Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Antara Wahyu & Akal: Pemahaman Agama Berasal dari Tuhan atau Pemikiran Manusia?
28 Oktober 2024 17:57 WIB
·
waktu baca 12 menitTulisan dari aliyah rafika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang telah menjajarkan akal dan wahyu secara adil. Al-Qur’an mengajak manusia untuk menggunakan akal secara maksimal, tetapi juga menyadarkan manusia akan kemampuannya yang terbatas. Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam yang tidak ada keraguan di dalamnya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia.
ADVERTISEMENT
Namun pemahaman akan wahyu ilahi tersebut sering kali didapatkan melalui proses penafsiran yang dilakukan oleh akal manusia, yang tentu saja tidak lepas dari kesalahan dan kekeliruan. Hingga kemudian muncul pertanyaan apakah keyakinan dan pemahaman yang di pegang selama ini bersumber dari pemikiran Tuhan yang Maha Kuasa atau merupakan hasil dari interpretasi manusia yang mungkin saja keliru? Apakah yang kita ikuti selama ini merupakan pemikiran Tuhan berdasarkan wahyu atau hasil pemikiran manusia yang menafsirkan wahyu tersebut?
Dalam persoalan pertanyaan di atas bahwa meskipun Al-Qur’an dianggap sebagai firman Tuhan yang sempurna, namun pemahaman atas isi kandungannya juga penerapannya dalam kehidupan sehari-hari sangat bergantung pada akal dan tafsir manusia. Maka dari itu diskusi tentang harmonisasi antara akal dan wahyu menjadi penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Bagaimana cara menyeimbangkan penalaran rasional dengan panduan wahyu Allah untuk tetap menjadi titik sentral dalam upaya mencari pemahaman yang utuh terhadap kebenaran dalam tradisi intelektual Islam.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, perlunya kita mengkaji dan memahami bagaimana peran akal manusia dalam menafsirkan wahyu, mengeksplorasi potensi kekeliruan yang muncul dalam proses tafsir, hingga mampu mempertimbangkan cara-cara untuk membedakan antara pemikiran Illahi dan hasil dari penafsiran manusia.
MEMAHAMI DEFINISI, FUNGSI DAN KEDUDUKAN WAHYU DAN AKAL
Definisi wahyu sendiri berasal dari bahasa Arab al-wahy yang artinya suara, api dan kecepatan. Menurut Harun Nasution wahyu mengandung pengertian secara sembunyi-sembunyi dan cepat, tetapi kemudian wahyu lebih dikenal sebagai penyampaian firman Allah kepada orang pilihan-Nya agar disampaikan kepada manusia untuk dijadikan pedoman dan pegangan hidup dunia akhirat (Nasution, 2011).
Dalam Islam wahyu Allah disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang terkumpul semua dalam kitab suci Al-Qur’an. Sedangkan menurut Buya Hamka wahyu adalah tuntunan yang diberikan Allah dengan perantaraan Malaikat Jibril langsung kepada Rasul-Nya yang terkadang berupa mimpi besar yang mencakup 2 bentuk yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Beliau menyebutkan bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam yang pertama, diikuti oleh Sunnah. Jika tidak bertemu pada Sunnah dipakailah Ijtihad dengan syarat harus dalam lingkaran Al-Qur’an dan Sunnah yang kemudian disebut dengan Ijma’ dan Qiyas (Fattah, 2023). Hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pendapat Hamka tentang kedudukan wahyu sama dengan para ulama, yaitu menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah menjadi sumber hukum tertinggi.
ADVERTISEMENT
Pengetahuan diperoleh dari akal, dan di dalam Al-Qur’an sendiri akal diberikan penghargaan yang tinggi. Bukan hanya merupakan ajaran dalam teori, tetapi ajaran yang telah pernah diamalkan oleh cendekiawan dan ulama Islam, Tidak sedikit ayat-ayat yang menganjurkan dan mendorong manusia supaya banyak berpikir dan mempergunakan akalnya (Nasution, 2011).
Secara bahasa menurut Hamka akal berarti ikatan, yaitu dipergunakan untuk menerangkan sesuatu yang mengikat manusia dengan Tuhan. Ia juga mengandung arti mengerti, memahami dan berpikir (Daud Ali, 2009).
