Konten dari Pengguna

Jangan Biarkan Mereka Sendiri: Mari Peduli pada Kesehatan Mental Mahasiswa

Alvia
Seorang Mahasiswi yang menempuh pendidikan di Universitas Airlangga
9 Desember 2024 18:15 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alvia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kesehatan mental, kata yang mungkin dianggap remeh oleh sebagian orang. Bagi sebagian orang mungkin hanya sekedar candaan, namun bagi orang yang mengalami hal itu sangatlah berat. Akhir-akhir ini banyak sekali berita tentang bunuh diri yang dilakukan oleh mahasiswa. Dalam sebuah studi pada tahun 2022, ditemukan angka bunuh diri di Indonesia mungkin empat kali lebih besar daripada data resmi. Itu berarti masih banyak kasus yang belum kita ketahui. Jika kita telisik lebih dalam, kemungkinan faktor yang menyebabkan mereka bunuh diri adalah dari lingkungan kampus. Salah satunya yaitu perundungan, kasus ini tidak hanya di tingkat sekolah saja, melainkan ada di tingkat universitas juga. Mahasiswa yang seharusnya sudah lebih dewasa dan terbuka pikirannya, tetap saja ada yang melakukan perundungan. Perundungan yang dilakukan mungkin bukan dalam bentuk kekerasan fisik, melainkan melalui kekerasan verbal. Seperti mengujarkan kebencian,menghina, atau bahkan mengucilkan. Hal tersebut memang sepele, namun sangat menganggu aktivitas mahasiswa yang mengalaminya. Hingga akhirnya mereka tak tahan dan memilih untuk mengakhiri hidupnya.
ADVERTISEMENT
Faktor internal juga memengaruhi kesehatan mental mahasiswa. Karena, mahasiswa berada pada fase peralihan dari remaja menuju dewasa. Hal itu membuat mahasiswa memiliki kecenderungan emosi yang masih labil. Di lingkungan kampus mahasiswa dituntut harus mampu beradaptasi dengan kebebasan yang baru dimilikinya, ditambah dengan kondisi pembelajaran yang sangat berbeda dengan masa sekolah. Akibat dari hal tersebut mahasiswa mengalami rasa kecemasan yang tinggi dan rentan menderita depresi. Selain itu, hal yang memicu mereka stress adalah jauh dari keluarga, masalah finansial, tugas kuliah, tuntutan menyelesaikan studi dengan nilai tinggi, persaingan dengan teman-teman untuk mendapat nilai baik, dan lain-lain. Mahasiswa yang sering stress kemungkinan kurang edukasi ataupun pengetahuan tentang pengaturan emosi. Yaitu kemampuan seseorang mengelola dan menanggapi pengalaman emosional secara efektif. Untuk menghindari stress yang berlebihan, sangat penting bagi kita untuk mempelajari life skills. Seperti problem solving (pemecahan masalah), critical thinking (berpikir kritis), dan emotional regulation (pengaturan emosi).
ADVERTISEMENT
Yang harus kita lakukan sebagai sesama manusia jika, terdapat orang di lingkungan sekitar kita mengalami hal tersebut adalah dengan memberi dukungan dan mendengarkan cerita mereka. Perilaku kecil seperti itu bisa jadi memotivasi mereka untuk terus bertahan. Karena pada dasarnya mereka hanya butuh didengar dan didukung oleh lingkungan sekitar. Mereka butuh diyakinkan dan ditemani agar tidak merasa sendiri. Kita tidak boleh memberikan stigma negatif ataupun menghakimi mereka tanpa tahu apa masalah yang sedang mereka hadapi. Hal itu akan membuat mereka menjadi lebih stress dan mungkin saja terbesit di pikiran mereka untuk mengakhiri hidupnya, karena mereka merasa sudah tidak ada yang peduli dengan mereka. Jika ada yang ingin bercerita dan meminta saran kepada kita, coba tempatkan diri kita sebagai orang itu. Berikanlah mereka saran yang tepat dan sesuai atau cukup dengarkan saja cerita mereka. Mereka bercerita kepada orang lain agar lebih lega dan tidak merasa sendiri.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana jika orang yang depresi itu adalah kita. Kita harus bisa mengontrol pikiran kita, melawan emosi dan pikiran negatif yang muncul saat depresi. Cobalah untuk berpikir positif dan motivasi diri anda. Mencoba hal-hal baru juga bisa mendistraksi pikiran kita, seperti rutin berolahraga, mengikuti kelas melukis, atau ikut berpartisipasi dalam kegiatan amal dan sosial. Penting untuk diingat, perasaan setiap manusia valid dan penting untuk diakui. Jika sulit untuk menjalani masa sulit ini seorang diri, ingatlah untuk mencari dukungan dari keluarga maupun kerabat atau bisa juga bergabung dalam sebuah kelompok dukungan bagi sesama penderita depresi. Dimana kita bisa saling bertukar pikiran dan pengalaman dalam mengatasi depresi, sehingga dapat memahami kondisi ini dengan lebih baik lagi. Terbuka kepada orang lain adalah kunci untuk mengurangi depresi. Kita harus bisa bersosialisasi dengan baik, agar dapat menerima dukungan sosial yang baik. Selain itu, bisa meningkatkan rasa percaya diri kita.
ADVERTISEMENT
Depresi bukanlah akhir dari segalanya. Dengan dukungan yang tepat, pengobatan, dan tekad yang kuat, kita dapat mengatasi dan sembuh dari depresi. Ingatlah, anda tidak sendirian, banyak orang telah berhasil melewati masa-masa sulit ini dan kini hidup lebih bahagia. Jangan ragu untuk mencari bantuan profesional dan membangun jaringan dukungan yang kuat di sekitar anda. Mari kita bersama-sama menghapus stigma negatif terhadap depresi dengan meningkatkan kesadaran dan memberikan dukungan kepada mereka yang sedang berjuang. Kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan penuh empati bagi semua orang. Lingkungan yang suportif dan penuh empati dapat menjadi faktor kunci dalam pemulihan dari depresi. Mari kita bersama-sama menciptakan masyarakat yang lebih peduli terhadap kesehatan mental dan menghilangkan stigma yang masih melekat pada depresi.
sumber gambar: https://www.freepik.com/premium-ai-image/person-who-is-experiencing-hallucinations-delusions-sitting-alone-dark-room_43862330.htm?sign-up=google