Konten dari Pengguna

Asmara 2 Lembaga: Istana dan Senayan

Amanda Dea Lestari
Akademisi Universitas Adiwangsa Jambi
22 Februari 2021 6:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amanda Dea Lestari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Anggota DPR RI duduk di tengah ruangan rapat DPR RI. Foto: Helmi Afandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Anggota DPR RI duduk di tengah ruangan rapat DPR RI. Foto: Helmi Afandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam tradisi sistem pemerintahan presidensial yang baik seperti di Amerika Serikat, berkembang adagium bahwa
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan Indonesia, apakah adagium ini akan berlaku bagi birokrat kita? Masih membahas tema yang sama dengan tulisan sebelumnya, mengenai sistem kepartaian dan sistem pemerintahan. Kali ini lebih melihat bagaimana hubungan yang terjadi antara lembaga kepresidenan di istana dengan lembaga parlemen di senayan sebagai implikasi dari penerapan sistem multipartai terhadap sistem pemerintahan presidensial di Indonesia.
Hubungan yang tercipta antara Presiden dengan DPR merupakan hubungan yang bersifat politik-transaksional, hal ini dikarenakan dukungan riil politik presiden di parlemen merupakan minoritas dan fragmentasi partai politik di parlemen yang lebar. Dalam kondisi seperti ini presiden dalam mengajukan RUU akan selalu berhadapan dengan banyaknya kepentingan partai politik yang berbeda-beda.
Contohnya pembahasan RUU Pemilihan Presiden yang berlarut-larut berkaitan dengan syarat persentase pengajuan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik serta ketentuan bagi Ketua Umum partai politik yang terpilih, harus bersedia mengundurkan diri apabila terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu untuk memperoleh dukungan parlemen Presiden harus membuka ruang kompromi yang besar dengan kepentingan-kepentingan tersebut. Hal ini disinyalir menjadikan produk legislasi Presiden dan DPR banyak memiliki kelemahan karena sarat dengan kepentingan sesaat hasil dari kompromi yang luas. Hal ini paling tidak dapat dilihat dari banyaknya gugatan judicial review materi UU yang diajukan ke MK.
Hak Prerogatif Presiden
Dalam sistem pemerintahan presidensial, Presiden memegang kekuasaan selaku kepala pemerintahan dan selaku kepala negara. Selaku kepala pemerintahan, Presiden mempunyai kekuasaan untuk menjalankan UU, mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri, membentuk UU bersama dengan DPR, membentuk Peraturan Pemerintah, menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU, dan mengajukan RAPBN.
Hak prerogatif mempunyai arti hak yang melekat dalam fungsi kepala negara sebagai konsekuensi logis dari sifatnya yang “can do wrong”. Kepala negara adalah sebagai simbol representasi negara dan sebagai simbol pengikat dan pemersatu dalam negara. Hak ini merupakan hak khusus atau hak istimewa yang tidak dimiliki oleh fungsi jabatan kenegaraan lain. Hak ini dikeluarkan kepala negara berupa putusan atas nama negara yang bersifat final, mengikat, dan memiliki kekuatan hukum tetap, yang merupakan hak tertinggi yang tersedia dan disediakan oleh konstitusi bagi kepala negara.
ADVERTISEMENT
Hak prerogatif kepala negara ini meliputi hak di bidang hukum untuk memberikan: (1) Grasi, yakni hak kepala negara untuk memberikan pengampunan hukuman kepada Terpidana atas putusan hukum yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. (2) Amnesti, yaitu hak kepala negara untuk memberikan pengampunan dalam arti tidak memberlakukan proses hukum terhadap warga negara yang telah melakukan kesalahan kepada negara. (3) Abolisi, yakni hak kepala negara untuk meniadakan putusan hukum atau meniadakan proses hukum. (4) Rehabilitasi, yakni hak kepala negara untuk memulihkan nama baik warga negara yang sebelumnya tercemar oleh putusan hukuman yang kemudian terbukti hukuman tersebut ternyata terbukti salah.
Selain di bidang hukum, hak prerogatif presiden selaku kepala negara juga terdapat dalam bidang politik, yakni hak untuk mengeluarkan Dekrit atau Maklumat. Dekrit merupakan hak kepala negara yang hanya dikeluarkan apabila negara dalam keadaan yang tidak normal, yang bisa mencakup seluruh wilayah negara atau hanya sebagian wilayah.
ADVERTISEMENT
Dalam perubahan UUD 1945 hak prerogatif presiden untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi diatur dalam Pasal 14 yang selengkapnya berbunyi: “(1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. (2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Alasan perlunya memperhatikan pertimbangan dari DPR dalam pemberian amnesti dan abolisi didasarkan pada: Pertama, amnesti dan abolisi lebih bersifat politik. Kedua, amnesti dan abolisi biasanya diberikan kepada pihak yang bersifat massal. Menurut Bagir Manan, ketentuan ini kurang tepat, karena kekuasaan presiden untuk memberikan amnesti dan abolisi merupakan kekuasaan atau hak presiden dalam bidang yudikatif, sedangkan DPR merupakan lembaga politik. Dalam bidang yudikatif pertimbangan yang diperlukan presiden adalah pertimbangan hukum, bukan pertimbangan politik.