Para ahli filsafat dan ahli ilmu kalam mengartikan akal sebagai daya (kekuatan atau tenaga) untuk memperoleh pengetahuan, daya yang membuat seseorang dapat membedakan dirinya dengan orang lain. Menurut Hamka, Islam sangat mendorong manusia untuk menggunakan akal dengan semestinya, karena itu Islam sangat melarang manusia untuk buta ilmu.
ADVERTISEMENT
METODE PENAFSIRAN AL-QUR’AN OLEH MANUSIA
Tafsir sendiri secara umum merupakan upaya manusia untuk memahami makna yang terkandung di dalam wahyu. Upaya yang dilakukan untuk menjelaskan dengan tepat, benar dan penuh dengan kehati-hatian terhadap pemaknaan suatu ayat menjadi sangat penting karena kesalahan dalam menjelaskan dan memaknai akan berakibat fatal pada utuhnya pemahaman seseorang terhadap suatu ayat. Maka dari itu, sangat dibutuhkan seorang mufasir yang kompeten dan ahli dibidangnya supaya dapat meminimalkan kesalahan dan pemahaman terhadap suatu ayat (Amrona et al., 2023).
Setelah kepergian Rasulullah SAW, permasalahan yang dihadapi umat semakin banyak dan kompleks. Rasulullah yang dipercaya sebagai sumber utama perpanjangan tangan dari Allah SWT dan suri teladan seluruh umat muslim sedikit banyak telah bergeser posisinya sebagai rujukan utama dalam menuntut ilmu. Menanggapi hal ini, para sahabat dan generasi berikutnya berusaha meneruskan perjuangan dakwah Rasulullah dengan tetap mengkaji dan mendalami ayat-ayat Al-Qur’an melalui proses penafsiran ayat Al-Qur’an (Huda et al., 2024).
ADVERTISEMENT
Penafsiran Al-Qur’an sepeninggal Rasulullah dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in. Periode penafsiran tersebut dinamakan dengan istilah tafsir bil ma’tsur yang berlangsung 150 H. Dikatakan sebagai tafsir bil ma’tsur karena tafsir jenis ini didasarkan pada riwayat-riwayat baik nabi, sahabat atau generasi tabi’in. Ulama tafsir berpendapat bahwa sumber utama penafsiran Al-Qur’an adalah ayat Al-Qur’an. Penjelasan dari suatu ayat sebagian besar dijelaskan oleh ayat lain yang turun setelahnya. Penafsiran yang mengambil sumber atau wahyu dari Al-Qur’an merupakan model tafsir tertinggi yang tidak dapat dibandingkan dengan yang lain.
Memasuki periode kedua, penafsiran Al-Qur’an dilakukan oleh ahli tafsir yang kemudian dikenal dengan istilah tafsir bil ra’yi, dimana penafsiran ini menggunakan pemahaman, penalaran dan pemikiran manusia tetapi tidak secara mutlak terlepas dari penafsiran-penafsiran berikutnya.
ADVERTISEMENT
Berakhirnya masa salaf sekitar abad ke 31 H, peradaban Islam semakin maju dan berkembang. Pada saat itulah lahir berbagai macam mazhab dan aliran di lingkaran umat Islam yang menggunakan hadist nabi sebagai sumber lalu menafsirkannya sesuai dengan keyakinan yang dianut. Situasi ini adalah saat tafsir bil ra’yi berkembang. Kaum Fuqaha menafsirkan Al-Quran dari sudut pandang Fikih seperti Al-Jashshash dan Al-Qurtubi. Kaum teolog menafsirkan Al-Quran dari sudut pandang Teologi seperti Tafsir Al-Kasysyaf karangan Al-Zamakhsary. Kaum sufi juga menafsirkan Al-Quran menurut pemahaman dan pengalaman batinntya seperti Tafsir Al-‘Adzim karya Al-Tustari (Huda et al., 2024).
Hingga saat ini para ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai ragam sumber dari penafsiran Al-Qur’an. Menurut Abd al-Wahab Fayd (1980) menjelaskan bahwa sumber rujukan tafsir Al-Qur’an itu ada 5 yaitu: Al-Qur’an, Hadist, Perkataan sahabat dan tabi’in, kaidah-kaidah kebahasaan serta ijtihad yang didasarkan pada dalil. Selain itu, menurut Imam Az-Zarkasyi menyatakan bahwa terdapat empat sumber tafsir, yaitu hadits, perkataan para sahabat, kemutlakan bahasa arab, dan sesuai dengan hukum syariat.
