Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Tarik Ulur Kebijakan PLTS Atap, Penghambat dalam Transisi Energi
23 Februari 2023 5:52 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari andiegagas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Indonesia dalam mewujudkan target tersebut telah menetapkan peta jalan transisi energi hingga tahun 2060. Dalam substansinya, Indonesia fokus dalam pengembangan energi baru terbarukan yang diharapkan dapat menggantikan penggunaan energi fosil secara perlahan. Hal tersebut didasarkan karena besarnya potensi energi terbarukan yang dimiliki Indonesia.
Jika kita melihat rencana beberapa tahun ke depan, Indonesia telah menargetkan bauran energi baru terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025. Namun, bagaimana dengan porsi bauran yang ada saat ini? hingga sekarang porsi bauran energi terbarukan berkisar sebesar 14%. Tentu capaian tersebut masih sangat kecil jika dibandingkan dengan target yang harus dipenuhi dalam beberapa tahun ke depan.
Persoalan ini harusnya menjadi perhatian utama pemerintah dan perlu langkah konkret untuk dapat meningkatkan kapasitas penggunaan energi baru terbarukan. Salah satu aspek yang perlu disoroti adalah penerapan regulasi yang berlaku.
Regulasi ini memegang peran utama dalam menciptakan lingkungan yang kondusif terhadap pengembangan energi terbarukan dan dapat memberikan stabilitas atau jaminan bagi pengembang maupun investor.
ADVERTISEMENT
Pemerintah memang bukan tanpa upaya, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah menerbitkan Peraturan Menteri no 26 tahun 2021 yang mengatur PLTS atap yang terhubung dengan jaringan listrik. Peraturan Menteri ini merupakan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya yaitu Peraturan Menteri no 49 tahun 2018.
Terdapat beberapa poin perubahan pada peraturan menteri sekarang. Salah satu poin yang menarik adalah ketentuan ekspor kWh listrik yang sebelumnya sebesar 65% berubah menjadi 100%.
Perbaruan tersebut dilakukan sebagai wujud upaya pemerintah untuk memperbaiki tata kelola implementasi PLTS atap dan meningkatkan ketertarikan masyarakat untuk menggunakan PLTS sehingga dapat mendorong berkembangnya pasar PLTS.
Di samping itu, dalam kaitannya dengan bauran energi terbarukan, diharapkan peraturan ini dapat mempercepat proses capaian bauran energi yang telah ditetapkan dalam beberapa tahun kedepan, mengingat dengan sisa waktu yang dimiliki dan upaya penambahan bauran energi terbarukan yang saat ini belum berjalan dengan maksimal.
ADVERTISEMENT
Langkah pemerintah dinilai tepat dalam upaya meningkatkan kapasitas PLTS atap yang terpasang. Lantas bagaimana dengan implementasinya? Meskipun peraturan tersebut menyatakan kapasitas maksimum PLTS atap dapat mencapai 100 persen, akan tetapi realisasinya para pelaku industri PLTS hanya dapat melakukan instalasi kapasitas PLTS sebesar 10–15 persen dari kapasitas daya yang terpasang.
Pembatasan tersebut imbas dari kebijakan PLN terhadap pemasangan PLTS atap yang terhubung dengan jaringan melalui mekanisme ekspor–impor listrik. Keputusan tersebut memang didasarkan pada pertimbangan PLN dengan melihat kondisi saat ini yang sedang mengalami oversupply. Persoalannya ada pada kebijakan take or pay yang mengharuskan PLN membayar kontrak listrik yang sudah disepakati dengan produsen listrik swasta (IPP).
Kebijakan itulah yang dirasa membebani keuangan PLN karena dengan kondisi oversupply yang terjadi, PLN tetap harus membayar kelebihan listrik yang diproduksi. Berdasarkan data yang diperoleh pada tahun 2022 PLN mengalami kelebihan pasokan listrik sebesar 6 GW dan diprediksi akan terus meningkat pada tahun–tahun berikutnya.
Kondisi oversupply tersebut akan meningkat secara drastis jika pasokan listrik dari PLTS atap masuk ke jaringan PLN. Hal tersebut akan semakin memperburuk keuangan PLN jika diharuskan membayar kelebihan pasokan listrik dari PLTS atap dengan nominal sekitar 9–10 sen/kWh. Oleh sebab itu, dengan melihat kondisi yang terjadi sekarang, wajar jika PLN merasa keberatan dengan aturan tersebut.
ADVERTISEMENT
Alhasil, setelah mengetahui kondisi PLN yang terjadi saat ini. Pemerintah utamanya Kementerian ESDM perlu mencari solusi atas persoalan kebijakan yang saling berbenturan ini. Solusi yang diutarakan oleh pihak PLN adalah dengan menyarankan agar pemasangan PLTS atap digunakan untuk kebutuhan sendiri tanpa adanya mekanisme ekspor ke jaringan listrik sehingga dalam hal ini PLN tidak akan membatasi kapasitas PLTS yang terpasang.
Akan tetapi, hal tersebut memerlukan pertimbangan yang matang. Dengan diterapkannya kebijakan tanpa ekspor ke jaringan listrik, mungkin akan berdampak pada turunnya minat konsumen terhadap pemasangan PLTS atap. Hal tersebut dikarenakan balik modal yang didapatkan akan jauh lebih lama sehingga kurang menarik jika dilihat dari segi keekonomian.
Sebaliknya, jika tetap mempertahankan mekanisme ekspor–impor PLTS atap ke jaringan listrik pastinya kebijakan pembatasan kapasitas PLTS atap memerlukan kajian ulang dan mempertimbangkan persentase yang layak sehingga baik dari pihak PLN maupun konsumen sama–sama tidak dirugikan. Harapannya persoalan kebijakan ini cepat diselesaikan dan tidak menjadi hambatan dalam mencapai target bauran EBT nasional.
ADVERTISEMENT