Konten dari Pengguna

Perempuan Parlemen dalam Tafsir Al-Misbah Karya Quraish Shihab

Amanda Dea Lestari
Akademisi Universitas Adiwangsa Jambi
24 Agustus 2021 10:32 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amanda Dea Lestari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Woman say: Our True History. Foto: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Woman say: Our True History. Foto: Unsplash
ADVERTISEMENT
Partisipasi sebagai salah satu aspek penting dalam sistem demokrasi sangat mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik dalam suatu negara. Termasuk partisipasi perempuan yang bisa diekspresikan dalam berbagai bentuk, seperti partisipasi untuk memilih dan dipilih, partisipasi dalam perumusan kebijakan, partisipasi menempati jabatan birokrasi, dan partisipasi dalam organisasi sosial politik. Undang Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD menciptakan lingkungan kondusif bagi perempuan untuk berpartisipasi di ranah publik. Pasal 6 UU ini mengatur tentang kuota setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”.
ADVERTISEMENT
Padahal keterlibatan dan aspirasi perempuan patut diperhitungkan dalam membangun peradaban dunia. Mengingat saat ini, nilai dan norma sosial terus berubah, perempuan juga mengalami berbagai kemajuan dan menunjukkan peningkatan dari segi kualitas dan kuantitas dibidang pendidikan, sosial, dan ketenagakerjaan.
Nilai-nilai yang timpang dalam masyarakat tentang hubungan gender telah terinternalisasi ke dalam diri perempuan dan diterima sebagai kebenaran oleh masyarakat luas. Padahal peran dan partisipasi perempuan merupakan prasyarat mutlak bagi proses demokrasi. Pada prinsipnya perempuan merupakan pelaku politik yang paling memahami kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri. Sehingga perempuan harus terlibat dalam setiap pengambilan kebijakan publik, khususnya yang berhubungan langsung dengan kepentingan mereka. Seperti halnya kaum laki-laki, perempuan juga dituntut untuk peduli terhadap masalah-masalah sosial dan politik yang berkembang dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sebagian orang melihat keberadaan perempuan di parlemen sebagai sesuatu yang diharamkan dan dosa yang nyata. Tapi pengharaman ini perlu didukung dengan dalil yang tegas. Kalau tidak, tentu tidak dapat pula diterima. Pada dasarnya semua tindakan duniawi hukumnya boleh, kecuali bila ada dalil yang mengharamkannya, lalu mana dalil yang mengharamkan hal tersebut.
Sejatinya persoalan tersebut secara normatif berlandaskan pada Al-Quran, maka tentu yakin bahwa konsep-konsep yang dibangun oleh Al-Quran tidak akan ada satu ayat pun yang saling bertentangan. Yang harus dilakukan adalah menghadapi ayat-ayat Al-Quran yang demikian untuk melakukan dekonstruksi dan memaknai ulang terhadap ayat-ayat yang dinilai bias gender. Sebab, prinsip dasar Al-Quran adalah menegakkan keadilan, termasuk di dalamnya adalah keadilan gender. Usaha untuk melakukan dekonstruksi dan memaknai ulang terhadap ayat-ayat yang dinilai bias gender tersebut dapat dikaji ulang dalam tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab.
ADVERTISEMENT
Sebagai perempuan, penulis berusaha melihat pandangan ahli tafsir Prof. M. Quraish Shihab dalam menepis ketidakmungkinan keterlibatan perempuan di dalam parlemen dengan alasan-alasan yang dapat di angkat dan mampu membuka cara pandang kita terhadap eksistensi keterlibatan perempuan di parlemen.
Tafsir Al-Misbah Karya Quraish Shihab
Dalam Tafsir Al-Misbah, Muhammad Quraish Shihab menggunakan metode tahlili. Sebuah bentuk karya tafsir yang berusaha mengungkap kandungan Al-Quran dari berbagai aspeknya. Dari segi teknis tafsir disusun berdasarkan urutan ayat-ayat di dalam Al-Quran. Selanjutnya memberikan penjelasan-penjelasan tentang kosakata makna global ayat, korelasi Asbab al-Nuzūl dan hal-hal lain yang dianggap dapat membantu untuk memahami ayat-ayat Al-Quran.