ADVERTISEMENT
Abd al-Hayy al-Farmâwî menyatakan bahwa metode penyajian tafsir yang dilakukan oleh kalangan ulama terbagi menjadi empat macam, pertama, tahlîlî (analitis), kedua, ijmâlî (global), ketiga, muqaran (komparatif), dan keempat maudlû’î (tematik) (Haromaini, 2015).
Pertama, Metode Tafsir Tahlîlî yang mengandung makna “mengurai atau menganalisis” yang menyoroti al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan. Dalam melakukan penafsiran, mufassir memberikan perhatian sepenuhnya kepada semua aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian ayat.
Kedua, Metode Tafsir Ijmâlî adalah metode tafsir yang digunakan untuk menjelaskan uraian singkat dan global tanpa uraian panjang lebar boleh dikatakan metode ini menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara singkat tetapi mencakup, dengan menggunakan bahasa yang populer, mudah untuk dimengerti, dan enak dibaca. Sistematikanya menuruti susunan ayat dalam mushaf. Di samping itu, penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an, sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar al-Qur’an padahal yang didengarnya itu adalah tafsirannya.
ADVERTISEMENT
Ketiga, Metode Tafsir Muqarran yang memiliki arti perbandingan, dalam arti metode yang digunakan dalam metode ini adalah cara kerja dengan membandingkan. Objek kajian tafsir dengan metode ini dapat dikelompokkan kepada tiga macam, yaitu: 1) Perbandingan ayat al-Qur’an dengan ayat lain. Dengan cara ini, membandingkan ayat-ayat yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang berbeda. 2) Perbandingan ayat al-Qur’an dengan hadits. Mufassir membandingkan ayat-ayat alQur’an dengan hadits nabi yang terkesan bertentangan, kemudian berusaha menemukan kompromi antara keduanya. 3) Perbandingan produk penafsiran mufassir dengan mufassir lain.
Mufassir membandingkan penafsiran ulama tafsir, baik ulama salaf maupun ulama khalaf dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat manqûl (tafsir bi al-ma’tsûr) maupun ra’y (tasir bi al-ra’y) dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tertentu ditemukan adanya perbedaan di kalangan ulama tafsir, karena perbedaan hasil ijtihad, latar belakang sejarah, wawasan dan sudut pandang masing-masing.
ADVERTISEMENT
Ke-empat, Metode Tafsir Maudlû’î yang sedang banyak digandrungi oleh sebagian kalangan mufassir. Metode maudlû’î atau sistematika penyajian tematik adalah metode yang ditempuh seorang mufassir dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang satu tema atau masalah serta mengarah kepada satu pengertian dan tujuan, sekalipun turunnya ayat secara berbeda tetapi tersebar pada berbagai surat dalam al-Qur’an dan berbeda pula waktu dan tempat turunnya.
KEKLIRUAN DALAM TAFSIR: APAKAH MUNGKIN?
Sebagai manusia yang memiliki latar belakang berbeda, pengalaman hidup yang unik, berbagai perspektif budaya yang beragam. Semua hal tersebut dapat mempengaruhi bagaimana seseorang menafsirkan wahyu yang kemudian tidak bebas dari interpretasi yang keliru.