ADVERTISEMENT
Hak Presiden selaku kepala negara lainnya diatur dalam Pasal 13 UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut: (1) Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Alasan diperlukannya pertimbangan dari DPR dalam hal pengangkatan duta adalah untuk menjaga objektivitas terhadap kemampuan dan kecakapan seseorang pada jabatan tersebut. Hal ini dilandasi praktik penunjukan duta selama terkesan sebagai jabatan yang diberikan kepada orang tertentu yang dianggap “berjasa” pada pemerintah, ataupun sebagai “pembuangan” bagi orang yang dianggap bersalah kepada pemerintah.
Hak kepala negara lainnya adalah hak untuk memberikan gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan. Berdasarkan Pasal 15 UUD 1945 dalam memberikan penghargaan tersebut haruslah berdasarkan UU agar terjaga objektivitasnya. Semua kekuasaan dan hak tersebut di atas merupakan hak istimewa yang dipunyai kepala negara, dalam hal ini Presiden. Akan tetapi ternyata dalam menggunakan hak ini presiden tidak dapat digunakan atas kehendak sendiri, melainkan ada mekanisme checks and balances dengan lembaga tinggi negara lainnya.
ADVERTISEMENT
Berkaitan dengan hubungan presiden dengan DPR dalam sistem multipartai, maka penggunaan hak ini semakin sulit dilakukan oleh presiden. Pembatasan yang dilakukan konstitusi dalam penggunaan hak ini merupakan reduksi atas hak kepala negara selaku simbol tertinggi dalam suatu negara.
Sebagai contoh dalam hal pengangkatan duta besar, dalam Pasal 13 ayat (1) UUD 1945 mensyaratkan Presiden untuk memperhatikan pertimbangan DPR. Dalam praktiknya calon duta besar yang akan diangkat oleh Presiden diajukan ke DPR dan kemudian DPR melakukan fit and proper test. Hal ini merupakan dapat memberi kesan bahwa DPR yang melakukan seleksi mengenai layak tidaknya calon duta usulan presiden ini.
Praktik ini dapat disamakan dengan “dalam mengangkat duta, Presiden harus mendapat persetujuan DPR”. Oleh karena itu dalam sistem presidensial dengan multipartai ini, dalam penggunaan haknya presiden mengalami kesulitan, karena harus mendapatkan dukungan dari mayoritas fraksi di DPR.
ADVERTISEMENT
Konflik Istana dan Senayan
Dalam sistem pemerintahan presidensial berdasarkan asas separate of power seringkali terjadi konflik antara Presiden dengan parlemen. Mekanisme checks and balances di mana parlemen mempunyai fungsi pengawasan terhadap kebijakan pemerintah sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD Pasal 25 huruf c.
Kemudian untuk menjalankan fungsinya tersebut DPR memiliki hak yang diatur dalam Pasal 26 antara lain yakni hak interpelasi. Dengan hak ini DPR mempunyai wewenang untuk bertanya kepada pemerintah berkaitan dengan kebijakan pemerintah maupun yang berhubungan dengan kepentingan umum.
Setelah pemilihan umum 1999 yang demokratis, konflik antara Presiden dengan DPR ini juga terjadi. Sejarah mencatat dalam pemerintahan Abdurrahman Wahid terjadi konflik antara Pemerintah dan DPR. Mulai dari pemberhentian beberapa menteri Kabinet Persatuan dari Partai Golkar dan PDIP, pengangkatan Ketua Mahkamah Agung, Pengangkatan Kapolri sampai issue puncak dugaan keterlibatan Presiden dalam kasus Bulloggate dan Bruneigate.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus pengangkatan Ketua MA 2000. Calon Ketua MA waktu itu Muladi dan Bagir Manan yang dicalonkan DPR ditolak Abdurrahman Wahid dengan alasan terkait Orde Baru. Pasal 8 (3) UU No 14 Tahun 1985: “Ketua dan Wakil Ketua MA diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara di antara Hakim Agung yang diusulkan oleh DPR”. Untuk beberapa saat, terjadi kekosongan Ketua MA sehingga tugas-tugas yang seharusnya menjadi wewenang Ketua MA diambil alih Wakil Ketua yang saat itu dijabat Taufik. Dan akhirnya terpilih Bagir Manan sebagai Ketua MA tanggal 20 Mei 2001 setelah Muladi mengundurkan diri.