Tafsir Al-Misbah cenderung bercorak sastra budaya dan kemasyarakatan (adabi al-ijtimā’i) yaitu corak tafsir yang berusaha memahami nash-nash Al-Quran dengan cara mengemukakan ungkapan-ungkapan Al-Quran secara teliti. Kemudian menjelaskan makna-makna yang dimaksud Al-Quran tersebut dengan bahasa yang indah dan menarik, dan seorang mufassir berusaha menghubungkan nash-nash Al-Quran yang dikaji dengan kenyataan sosial dengan sistem budaya yang ada.
ADVERTISEMENT
Perang Jamal-Aisyah dan Ratu Saba
Kepemimpinan Aisyah dalam perang Jamal menjadi salah satu contoh menarik dalam memahami kesadaran dan partisipasi perempuan, terutama perempuan muslimah. Islam telah memberikan ruang dan kesempatan bagi perempuan untuk melakukan berbagai upaya kebolehan untuk menjadi pemimpin dalam berbagai urusan. Kaum perempuan muslimah tidak boleh tinggal diam menyaksikan kerusakan-kerusakan yang terjadi di tengah masyarakatnya.
Selain itu Al-Quran juga menceritakan kepada kita tentang Ratu Saba yang bijaksana dan mempunyai pikiran yang brilian dalam menghadapi Nabi Sulaiman, sejak ia menerima surat dari Burung Hud-Hud. Bagaimana Ratu Saba memperlakukan risalah Sulaiman yang singkat dan tegas, dan bagaimana pula ia mengumpulkan para pemimpin dan pemuka kaumnya untuk mendukung pemerintahannya.
Perempuan sebagai manusia mukallaf (diberi tanggung jawab) sama seperti lelaki, dituntut untuk beribadah kepada Allah, menegakkan agama, melaksanakan kewajiban, menjauhi larangan, menghormati batas-batas-Nya, berdakwah untuk agama-Nya, dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Al-Quranul-Karim membebankan tanggung jawab kepada laki-laki dan perempuan sesuai firman Allah dalam QS. At-Taubah ayat 71 untuk membimbing dan memperbaiki masyarakat. Hal ini di ungkapkan dengan istilah, “amar makruf nahi mungkar”.
ADVERTISEMENT
Di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perempuan mukminah melaksanakan perannya dengan baik. Bahkan perempuan pertama yang berani angkat suara untuk mengakui dan mendukung kenabian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Khadijah radhiyallahu ‘anha dan syahid pertama demi membela islam adalah Sumayyah Ummu Ammar radhiyallahu ‘anha. Bahkan di antara kaum perempuan muslimah ada yang ikut berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada peperangan Uhud dan Hunain serta dalam berbagai perang lainnya.
Tidak Perlu Bukan Berarti Tidak Boleh
Prinsip keadilan sangat dijunjung tinggi dalam Islam. Keadilan yang diberikan Islam berupa kesetaraan dan kesederajatan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban kepada kaum laki-laki dan kaum perempuan disesuaikan dengan tanggung jawabnya masing-masing. Jadi, Islam tidak memandang identik atau persis sama antara hak laki-laki dan perempuan. Islam tidak pernah menganut preferensi dan diskriminasi yang menguntungkan laki-laki dan merugikan perempuan.
ADVERTISEMENT
Dalam fikih, perempuan tidak perlu bekerja mencari nafkah karena kehidupan dan kebutuhannya sudah terjamin dalam ketentuan fikih. Tidak perlu bukan berarti tidak boleh. Perempuan dapat berbuat dan bekerja selama ia mampu menjaga dirinya dari ancaman luar yang merendahkan martabatnya sebagai seseorang perempuan yang dimuliakan. Al-Quran memberikan peluang yang sama sesuai dengan kadar usaha yang dilakukannya.
Perintah untuk belajar dan membaca yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW berlaku untuk seluruh manusia tanpa membedakan jenis kelamin, jarak wilayah, dan waktu. Tidak ditemukan pula ayat atau hadis yang melarang kaum perempuan untuk aktif dalam dunia politik. Sebaliknya Al-Quran dan hadis hanya mengisyaratkan tentang kebolehan perempuan aktif menekuni dunia tersebut.