Sejarah menunjukkan bahwa tafsir ayat-ayat Al-Qur’an dapat berubah dari satu era ke era yang lainnya sesuai dengan perkembangan pemikiran dan kondisi sosial yang ada. Misalnya, interpretasi ayat-ayat yang berhubungan dengan gender, pemerintahan, atau hukum mungkin akan berbeda dari satu ulama ke ulama yang lain dan sebagian besar dipengaruhi oleh konteks zamannya masing-masing. Kekeliruan dalam penafsiran dapat mempengaruhi keyakinan iman dan praktik agama yang dilakukan oleh umat Islam. Kesalahan akan tafsir akan berdampak pada lahirnya pandangan ekstrem, pengucilan terhadap kelompok tertentu dan penyalahgunaan agama untuk tujuan politik atau ideologis.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu untuk menghindari kesalahan fatal dalam penafsiran wahyu diperlukan kriteria dan syarat mufassir yang baik dengan mengutip banyak ilmuan tafsir seperti Mana Khalil al-Qathan dalam Mabhits fi Ulum Al-Quran mengemukakan beberapa kriteria mufasir, di antaranya adalah sebagai berikut (Adib, 2017):
1) Berniat Baik dan bertujuan benar, 2) Memiliki akhlak yang baik, 3) Taat dan beramal, 4) Berlaku jujur dan teliti, hal ini penting untuk menjaga akurasi dan kebenaran pendapatnya, sehingga mufasir tidak berbicara atau menulis kecuali telah melakukan penyelidikan terhadap apa yang diriwayatkannya, 5) Bersikap tawadhu’ dan lemah lembut karena kesombongan ilmiah merupakan dinding yang kokoh yang menghalangi seorang alim akan kemanfaatan ilmunya, 6) Berjiwa mulia, 7) Vokal dalam menyampaikan kebenaran. 8) Menjaga penampilan sehingga dapat menjaga kewibawaan mufasir dan kehormatan dalam segala penampilannya, 9) Bersikap tenang dan mantap, mufasir hendaknya tidak tergesa-gesa dalam berbicara, 10) Mendahulukan yang lebih utama dari pada dirinya, 11) Menempuh dan menetapkan langkah-langkah penafsiran dengan baik.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, mengutip dari Al- Qathan, Ghazali dan Gunawa yang meringkas 9 syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mufasir ketika akan menafsirkan Al-Qur’an yaitu:
1) Memiliki kaidah yang benar, 2) Bersih dari hawa nafsu, 3) Terlebih dahulu menafsirkan Al-Qur’an dengan al-Qur’an, 4) Menafsirkan dari Sunnah, 5) Meninjau para sahabat, 6) Memeriksa pendapat para tabi'in, 7) Menguasai pengetahuan bahasa Arab dengan segala cabangnya, 8) Menguasai pokok-pokok ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, 9) Memiliki pemahaman yang cermat.
Selanjutnya, sangat penting juga para mufasir menguasai ilmu yang dapat membantu mereka dalam menafsirkan Al-Qur’an seperti: Lughhah al-Arobiyah (bahasa Arab), Qawaid al-lughah (atauran-atauran bahasa Arab), Ilmu ma'ani, bayan dan badie, dapat menentukan yang mubham (samar) dapat menjelaskan yang mujmal (umum), dan dapat mengetahui sebab nuzul dan naskh, mengetahui ijmal, tabyin, umum, khusus, itlaq, taqyid, petunjuk suruhan, petunjuk larangan dan yang sepertinya menguasai ilmu kalam dan ilmu qiraat.
ADVERTISEMENT
Secara lebih terperinci merangkum dari buku Muhammad Husayn al-Dhahabi yang telah menulis sebuah kitab yang khusus menjelaskan penyimpangan-penyimpangan penafsiran yang terdapat di dalam kitab tafsir. Ia menulis sebuah buku yang berjudul al-Ittijahat al-Munharifah fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, Dawafi’uha wa Daf’uha. Diterbitkan pertama kali tahun 1978 di Kairo oleh penerbit Dar al-I’tisam (Rifai, 2019).
Salah satunya adalah, Penyimpangan dalam tafsir Mu’tazilah. Kaum mu’tazilah ini merupakan kalangan kaum muslimin yang menafsirkan Al-Qur’an dengan melampaui batas kewajaran. Mereka lebih senang menafsirkan ayat-ayat yang dapat diterima oleh akal dan pikiran semata. Contoh penafsiran Q.S An-Nisa ayat: 164
وَكَلَّمَ اللّٰهُ مُوْسٰى تَكْلِيْمًاۚ
Artinya: “Dan Allah telah berbicara (Kalam) kepada Musa secara langsung.”
Menurut kaum mereka ayat tersebut bertentangan dengan pendapat mereka tentang sifat Allah al-Kalam. Diakhir ayat terdapat kata masdar taklima untuk menguatkan kata kerja kallama dan untuk menghilangkan kemungkinan arti yang tidak sebenarnya atau (majaz).
ADVERTISEMENT
Penafsiran ini disesuaikan dengan ideologi yang mereka yakini, sehingga bacaan ayat tersebut tetap terbaca demikian sesuai dengan bacaan mutawatiir, tetapi mereka mena’wilkannya dengan arti lain sehingga tidak bertentangan dengan ajaran pokok Mu’tazilah. Kata kallama ( )كل م berasal dari al-kalim الكلمyang berarti luka الجرح karena itu makna ayat tersbut adalah “Allah melukai Musa dengan cakar dan cobaan-coban hidup.
