah memberi ruang belajar.

Mereka Bukan Masalah. Merekalah “Bukti” Masalahnya

Saya pun memahami setiap keluhan terhadap penumpang baru KRL adalah valid. Karena, kita semua tentu ingin perjalanan yang nyaman dan aman. Tapi, mari kita refleksikan: kenyamanan seperti itu tidak bisa dibangun di atas pengusiran diam-diam terhadap mereka yang paling tidak punya pilihan.
ADVERTISEMENT
Ketika melihat kegiatan mereka yang tidak umum dilakukan di KRL, secara dangkal kita menganggap itu sebagai pelanggaran norma. Tapi kenyataannya, yang kita saksikan bukanlah masalah perilaku semata melainkan cerminan dari sistem yang gagal menjangkau semua orang.
Mereka duduk, makan, bahkan menjadikan KRL sebagai bagian dari “wisata keluarga” karena memang tidak ada akses lain. Menurut saya, perilaku mereka justru menjadi indikator paling jujur kebobrokan negara kita: mereka jarang menggunakan transportasi publik secara rutin karena sistem memang tidak pernah dirancang untuk mereka.
Anand dan Tiwari (2006) pernah mencatat bagaimana relokasi warga miskin ke pinggiran kota tanpa diikuti penguatan infrastruktur transportasi membuat perempuan kehilangan pekerjaan, kehilangan waktu, dan kehilangan ruang aman untuk mengasuh anak. Ketika mobilitas dibatasi, maka seluruh aspek kehidupan ikut terisolasi​.
ADVERTISEMENT
Itulah mengapa, transportasi bukan sekadar moda, tapi juga salah satu penopang utama guna bertahan hidup. Dan ketika negara gagal menyediakan akses itu, sayangnya, yang kerap disalahkan bukan sistemnya, melainkan mereka yang paling terdampak olehnya.
Gambar KRL Jabodetabek, sumber penghidupan bagi banyak orang di ibu kota. (Sumber: iStock/Yarphoto)
Ini seharusnya menjadi kritik keras terhadap negara bahwa pembangunan transportasi publik kita masih jauh dari kata inklusif. Wilayah pinggiran masih jauh dari jangkauan. Akses tidak merata. Edukasi pun tidak tersedia.
Maka, jangan heran jika KRL hanya dipahami sebagai tempat wisata, bukan kebutuhan utama. Perilaku “tidak tertib” itu muncul karena belum ada kebiasaan yang dibentuk dan belum ada sistem yang secara aktif merangkul mereka masuk.
Kekaguman kita terhadap Jepang–yang masyarakatnya dikenal sangat tertib dalam menggunakan transportasi publik–pun perlu direfleksikan kembali karena terdapat proses panjang dan sistemik yang membuat itu terjadi. Di Jepang, jaringan transportasi menjangkau kota besar hingga desa-desa kecil. Tiket bisa diakses siapa pun. Edukasi dimulai sejak kecil. Dan, infrastruktur dibangun bertujuan untuk memudahkan semua lapisan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kita tidak bisa berharap perilaku pengguna berubah hanya dengan menyindir. Perubahan budaya dalam bertransportasi hanya bisa tumbuh jika dibarengi dengan perubahan struktural dan kultural. Dan, perubahan itu tidak akan datang dalam semalam.
Ia harus dibangun secara bertahap, dimulai dari komitmen pemerintah dan masyarakat untuk memastikan bahwa transportasi publik bukan hanya milik mereka yang tahu caranya, tapi juga mereka yang baru ingin belajar.

Daftar Referensi

Anand, A., & Tiwari, G. (2006). A Gendered Perspective of the Shelter–Transport–Livelihood Link: The Case of Poor Women in Delhi. Transport Reviews, 26(1), 63–80.
Crenshaw, K. (2019). On Intersectionality: Essential Writings. The New Press.
Iqbal, S., Woodcock, A., & Osmond, J. (2020). The effects of gender transport poverty in Karachi. Journal of transport geography, 84, 102677.
ADVERTISEMENT
___________________________________________
Alifia saat ini adalah mahasiswi Program Studi Kajian Gender Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia.