Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Anak Kecil di Tubuh Orang Dewasa
9 Juni 2024 14:24 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Anargya Manika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jika aku diberi kesempatan untuk kembali ke masa lalu, aku akan memilih masa kecil.
ADVERTISEMENT
Aku belum selesai dengan dunia masa kecil ku, oleh sebab itu tak jarang bersikap seperti anak kecil. Meminta perhatian, emosi tak terkendali dan egois. Faktanya, aku juga manusia yang mempunyai banyak emosi, tak bisa dikeluarkan. Respon yang muncul bahwa menangis itu memalukan, omongan bahwa "Udah gede, gak boleh cengeng". Saat pagi tersenyum seperti orang dewasa, lelah datang lalu menangis saat sedang sendirian layaknya anak kecil.
Tekanan yang diberikan tidak seimbang dengan penyembuhnya. Jarang sekali rasanya aku meluangkan waktu dan ruang untuk membiarkan emosi negatif itu keluar. Saat berdesakan di transportasi umum, entah kenapa semua rasa lelah tiba tiba berdatangan. Sering juga aku menangis di transportasi umum, tidak peduli juga dengan tatapan orang yang bingung dengan tingkah ku. Jangan salahkan aku, tak ada seorang pun yang mengajariku cara mengolah emosi. Mau tidak mau, ini harus belajar secara otodidak. Seseorang pernah bilang bahwa "Dengan cara fokus terhadap emosi yang dirasakan sehingga tidak terburu-buru untuk memotong perasaan" tapi bagaimana? teori memang semudah itu diucapkan, lalu apa kabar dengan realitanya?
ADVERTISEMENT
Disatu sisi, aku ingin sekali kembali ke masa kecil hanya ada kesenangan di dalamnya. Tapi di sisi lainnya waktu terus berjalan, aku tidak bisa diam begitu saja. Sudah waktunya aku mencari hidupku sendiri. Banyak kasus orang yang terlanjur mati rasa secara emosional karena tidak bisa mengeluarkan emosinya, selalu memendam perasaannya dan itu berbahaya. Tidak memiliki empati terhadap satu sama lain. Lebih buruknya, tak berfikir panjang untuk menghabisi nyawa orang lain.
Sudah banyak kasus pembunuhan tanpa adanya alasan yang jelas. Suami menghabisi istri, ibu membunuh anak kandung bahkan ada kasus anak membunuh orang tuanya dan banyak lagi. Jika ditarik lebih jauh lagi apa yang mendasari pelaku melakukan itu? Salah satunya adalah tidak bisa mengendalikan emosi. Kurangnya istirahat, memakan makanan yang tidak sehat, stress, rendahnya pemahaman moral dalam masyarakate, hambatan ekonomi, ketidaksadaran pelaku dan perasaan benci yang dirasakan oleh pelaku, itu bisa jadi pemicu emosi yang tak terkendali.
ADVERTISEMENT
Ketidakstabilan emosi pada orang tua juga bisa berdampak pada perkembangan anak. Orang tua merupakan contoh pertama, setiap perbuatan dan kelakuan orangtuanya pasti akan dicontoh. Permasalahannya banyak orang tua yang tidak bisa mengatur emosinya. Membentak anak di depan umum, memaki tanpa memikirkan bahwa di depannya adalah anak kecil, tidak tau apa yang salah dari perbuatannya. Hal yang dicontohkan itulah akan menjadi “panutan” bagi anak. Setelah besar anak itu akan menganggap ledakan emosi adalah sesuatu yang wajar.
Bagaikan lingkaran setan yang tak terputus, siklus ini akan terus berlanjut sampai ada yang sadar bahwa ledakan emosi adalah hal yang tidak wajar. Masalah emosi tidak akan ada habisnya jika tidak ada yang memulai untuk menghentikan lingkaran itu. Apapun yang berlebihan itu tidak baik. Semua perasaanku tentu tidak bisa diselesaikan dalam waktu yang singkat dan mempelajari emosi diri sendii bukan hal yang mudah.
ADVERTISEMENT
Setelah mengetahui semua itu, apa solusi terbaiknya? Mencoba menjadi manusia yang lebih peka terhadap suatu situasi, baik situasi eksternal maupun internal (dalam diri). Mulailah perbaiki emosi diri sendiri terlebih dahulu, melepaskan emosi yang terpendam dan mencoba menerima kondisi. Mungkin tak terlalu berdampak tetapi cukup untuk mengsugesti otak supaya tetap berfikiran positif. Bagaimana?