Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perdebatan Kontemporer Sistem Pemerintahan dan Kepartaian Indonesia
20 Februari 2021 11:36 WIB
Tulisan dari Amanda Dea Lestari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Banyak keluhan di pelbagai media mengenai perpaduan sistem pemerintahan dan sistem kepartaian Indonesia dewasa ini. Kebebasan politik pasca reformasi dan amandemen UUD 1945 menghasilkan suatu kombinasi yang tidak lazim dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yakni kombinasi sistem pemerintahan presidensial dengan sistem multipartai. Realitanya kombinasi sistem pemerintahan dan kepartaian yang dianut Indonesia saat ini menimbulkan berbagai konflik yang berimplikasi pada kurang terbangunnya sistem pemerintahan presidensial yang kuat, stabil, dan efektif.
ADVERTISEMENT
Minim Dukungan
Idealnya, untuk menjaga stabilitas pemerintahan dalam struktur politik presidensial, partai presiden haruslah partai mayoritas, yaitu partai yang didukung suara mayoritas di parlemen. Kekuatan mayoritas ini diperlukan dalam parlemen, untuk menjamin stabilitas pemerintahan terpilih agar dapat menjalankan kewajiban konstitusionalnya dengan mudah dan lancar. Namun, suara mayoritas ini sulit diperoleh oleh partai presiden dalam situasi multipartai, kecuali mengandalkan koalisi partai politik di parlemen dan kabinet agar dapat meraih suara mayoritas untuk menjamin stabilitas pemerintahan.
Koalisi Tidak Sehat
Koalisi akan memperkuat pemerintahan apabila memiliki satu visi dan misi. Sebaliknya, koalisi dapat juga menjadi ancaman bagi pemerintah dengan beralih menjadi oposisi jika kepentingan partai tersebut tidak sejalan dengan Presiden. Inilah persoalan rumit yang dihadapi oleh presiden dalam menjalankan pemerintahan. Sehingga berakibat pada lamban dan lemahnya sikap presiden dalam menentukan kebijakan. Presiden harus memikirkan kepentingan-kepentingan partai koalisi yang berbeda-beda.
ADVERTISEMENT
Susunan kabinet yang mestinya harus diisi dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dapat diandalkan dalam menjalankan tugas presiden namun yang terjadi justru anggota kabinet yang memiliki SDM yang tidak memadai, hal ini terjadi akibat perhitungan politik yang menempatkan beberapa anggota partai politik koalisi untuk dimasukkan dalam jajaran kabinet. Sehingga hal ini tidak efektif dalam menjalankan sistem pemerintahan dan bahkan membatasi sistem presidensial. Hasilnya adalah hubungan eksekutif dan legislatif yang terus menerus tegang dan berkonflik yang berujung pada kebuntuan (deadlock).
Mereduksi Hak Prerogatif Presiden
Prinsip dasar presidensialisme mengenai pengangkatan dan pemberhentian anggota kabinet merupakan hak prerogatif presiden mengingat kedudukan presiden merupakan sentral dalam kekuasaan eksekutif. Dalam keadaan ini, hak prerogatif presiden akan direduksi. Reduksi kekuasaan presiden akan semakin kuat apabila koalisi yang terbangun tidak memiliki kedekatan secara ideologis atau bersifat pragmatis. Selain itu, dalam presidensialisme, koalisi antar partai juga cenderung lebih sulit dibangun dibandingkan dalam parlementerisme.
ADVERTISEMENT
Subjektivitas Presiden
Dalam pengambilan keputusan, presiden harus mempertimbangkan kepentingan-kepentingan partai koalisi yang ada, sehingga hal ini justru mempersulit dan mempengaruhi subjektivitas presiden dalam pengambilan keputusan. Keadaan ini secara tidak langsung membuat kedudukan Presiden yang kuat dalam konstitusi menjadi lebih lemah dalam sistem multipartai.
Subjektivitas presiden dalam pengambilan keputusan sangat tidak sejalan dengan teori kedaulatan rakyat dan demokrasi. Dalam konsep demokrasi, kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Demokrasi memerlukan keterbukaan pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan, bukan malah terjebak pada kepentingan-kepentingan koalisi partai yang berbeda-beda.
Multipartai Sederhana
Maraknya partai politik peserta pemilihan umum yang terjadi sejak pemilihan umum tahun 1999 memunculkan keprihatinan, kritik, sekaligus desakan dari banyak kalangan untuk membatasi jumlah partai politik menjadi sistem multipartai sederhana.
