Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Pesan Moral Kasus Pinangki-Joe Chan
16 November 2020 13:28 WIB
Tulisan dari Amanda Dea Lestari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kotak Pandora!
Menarik untuk dianalisis bahwa pelarian Joe Chan atau Djoko Tjandra bak kotak Pandora berisi uang yang telah dikutuk. Satu demi satu pihak-pihak yang terlibat mulai terkena kutukan dari kotak uang yang dimiliknya, termaksud pejabat Kejaksaan Agung, Pinangki Sirna Malasari. Lalu pelajaran moral apa yang bisa kita petik dari hal ini?
ADVERTISEMENT
Dalam pemeriksaan perkara, Pinangki mendominasi rekayasa pengurusan fatwa Mahkamah Agung agar Joe Chan tidak bisa dieksekusi alias bebas menjalani hukuman saat kembali ke Indonesia, sedangkan Joe Chan mengamininya. Pinangki mengarahkan Joe Chan agar terus konsisten dengan skenario yang telah disusun. Joe Chan mengiyakan, seperti “murid” yang patuh atas instruksi Pinangki, “Ibu Gurunya”.
Dalam psikologi komunikasi, bentuk komunikasi seperti itu memperlihatkan adanya kesepakatan di antara dua individu yang kedudukannya tidak sejajar. Di satu pihak, ada yang posisinya lebih tinggi atau superior (kuasa), sedangkan di pihak lain lebih rendah atau inferior.
Karena Pinangki adalah seorang jaksa, hingga kasus ini begitu membuat “luka dalam” bagi masyarakat. Masyarakat tahu bahwa Pinangki adalah seorang yang memiliki kedudukan penting dalam menegakan hukum dan pemberantasan KKN. Profesionalitasnya adalah sebagai investigator sekaligus Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan di Kejaksaan Agung, juga sebagai dosen yang berpengalaman di bidang hukum. Maka sangat lucu dan janggal, seseorang yang tahu dan berpengalaman dalam masalah hukum justru malah dipelintir oleh seorang pengusaha yang bukan ahli hukum.
ADVERTISEMENT
Analogi Film Mafia
Jejak licin Joe Chan menjadi buron hingga 11 tahun menyebabkan tiga Jenderal Polri dan Pinangki sebagai pejabat Kejaksaan Agung dicopot dari jabatannya. Belum lagi keterlibatan Anita Kolopaking sebagai pengacara Joe Chan yang ikut memperburuk citra advokasi di Indonesia. Hal ini memunculkan pertanyaan dalam masyarakat: mengapa seorang pejabat hukum yang terhormat patuh pada seorang terdakwa yang sama sekali bukan ahli di bidang hukum? Jawaban common sense mengacu pada metafor dalam film-film laga atau mafia. Sering dikisahkan dalam film-film tersebut bahwa dalam melakukan aksi-aksi kejahatan, para bos mafia biasanya memanfaatkan para penegak hukum, seperti hakim, jaksa, pengacara, dan polisi. Mereka memanfaatkan para penegak hukum tersebut agar aksi-aksi kejahatan yang mereka lakukan tidak disentuh oleh hukum.
ADVERTISEMENT
Para penegak hukum yang lemah moral dan harga dirinya, tidak puas akan kehidupan ekonominya, dengan mudah masuk dalam perangkap mafia. Mereka menjadi kaki tangan bos mafia demi sejumlah imbalan ekonomi. Sebagai balasannya mereka sangat loyal dan patuh. Dapat melakukan apa saja untuk kepentingan bos mafia, termaksud berbohong kepada publik, menutup-nutupi kejahatan, merekayasa bahkan memutarbalikkan logika hukum dan moralitas. Mereka menjadi pion yang dapat dimainkan oleh para bos.
Budaya 86
Budaya “86” inilah yang dalam pelayanan di berbagai instansi penegak hukum harus dikikis habis, termaksud Kejaksaan dalam kasus Pinangki-Joe Chan. Istilah “86” ini biasanya dikenal dalam dunia Kepolisian sebagai kode sandi polisi yang bermakna siap dimengerti atau siap menjalankan sebuah perintah dari rekan kerja atau atasannya. Seiring berjalan waktu, kode ini tidak hanya tersirat dalam dunia Kepolisian saja namun juga di instansi penegakan hukum lainnya. Dalam bahasa pelesetan bermakna saling mengerti atau saling membantu. Makna ini berkembang dan berkonotasi negatif dalam masyarakat, karna saling mengerti oleh seorang dihargai dengan sebuah ''penghargaan'' dalam bentuk ''kemudahan'' pelayanan atau pemberian sejumlah uang untuk melancarkan penanganan suatu kasus. Istilah kasarnya uang sogok atau pelicin.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks inilah persoalan moral pribadi (personal morality) menjadi sangat krusial. Salah satu motif utama para penegak hukum masuk dalam perangkap mafia adalah ingin meningkatkan harga diri dan kelihatan menjadi superior, meskipun dengan melakukan perbuatan koruptif. Mereka menduga bahwa dengan kekayaan dapat meningkatkan harga diri di dalam keluarga, kerabat, dan lingkungan sosialnya. Harga diri terangkat jika mereka dapat memperlihatkan kekayaan (yang merupakan lambang “kesuksesan” dalam masyarakat kapitalis) saat berkumpul dengan para kerabat dekat dan tetangganya. Mereka merasa bangga bila banyak orang tahu bahwa mereka menyumbang tempat-tempat ibadat, yayasan anak yatim piatu, dan keluarga tidak mampu. Mereka luput, bahwa untuk mendapatkan “superioritas” seperti itu, mereka sudah kehilangan akal sehat dan merendahkan harga diri.
ADVERTISEMENT
Aspek moral lainnya berkaitan dengan tiada rasa keadilan dan ketidakpedulian terhadap kepentingan publik. Sangat tidak adil mengorbankan kepentingan publik untuk kepentingan pribadi (ataupun kepentingan kelompok sendiri), terutama dalam situasi sulit yang dialami masyarakat Indonesia saat pandemi seperti ini. Dalam kondisi ekonomi nasional seperti sekarang, tindakan mereka bukan hanya dikategorikan kejahatan kriminal, tetapi juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Inti dari pesan moral kasus Pinangki dan Joe Chan adalah bahwa korupsi tidak akan menjadikan pelaku terangkat harga dirinya, melainkan justru terpuruk, merendahkan dirinya sendiri, dan kehilangan akal sehat. Bak nila setitik, maka rusak lah susu sebelanga. Satu orang manusia Indonesia melakukan korupsi maka dampaknya dirasakan seluruh rakyat. Perbuatan koruptif akan merusak persatuan nasional karena mengakibatkan pembangunan nasional dan kepentingan umum terganggu. Tidak selesainya pembangunan karena dana tertahan di tangan koruptor. Kemajuan pembangunan yang merata dan kesempatan menikmati keadilan sosial hilang sudah ketika banyak sekali agenda pembangunan tidak berjalan sesuai harapan. Koruptor juga menjadi teladan buruk bagi generasi penerus bangsa. Oleh karena itu budaya “86” ini harus dikikis habis, jangan sampai terus menjadi lagu lama kongkalikong antara aparat dan penjahat.
ADVERTISEMENT
Amanda Dea Lestari (Penulis adalah Peserta Akademi Jurnalistik Lawan Korupsi, KPK RI 2020)