Penafsiran yang demikian dapat dianggap sebagai kekeliruan, kepalsuan dan makna yang dibuat-buat. Penafsiran mereka, yang berbeda dengan penafsiran ulama-ulama lain, telah mengabaikan riwayat para tabi’in yang oleh kebanyakan mufassir telah diterima sebagai pegangan. Misalnya, sebagian mereka memandang bahwa Musa-lah yang berbicara dengan Allah Swt. Bukan Allah yang berbicara kepada Musa.
ADVERTISEMENT
KESIMPULAN
Akal dan wahyu memiliki hubungan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Akal saja tidaklah cukup untuk membawa manusia kepada Allah SWT, dan jika hanya bersandar pada akal saja tanpa bimbingan wahyu, maka manusia akan selalu berada dalam kebodohan, primitif dan jauh dari kemajuan. Hal ini selaras dengan penjelasan Ibnu Taimiyah. Menurut Ibnu Taimiyah, akal merupakan syarat dalam memahami pengetahuan, kesempurnaan dan amal kebaikan. Dengannya akan sempurna perpaduan antara ilmu dan amal.
Namun akal tidaklah berdiri sendiri, akan tetapi ia adalah naluri yang ada dalam jiwa dan kekuatannya seperti kekuatan pandangan yang ada pada mata. Apa bila akal yang tersinari oleh cahaya iman dan Al-Qur’an, seumpama mata yang tersinari cahaya matahari dan api. Apabila akal berdiri sendiri maka tidak akan tampak olehnya hal-hal yang kasat mata, dan apabila hilang cahaya itu secara keseluruhan, maka perbuatan dan ucapan tanpa bimbingan itu sebagaimana binatang. akal dan wahyu dalam Islam sejatinya tidak saling bertentangan. Keduanya harus saling disinergikan agar dapat mencapai kebenaran dari Allah. Sebab akal tidak dapat mengetahui kebenaran dengan sendirinya tanpa bantuan wahyu. Begitu pun wahyu tidak bisa dipahami tanpa perantara akal.
ADVERTISEMENT
REFERENSI
Adib, N. (2017). Faktor-Faktor Penyebab Penyimpangan dalam Penafsiran Al-Quran. Mawa’Izh: Jurnal Dakwah Dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan, 8(1), 1–30. https://doi.org/10.32923/maw.v8i1.694
Al-Qur’an. (n.d.). PPPA Daarul Qur’an.
Amrona, Y. L., Anggraheni, U. S., Nurhuda, A., Al Fajri, M., & Aziz, T. (2023). Human Nature in the Perspective of Islamic Philosophy. LISAN AL-HAL: Jurnal Pengembangan Pemikiran Dan Kebudayaan, 17(2), 204–216. https://doi.org/10.35316/lisanalhal.v17i2.204-216
Daud Ali, M. (2009). Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Rajawali Pers.
Fattah, A. (2023). Harmoni Akal dan Wahyu dalam Islam: Perspektif Buya Hamka. PUI-PT CIOS UNIDA Gontor). https://ciosunidagontor.com/harmoni-akal-dan-wahyu-dalam-islam-perspektif-buya-hamka/
Haromaini, A. (2015). METODE PENAFSIRAN AL-QUR’AN. Jurnal Asy-Syukriyah, 14, 24–35.
Huda, A. A. S., Abdussalam, A., Husniah, L., Salsabila, S., & Nurhuda, A. (2024). Penelusuran Makna, Perkembangan, Dan Sumber Penafsiran Al-Quran Ditinjau Dari Sudut Pandang Teoritis. Journal of Linguistica, 1(1), 1–11. https://doi.org/10.62872/5mzjz594
ADVERTISEMENT
Nasution, H. (2011). Akal dan Wahyu Dalam Islam (II (Ed.)). UI Press.
Rifai, A. (2019). Kesalahan Dan Penyimpangan Dalam Tafsir. Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu Dan Budaya Islam, 2(02), 130–148. https://doi.org/10.36670/alamin.v2i02.22
***
Aliyah Rafika
Mahasiswa Pascasarjana - SKSG UI
Kajian Timur Tengah dan Islam