Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Peran Lembaga Kesehatan dalam Kebijakan Penghapusan Sistem Kelas BPJS
6 Juni 2024 13:09 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Aliyah Qisthi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
BPJS Kesehatan merupakan badan hukum publik yang dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Dari beberapa perubahan dan perbaikan regulasi terkait Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), salah satu perubahan yang dirancangkan oleh Pemerintah Indonesia adalah pergantian kebijakan klasterisasi kelas rawat inap menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
ADVERTISEMENT
Jadi nantinya sistem kelas rawat inap 1, 2, dan 3 akan dihapus, menjadi hanya dengan satu standar kelas. Penerapan KRIS BPJS Kesehatan akan membawa ketentuan baru terkait kapasitas kelas rawat inap.
Sebelumnya, kelas 1 memiliki kapasitas 1-2 orang per kamar, kelas 2 berkapasitas 3-5 orang per kamar, dan kelas 3 berkapasitas 4-6 orang per kamar. Tapi dengan adanya sistem KRIS, kelas 2 dan 3 akan digabung. Artinya, maksimal kapasitas rawat inap menjadi empat orang per kamar.
Pelaksanaan KRIS JKN sendiri merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dalam Pasal 19 ayat 1 disebutkan, “Jaminan Kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas.”
ADVERTISEMENT
Kemudian di pasal 23 ayat 4 dijelaskan bahwa dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas pelayanan di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar. Jika dilihat dari pasal tersebut, peran lembaga kesehatan tidak bisa dipisahkan dengan adanya perubahan ini.
Oleh karena itu, peningkatan jumlah rumah sakit dan perawatan yang berkualitas sangat penting untuk menjawab kebutuhan kesehatan masyarakat. Berdasarkan keterangan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), sudah ada 728 rumah sakit yang memenuhi kriteria 12 Kelas Rawat Inap Standar Jaminan Kesehatan Nasional (KRIS JKN).
Adapun 12 kriteria itu meliputi berbagai komponen, mulai dari sisi bangunan, kelengkapan fasilitas di rumah sakit, hingga pembagian ruangan perawatan berdasarkan jenis kelamin dan jenis penyakit (infeksi dan non infeksi).
ADVERTISEMENT
Alasan utama pemerintah mengganti sistem itu adalah untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Selain itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut pergantian sistem juga bertujuan untuk mencegah terjadinya defisit.
Selain untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat dan mencegah defisit, alasan lain dihapuskannya sistem kelas BPJS adalah untuk memaksimalkan peran dari pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) dalam proses pemeriksaan atau skrining kesehatan warga. Tidak hanya melakukan tindakan skrinning tahap awal, puskesmas juga perlu melakukan tindakan promotif dan preventif, sehingga anggaran BPJS Kesehatan dialokasikan kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan.
Kebijakan penghapusan sistem kelas pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dapat memiliki sejumlah dampak positif bagi lembaga kesehatan, seperti rumah sakit dan puskesmas. Beberapa dampak positifnya antara lain dapat meningkatkan akses pasien ke pelayanan kesehatan. Dengan demikian, lembaga kesehatan dapat melayani sejumlah lebih besar pasien, termasuk mereka yang sebelumnya mungkin memilih kelas yang lebih rendah karena biayanya lebih terjangkau.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kebijakan ini dapat mengurangi beban administratif yang terkait dengan manajemen sistem kelas, termasuk administrasi biaya berdasarkan kelas. Lembaga kesehatan dapat lebih fokus pada perawatan pasien tanpa harus mengelola perbedaan biaya kelas.
Mengikuti kebijakan penghapusan kelas BPJS yang mendukung kesetaraan akses ke layanan kesehatan juga dapat meningkatkan citra publik lembaga kesehatan. Hal ini bisa mengundang lebih banyak pasien dan dukungan dari masyarakat.
Namun, perlu diingat bahwa implementasi kebijakan semacam ini juga dapat menimbulkan beberapa tantangan dan penyesuaian awal bagi lembaga kesehatan. Mereka perlu memastikan bahwa mereka dapat menjaga kualitas pelayanan sambil mengakomodasi peningkatan volume pasien. Dengan begitu, dalam jangka panjang dampak positif dapat lebih dominan dan memberikan manfaat bagi lembaga kesehatan.
ADVERTISEMENT