Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Rahma si Ratu Kusta, 'Tuhan' bagi Para Penderita dan Masyarakat di Sekitarnya
21 Agustus 2023 15:09 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Efa Butar butar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jemari yang putus tanpa rasa
Siapa sangka, jari jemari sempurna yang Tuhan anugerahkan pada tiap manusia itu, tanggal satu per satu.
ADVERTISEMENT
Tak lagi utuh untuk menggenggam, rasanya ada yang kurang bila berjabat tangan, pun di rupa, eloknya tak lagi sama. Puncaknya, rasa percaya diri perlahan berkurang, kemampuan semacam turut hilang, lalu satu-satunya keputusan ternyaman dan paling aman dari bully dan penilaian lingkungan sepertinya adalah mengurung diri, bersembunyi dari keramaian.
Inilah yang dialami oleh Pak Amat saat ia menderita penyakit kusta di tahun 1997 silam.
Entah ini bisa disebut keberuntungan, kusta yang menggerogoti tubuhnya, membuatnya kehilangan jemari tanpa rasa sakit. Sebab nyatanya begitulah kusta, ia menyerang sistem saraf hingga membuat penderita kehilangan sensasi rasa termasuk nyeri.
Mengenal kusta dan stigmanya di Indonesia
Stigma seputar kusta masih terus menjadi pekerjaan rumah di Indonesia. Penyakit ini kerap dituduh sebagai penyakit berbahaya yang menular sekali kena saja. Dampaknya, penderita kusta dan Orang yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) sering sekali menerima diskriminasi, diacuhkan, diabaikan dari lingkungan sosial, bahkan kesulitan berbaur kembali ke dunia kerja.
ADVERTISEMENT
Kusta atau lepra merupakan sebuah penyakit yang menyerang saraf kulit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae (M. Leprae).
Penyakit ini ada dua jenisnya, kusta basah dan kusta kering.
Kusta basah
Kusta basah ditandai dengan bercak yang lebih banyak dari 5, permukaan kulit basah dan mengkilap, serta mati rasa. Kerusakan saraf dari kusta basah memang cenderung lambat, hanya saja, kusta jenis ini lebih mudah menular dibandingkan kusta kering. Penularan biasanya terjadi akibat kontak erat dengan penderita.
Kusta kering
Kusta kering tergolong infeksi ringan karena jumlah bakterinya lebih sedikit. Proses pengobatannya umumnya memakan waktu hingga 6 bulan untuk bisa mencapai tanda bercak kurang dari 5.
Masalahnya adalah, sebetulnya, kusta menular lewat kontak erat bukan lewat tatapan, komunikasi atau sekedar say hi dengan para penderita. Bukan pula penyakit kutukan sebagaimana yang banyak beredar di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Itupun, bila kita jeli mencari tau tentang penyakit yang beberapa kali disebutkan dalam kitab beberapa agama ini, mestinya kita juga menyadari bahwa kusta sebetulnya bisa disembuhkan.
Sayangnya, informasi ini tak merata dengan sempurna di Indonesia. Ujungnya, pasien kusta dan OYPMK lah yang terkena imbasnya. Kehilangan teman, pendidikan, pekerjaan, rasa percaya diri, diabaikan saat terjadinya gempa bumi, bahkan rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan akibat kurangnya pemahaman.
Sialnya lagi, kadang, keluarga turut serta menjadi pelaku bullying terhadap penderita dengan alasan yang sama.
Hadirnya Ratna, si ratu kusta, 'tuhan' bagi para penderita dan masyarakat di sekitarnya
Kemkes mencatat, Indonesia masih menjadi penyumbang kasus kusta nomor 3 di dunia setelah India dan Brazil. Tahun 2021 terdapat 7.146 penderita kusta baru dengan proposi anak sebesar 11% (data per 24 Januari 2022).
ADVERTISEMENT
Angka ini menunjukkan, masih perlu edukasi dan sosialisasi yang masif agar informasi seputar kusta dan prosedur penyembuhannya bisa lebih merata.
Mungkin, inilah maksud Tuhan menghadirkan Ratna Indah Kurniawati turun ke Bumi. Sebagai perpanjangan tanganNya, menjadi "tuhan" bagi para penderita kusta dan masyarakat di sekitarnya. Hadir di tengah-tengah mereka untuk mengembalikan rasa percaya diri dan "hidup" yang direnggut oleh kusta tanpa permisi.
Adalah Ratna, seorang perawat di Puskesmas kecamatan Grati, Pasuruan, Jawa Timur.
Pengabdiannya bermulai sejak tahun 2008 saat ia diangkat sebagai ketua Kelompok Perawatan Diri (KPD) di Grati. Tempat ini merupakan 1 dari 3 tempat yang banyak penderita kustanya.
Berbekal pendidikan formal sebagai lulusan ilmu keperawatan di STIKES Mojokerto tahun 2002 ditambah dengan pembekalan dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa TImur, perempuan kelahiran 23 April 1980 ini bergerak menyusuri perkampungan mencari mereka yang selama ini mengucilkan diri atau dikucilkan warga akibat penyakit kusta.
ADVERTISEMENT
Ketika warga berbondong-bondong memasang "sekat" dengan para penderita kusta yang ada di lingkungan mereka, ia justeru bergerilya mendatangi rumah penduduk yang terkena kusta.
Perjalanan panjang basmi stigma kusta
Menurutnya, hampir semua perangkat desa antisipasi terhadap penyakit ini karena dianggap sangat berbahaya dan menular.
Agar bisa diterima oleh masyarakat, Ratna mengambil langkah edukasi yang cukup ringan namun membawa pesan yang mendalam.
Ia mengambil jalan pintas edukasi lewat pengajian dan pertemuan.
Saat KPD melangsungkan sebuah pertemuan, ia dan kelompoknya makan bersama para penderita kusta. Langkah ini sebetulnya sangat sederhana namun nyatanya ampuh menyentuh sisi percaya masyarakat.
Dengan melihatnya makan bersama, penduduk kemudian lebih percaya hingga akhirnya langkah tersebutlah yang perlahan-lahan mengembalikan lagi derajat para penderita kusta.
Tak berhenti sampai di sana, perjalanan pulih dari kusta yang membutuhkan waktu 6-18 bulan juga tak dibubuhinya titik. Ia pun turut mengedukasi para penyintas laki-laki dengan usaha ternak jangrik dan penyintas perempuan dengan usaha jahit dan menyulam.
ADVERTISEMENT
Pak Amat, salah satu penyintas kusta yang berhasil disembuhkannya kini tak lagi hanya menjadi laki-laki dewasa yang menggantungkan hidupnya pada orang tua pasca kehilangan jarinya. Ia sudah memiliki usaha sendiri beternak jangkrik. Per bulannya, ia mampu panen 26Kg jangkrik dengan harga jual 20.000 - 30.000 per Kg nya.
Berkat kesabarannya, Ratna berhasil mendapat tempat untuk penyuluhan penyakit kusta di berbagai tempat, seperti di balai desa, sekolah, termasuk di antaranya pondok pesantren demi mencapai mimpi untuk menekan angka penyebaran dan jumlah kasus penderita kusta serta melakukan pencegahan sedini mungkin.