Seperti halnya dalam bidang politik, memilih pekerjaan bagi perempuan juga tidak ada larangan, baik pekerjaan itu di dalam atau di luar rumah, baik secara mandiri ataupun kolektif, baik di lembaga pemerintahan ataupun di lembaga swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan dan tetap memelihara agamanya, serta tetap menghindari dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Mengamati Dalil-Dalil Syari’at
Firman Allah dalam Quran Surah Al-Ahzab ayat 33 “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.” Berdasarkan ayat ini, perempuan tidak boleh meninggalkan rumahnya, kecuali bila terpaksa atau untuk suatu keperluan. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbahnya menganggap penggunaan dalil ini dirasa belum tepat untuk menolak kehadiran perempuan di parlemen karena beberapa hal.
Pertama, ayat di atas berbicara tentang isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti yang terlihat jelas dalam konteks. Sedangkan istri-istri Nabi mempunyai kehormatan dan disiplin sendiri, berbeda dengan perempuan-perempuan lain. Karena itu, pahala salah seorang dari mereka bila melakukan kebaikan berlipat ganda, begitu pula dosa salah seorang dari mereka bila melakukan kesalahan berlipat ganda.
Kedua, Umul Mukminin, Aisyah, walaupun dalam ayat/surat Al-Ahzab diatas melarang istri-istri Nabi keluar rumah, beliau tetap saja keluar rumah untuk ikut peperangan Jamal. Beliau ikut dalam peperangan untuk memenuhi kewajiban agama sesuai pandangannya sendiri. Suatu peperangan untuk menuntut balas kematian Utsman. Walaupun ada kemungkinan beliau salah mengambil keputusan dari tindakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Ketiga, menurut kenyataan, kaum perempuan telah meninggalkan rumahnya. Mereka pergi ke sekolah dan universitas, pergi melakukan berbagai kegiatan kehidupan seperti menjadi dosen, dokter, guru, pegawai tanpa ada seorang pun yang menolaknya. Hal ini dianggap boleh sebagian orang sebagai konsensus atas perizinan kaum perempuan bekerja di luar rumah dengan beberapa persyaratan.
Perempuan diperbolehkan melakukan berbagai pekerjaan yang tidak pernah mereka lakukan di masa lalu. Saat ini banyak dibangun sekolah dan universitas yang menampung jutaan pelajar. Berbagai sekolah dan universitas tersebut banyak menghasilkan guru, dokter, akuntan dan eksekutif perempuan. Sebagian mereka menjadi direktur perusahaan yang membawahi kaum lelaki. Berapa banyak guru lelaki di sekolah putri dikepalai oleh perempuan. Berapa banyak dosen di fakultas khusus perempuan, dekannya dijabat oleh perempuan. Alangkah banyaknya, pegawai pria pada suatu perusahaan atau lembaga dikepalai oleh perempuan atau dimiliki oleh perempuan. Mungkin saja suami seorang isteri menjadi bawahan istrinya di sekolah, di universitas, atau di rumah sakit, atau di lembaga yang di bawahinya. Namun saat perempuan pulang ke rumah, ia kembali ke kodratnya sebagai seorang istri dan ibu.
ADVERTISEMENT
Bahwa dalam konteks keterlibatan perempuan di ranah publik atau politik, Quraish menyatakan bahwa tidak ada satu pun ketentuan agama yang melarangnya untuk terlibat aktif di dalamnya. Menurut Quraish, ayat Al-Quran dan hadits yang sering dijadikan landasan sebagian ulama tentang tidak bolehnya perempuan terlibat dalam bidang politik, lebih berbicara dalam konteks yang spesifik.
Ayat Al-Quran Surah An-Nisa ayat 34 misalnya, berbicara dalam konteks kehidupan berumah tangga, dan bukan dalam konteks kepemimpinan secara umum, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa [4]: 34). Firman Allah yang mengatakan, “karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka,” menunjukkan bahwa maksud kepemimpinan di sini adalah kepemimpinan atas keluarga, yaitu kelebihan atau tingkatan yang diberikan Allah kepada mereka seperti yang tercantum dalam firman-Nya.