Konflik kedua mengenai pengangkatan Kapolri Komjen (Pol) Chaerudin Ismail tanpa persetujuan DPR. Pengangkatan Chaerudin Ismail sebagai Kapolri oleh Presiden tanpa ada persetujuan dari DPR. Sehingga Abdurrahman Wahid telah melanggar TAP MPR No VII/2000 Tentang Peran TNI dan Kepolisian, Pasal 3 (3) dan Pasal 7 (3) disebutkan” Untuk pengangkatan panglima TNI dan Kapolri harus dengan persetujuan DPR.”
ADVERTISEMENT
Terakhir isu sentral yang menjadi faktor utama lengsernya Abdurrahman Wahid yaitu kasus Bulloggate dan Bruneigate. DPR membentuk Pansus Bulloggate dan Bruneigate untuk menangani kasus tersebut. Pembentukan Pansus ini menimbulkan kontroversial antara Abdurrahman Wahid yang menganggap Pansus ini ilegal, inkonstitusional dan sarat muatan politik. Sedangkan DPR menganggap legal dan sesuai dengan prosedur yang ada.
Akhirnya berdasarkan Rapat paripurna DPR awal Februari 2001 memutuskan untuk mengeluarkan Memorandum I kepada Presiden karena telah melanggar TAP MPR No IV Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Menanggapi hal ini Presiden, melalui juru bicaranya Wimar Witoelar menyatakan akan mempercepat reformasi terutama dalam hal pemberantasan KKN dan penegakan hukum. Dan ini direalisasikan dengan ditetapkan beberapa pejabat Orde Baru yang terlibat KKN, antara lain Probosutedjo, Hendro Budiyanto, Ginandjar Kartasasmita dsb.
ADVERTISEMENT
Tiga bulan setelah dikeluarkannya memorandum I kemudian DPR mengadakan Paripurna akhir April 2001 untuk menilai kinerja Pemerintah setelah turunnya memorandum I. DPR memutuskan bahwa belum ada usaha yang signifikan dari pemerintah untuk melakukan perubahan untuk memberantas KKN dan menegakkan hukum, sehingga keluarlah memorandum II.
Pemerintahan Abdurrahman Wahid berakhir setelah Sidang Istimewa MPR tanggal 21 Juli 2001. Sidang Istimewa itu disusul Dekrit Presiden tanggal 22 Juli 2001 yang menyatakan: pertama pembubaran DPR/MPR, kedua pembekuan Partai Golkar dan ketiga Percepatan Pemilu. MA kemudian mengeluarkan fatwa untuk menolak Dekrit tersebut dan menyatakan Presiden melampaui batas kewenangannya dan berdasarkan UUD 1945 Presiden tidak berhak untuk membubarkan DPR/MPR, pembekuan Partai Golkar dan melakukan percepatan Pemilu.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian dari praktik ketatanegaraan tersebut dapat diketahui Presiden bertanggung jawab kepada MPR tidak sebatas masalah konstitusional saja tetapi juga masalah politik. Hal ini berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh Bagir Manan, bahwa pertanggungjawaban Presiden kepada MPR hanya terbatas pada pelanggaran yaitu pelanggaran terhadap haluan negara dan atau UUD, sedangkan mengenai kebijakan (beleid) tidak dapat menjadi dasar meminta pertanggungjawaban.
Menurut Donny Gahral Aidan, dalam perubahan UUD 1945, Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada lembaga negara melainkan langsung kepada rakyat. Dalam menjalankan tugas kepresidenan ini Presiden diawasi oleh DPR (Pasal 20A ayat 1 UUD 1945). Dalam komposisi DPR yang terdiri dari banyak partai, tentu saja terdapat banyak kepentingan, sehingga pengawasan DPR menjadi sangat banyak dan beragam macamnya.
ADVERTISEMENT
Sangat dimungkinkan pengawasan yang dilakukan DPR akan berujung kepada penggunaan hak-hak DPR untuk meminta keterangan dan menyelidiki, dan hal tersebut dapat digunakan dalam area beleid (kebijakan). Selanjutnya peraturan perundang-undangan tidak tegas mengatur keadaan apabila interpelasi yang diajukan DPR tidak dijawab atau dijawab dengan tidak memadai maka bagaimana penyelesaian permasalahan tersebut. Karena untuk diteruskan menjadi impeachment hal tersebut tidak memenuhi syarat konstitusi.
Secara yuridis mekanisme penyelesaian krisis politik yang terjadi dalam sistem presidensial tidak tersedia, akan tetapi dengan melihat ketentuan Pasal 7A UUD 1945 mengenai alasan impeachment terdapat ketentuan yang multi tafsir yakni “ ... Atau perbuatan tercela lainnya …” ketentuan ini dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan krisis politik yang terjadi. Akan tetapi impeachment sebagai sarana yuridis untuk mengatasi krisis politik memiliki risiko tinggi, karena dengan impeachment akan membahayakan rezim itu sendiri.
ADVERTISEMENT