Konten dari Pengguna

Pembangkangan Konstitusi oleh Baleg DPR, Menimbulkan Potensi Pembangkangan Sipil

Andi Redani Suryanata
Co-Founder Gen Z Institut
22 Agustus 2024 8:03 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andi Redani Suryanata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gedung Mahkamah Konstitusi. Sumber: Shutterstock.
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Mahkamah Konstitusi. Sumber: Shutterstock.
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK), yang seharusnya menjadi benteng terakhir penegakan konstitusi, kembali membuat gebrakan dengan putusan-putusan yang kontroversial. Sayangnya, keputusan-keputusan ini seperti angin lalu bagi segelintir elite politik yang tampaknya tidak pernah kehabisan akal untuk menciptakan kekacauan.
ADVERTISEMENT
Dengan Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 yang membuka peluang bagi partai-partai tanpa kursi di DPRD untuk mengajukan calon kepala daerah. Ini adalah kabar gembira bagi demokrasi, seolah-olah pintu keadilan terbuka lebar-lebar, memungkinkan semua partai, terlepas dari jumlah kursi yang mereka miliki, untuk berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah.
Dalam sekejap, PDI-P yang sebelumnya terhalang untuk mengusung calon di DKI Jakarta, tiba-tiba bisa mengusung calon setelah keputusan MK diumumkan. Ada yang bilang, "Keputusan MK ini seperti memberi angin segar di tengah gurun politik."
Namun seperti halnya dalam setiap drama, selalu ada bumbu konflik. Bayangkan, dengan pintu demokrasi yang baru saja dibuka lebar, ada pihak-pihak yang mencoba menutupnya kembali dengan sepenuh tenaga. Badan Legislasi (Baleg) DPR justru memutuskan untuk membatasi perubahan syarat ambang batas hanya untuk partai-partai nonparlemen.
ADVERTISEMENT
Ini seperti ada yang memutuskan untuk mengunci pintu yang baru saja dibuka dengan gembira. Padahal, MK sudah memberikan lampu hijau bagi semua partai, tidak peduli apakah mereka memiliki kursi di DPRD atau tidak. Alih-alih menyambut keputusan tersebut, Baleg malah membegal keputusan MK, seolah-olah mereka sedang bermain poker dan memutuskan untuk menggertak lawan mereka.
Mari kita bahas inti dari kekacauan ini. Pengabaian putusan MK bukan sekadar pertengkaran antarlembaga, tapi sudah merambah ke ranah yang lebih gelap: pembangkangan konstitusi. Ketika Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan santainya mengabaikan putusan MK, mereka sebenarnya menantang hukum tertinggi di negara ini.
Konstitusi—yang seharusnya menjadi pilar demokrasi kita—sekarang malah tampak seperti mainan yang bisa dipermainkan sesuka hati. Bayangkan, sebuah pilar yang seharusnya kokoh, tiba-tiba goyang dan menampakkan bahwa bangunan hukum kita hanyalah puing-puing aturan yang rapuh.
ADVERTISEMENT
Sekarang, bayangkan jika rakyat mulai melihat ini sebagai preseden buruk. Apakah ini bisa jadi pintu gerbang bagi pembangkangan sipil yang lebih luas? Jika wakil-wakil kami di DPR bisa dengan gampang melanggar konstitusi, kenapa kami tidak? Bukankah ini adalah undangan terbuka bagi masyarakat untuk ikut-ikutan menantang hukum?
Ketika masyarakat tidak lagi menghormati hukum, kita memasuki zona bahaya. Sebuah masyarakat yang tidak lagi peduli dengan aturan adalah resep jitu untuk kekacauan. Dan di sinilah letak bahayanya: jika konstitusi bisa dipermainkan begitu saja, maka aturan dan hukum hanya akan menjadi ilusi belaka.
Mari kita lihat, iklim politik kita telah terkontaminasi dengan ambisi pribadi dan kepentingan keluarga politik tertentu. Apakah kita benar-benar ingin menjadi bangsa di mana hukum dan konstitusi hanya berlaku untuk sebagian orang?
ADVERTISEMENT
Apakah kita siap menghadapi masa depan di mana keputusan hukum bisa dibelokkan hanya untuk memenuhi kepentingan politik tertentu? Jika pembangkangan ini dibiarkan, maka kita sedang melangkah menuju era di mana keadilan menjadi barang langka dan konstitusi hanya ada di buku sejarah.