ADVERTISEMENT
Selama ini sudah ada upaya untuk menyederhanakan sistem kepartaian di Indonesia, namun upaya tersebut merupakan penyederhanaan melalui media kekuasaan yang bersifat memaksa, dan tentu saja hal ini merupakan bentuk otoritarianisme yang tidak demokratis. Hak untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat merupakan salah satu prinsip dalam materi konstitusi, sehingga kekuasaan (negara) tidak dapat melarangnya kecuali melanggar dua hal yakni: perkumpulan tersebut secara dilakukan secara ilegal dan ilegalitas tersebut dapat menimbulkan kekacauan dan kedua perkumpulan tersebut legal akan tetapi diadakan dengan maksud mengacaukan ketentraman atau membahayakan masyarakat umum.
Mendesain Tiga Institusi Politik
Ada tiga desain institusi politik yang perlu dirancang dan di tata kembali untuk memperkuat sistem presidensial. Pertama, desain pemilu, dirancang untuk mendorong penyederhanaan jumlah partai politik di parlemen sekaligus mendukung penguatan sistem pemerintahan presidensial.
ADVERTISEMENT
Penyederhanaan jumlah partai politik dapat ditempuh melalui beberapa agenda rekayasa institusional (institutional engineering), antara lain: menerapkan sistem pemilu distrik (plurality/majority system) atau sistem campuran (mixed member proportional), memperkecil besaran daerah pemilihan (distric magnitude), menerapkan ambang batas kursi di parlemen (parliamentary threshold) secara konsisten, dan menggabungkan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden.
Menyederhanakan jumlah partai di lembaga parlemen dengan menerapkan parliamentary threshold sebesar 5% secara konsisten. Diharapkan dengan angka tersebut nantinya di lembaga parlemen hanya ada sekitar 5 sampai 6 partai saja atau dapat dikatakan dengan istilah multipartai sederhana. Dengan berkurangnya jumlah partai dalam lembaga parlemen berarti juga jumlah fraksi yang ada dalam parlemen menjadi berkurang. Dengan demikian proses-proses politik di parlemen menjadi lebih sederhana dan efisien dalam kerangka checks and balances yang proporsional.
ADVERTISEMENT
Selain itu persyaratan untuk bisa ikut menjadi peserta pemilu harus diperketat. Kalau selama ini persyaratamya hanya menyangkut masalah administrasi semata, maka ke depan harus ditingkatkan, misalnya usia parpol yang bersangkutan harus lebih dari 5 tahun, telah memiliki atau mampu menjalankan peran politik (komunikasi, rekrutmen, partisipasi, dan sosialisasi) khususnya dalam melakukan mengagregasi kepentingan masyarakat (menyerap dan menyalurkan aspirasi) dan sebagainya. Sehingga ketika mereka dipercaya oleh rakyat tidak gagap dan gugup.
Kedua, desain institusi parlemen, rancangan kelembagaan parlemen diarahkan untuk menyederhanakan polarisasi kekuatan politik di parlemen, seperti pengurangan jumlah fraksi melalui pengetatan persyaratan ambang batas pembentukan fraksi, regulasi koalisi parlemen ke dua politik (pendukung dan oposisi), serta penguatan dan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk mengimbangi DPR agar fungsi checks and balances tidak hanya terjadi antara Presiden dan DPR, tetapi juga antara DPR dan DPD.
ADVERTISEMENT
Ketiga, desain institusi kepresidenan, diarahkan untuk memperkuat posisi presiden di hadapan parlemen, agar kekuasaan parlemen tidak di atas presiden, tetapi juga menghindari terlalu kuatnya posisi presiden. Rekayasa institusional yang dilakukan antara lain: penataan ulang sistem legislasi, kejelasan kewenangan wakil presiden dan relasi antara presiden dan wakil presiden, dan aturan larangan rangkap jabatan bagi anggota kabinet.
Struktur masyarakat yang pluralis dengan ditopang banyak partai politik, harus diikuti pembenahan internal partai politik agar dapat berfungsi sebagai penopang demokratisasi di negara modern. Partai politik harus meminimalkan oligarki dalam organisasinya dan mengembalikan perannya sebagai mesin politik yang mampu menghasilkan kader-kader calon pemimpin bagi bangsa dan negara.
Amanda Dea Lestari (Penulis adalah Mahasiswi Program Magister Ilmu Hukum, Departemen Hukum Pemerintahan, Universitas Jambi).
ADVERTISEMENT