ADVERTISEMENT
Melihat Fungsi Legislasi DPR
Bagian lain dari fungsi DPR adalah berkaitan dengan pembuatan undang-undang. Sebagian orang yang antusias dan sangat berlebihan menganggap fungsi legislasi DPR lebih penting daripada kekuasaan dan kepemimpinan. Karena DPR lah yang membuat undang-undang dan peraturan untuk negara. Mengingat pentingnya fungsi tersebut, maka kehadiran perempuan di parlemen kerap di tolak dan dipandang sebelah mata.
Pada hakikatnya, dalam tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab, pembuat undang-undang utama itu hanya Allah. Dasar-dasar legislasi, baik berupa perintah atau larangan hanya berasal dari-Nya. Kita manusia hanya diberi kesempatan untuk berijtihad untuk menentukan sesuatu yang tidak ada teksnya, atau merinci teks-teks umum. Dengan kata lain, peranan kita hanya berijtihad, menggali hukum, merinci, menjelaskan dan menyesuaikan.
ADVERTISEMENT
Dalam syariat islam, ijtihad terbuka bagi semua lelaki dan perempuan. Ummul Mukminin Aisyah termasuk perempuan mujtahid dari kalangan sahabat dan juga sebagai mufti di kalangan kaum perempuan. Aisyah sering mengemukakan pendapat dan meluruskan pendapat para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini banyak terbukti dari beberapa buku yang sudah terkenal.
Memang benar ijtihad dalam sejarah tidak banyak melibatkan kaum perempuan sebagaimana kaum lelaki. Hal itu disebabkan karena tidak tersebarnya ilmu pengetahuan di kalangan kaum perempuan saat itu, akibat situasi dan kondisi. Lain halnya sekarang, jumlah kaum perempuan terpelajar hampir setara dengan jumlah kaum pria. Bahkan sebagian dari mereka ada yang jenius melebihi kaum lelaki.
Saddu Adz-Dara’i
Sebagian orang ada yang melihat persoalan tersebut dari sisi saddu adz-dara’i (pencegahan sebelum terjadi kejahatan). Berdasarkan ini dapat dikatakan bahwa perempuan yang berkomitmen, baik sebagai pemilih ataupun yang dipilih harus memperhatikan nilai-nilai islam ketika bertemu dan berkumpul dengan kaum lelaki. Seperti cara berbicara, berpakaian, berdandan, berkumpul dengan kaum lelaki tanpa muhrim, atau berbaur tanpa batas. Hakikatnya semua itu juga perlu diperhatikan oleh perempuan yang duduk di parlemen, di universitas, sekolah, ataupun di lingkungan kerja.
ADVERTISEMENT
Seperti halnya dalam bidang politik, memilih pekerjaan bagi perempuan juga tidak ada larangan, baik pekerjaan itu di dalam atau di luar rumah, baik secara mandiri ataupun kolektif, baik di lembaga pemerintahan ataupun di lembaga swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan dan tetap memelihara agamanya, serta tetap menghindari dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungan.
Quraish Shihab dalam tafsirnya memiliki pandangan tersendiri tentang kesetaraan gender. Quraish dalam hal ini tetap ingin memahaminya berdasarkan konteks ayat itu diturunkan. Menurut Quraish, dalam memahami ayat-ayat gender, kita tidak boleh memahaminya secara parsial, tetapi lebih jauh dipahami secara komprehensif dengan tetap memperhatikan ayat-ayat lain yang memiliki kaitan.
Amanda Dea Lestari, S.H., M.H. (Penulis merupakan Dosen Fakultas Hukum dan Ekonomi Bisnis Universitas Adiwangsa Jambi)
ADVERTISEMENT
Tulisan ini merupakan opini singkat dari makalah yang berjudul: Eksistensi Keterlibatan Perempuan di Parlemen Berdasarkan Tafsir Al-Misbah Karya Quraish Shihab, dan pernah dimenangkan sebagai Juara Terbaik I Putri dalam Musabaqah Tilawatil Quran Universitas Jambi Tahun 2017.