Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bokongmu Menyadarkanku
10 Maret 2020 9:52 WIB
Tulisan dari Josua Simanjuntak tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Berat banget. Fathur, bantuin gue, pantatnya udah mau jatuh, pegang pantatnya. Pantatnya... bukan kakinya."
ADVERTISEMENT
Kekesalan gue memuncak gegara sikap Fathur, rekan kerja gue di kantor. Kejadiannya di siang hari bolong. Terik matahari sudah kayak di gurun pasir saking panasnya. Gue belum pernah, sih, ke gurun, tapi ya namanya juga emosi, sah-sah aja gue ngedumel sampai panasnya gurun bisa dirasakan tanpa ke sana dulu. Siang itu kebetulan gue belum makan siang, masih berkutat sama kerjaan. "Mas, mas... temannya enggak bisa diri lagi," ucap seorang Office Boy yang sedikit ragu menyampaikannya ke gue. "Teman? siapa mas?" saut gue. "Itu ada teman mas, di pinggir kolam, kayaknya mau pingsan," tambahnya lagi.
Kebetulan ruangan kerja gue di kumparan dekat dengan kolam renang, gue langsung keluar mengecek. Eh, ternyata ada Karina yang sudah tak berdaya bersender di bangku kolam renang. "Kar, lu kenapa? ada kursi malah duduk di lantai," gue coba bercanda. Eh, dia malah mengeluh kesakitan sambil kedinginan. "Wah kenapa, nih, orang. Panas gini malah kedinginan," dalam hati gue gitu. Tiba-tiba gue takut, jangan-jangan ini tanda-tanda...
ADVERTISEMENT
Sekejap seruangan gue datang. Awalnya Karina mau dipapah, tapi berhubung dia enggak bisa bergerak lagi, jadi kita putuskan bawa ke rumah sakit. Saat itu kira-kira ada empat laki-laki termasuk gue yang ada di lokasi. Saat teman-teman cewek lainnya menyarankan Karina digendong aja ke mobil, semua laki-laki di samping gue pada terdiam. Jejejeng... "Udah gue aja yang gendong," jawab gue dengan percaya diri. "Gendong cewek ke parkiran gampang lah. Cuma 20 meter doang, kok," batin gue. Hap... Karina langsung gue gendong depan biar kayak anak muda di film India.
Baru empat langkah, muka gue memerah, urat-urat leher muncul ke permukaan. Dilangkah kesepuluh, tangan dan paha mulai gemetar. Badan gue digerogoti getaran yang tak terbendung hingga akhirnya bagian bokong Karina melorot dari himpitan tangan yang tak berhenti gemetar. Fathur ada di samping gue, tapi kehadirannya tak lebih dari seorang suporter bola yang hanya bisa cemas saat gawang tim kesayangannya diserang lawan tanpa bisa berbuat apa-apa. "Thur, pegang pantatnya, tahan, udah mau jatuh," ucap gue. "segan gue, Jo. Enggak enak," jawabnya dengan muka cemas.
ADVERTISEMENT
Gue gondok banget. Kok bisa-bisanya dia menampakkan muka cemas, tapi tak melakukan tindakan yang berarti. Berbekal harga diri, gue lanjutin menggendong Karina. Malu dong, kalau sempat gue menyerah di pertengahan jalan. Apa kata dunia???
Seluruh cadangan tenaga gue keluarkan. Seakan setiap persendian gue terasa longgar. menghela napas pun tak sempat. Secerca harapan muncul saat gue melihat mobil Mas Reza sudah stand by di parkiran. "Thank, God. Siksaan ini bakal berakhir," pikirku.
Langkah-demi langkah terlalui dengan ekspresi wajah seperti menahan kebelet dari Stasiun Tanah Abang ke Manggarai. Parkiran kantor gue tak lebar-lebar amat, hanya sepetak halaman dan setiap mobil disusun paralel. Posisi mobil Mas Reza tepat di barisan paling depan, bersampingan dengan mobil-mobil lainnya. Di situlah harga diri dan sisa tenaga gue diuji lagi. Awalnya gue mikir mobil akan diparkirkan lebih maju dengan pintu terbuka biar gue tinggal masukin Karina tanpa susah payah. Namun, itu hanya pemikiran. "Manusia yang berencana, Tuhan yang memutuskan," kata-kata ini benar adanya.
ADVERTISEMENT
Sampai di parkiran, gue enggak mau dong, tiba-tiba tumbang gara-gara lemas gendong cewek. "Mas Eza, Mas Eza, ini mas, bantuin gue, udah mau jatuh, ini," gue teriak ke Mas Eza. Padahal dia adalah atasan gue, kepala divisi di tempat gue bekerja. Tapi kapan lagi bisa teriak-teriak di depan atasan pikir gue lagi. Hahaha.
Eh, dia enggak bantuin dong, pas gue mau masuk ke lorong antara mobil Mas Reza dan moil lain, pintunya belum kebuka, padahal posisi Karina sudah enggak di depan dada gue lagi, posisinya melorot sampai ke perut bawah gue. Oh, no... sejengkal lagi. "Bentar gue bukain dulu pintunya," saut Mas Reza tanpa terkesan terburu-buru. "Hmm.. kenapa enggak dari tadi bosss," gue menggerutu. Terpaksa gue harus berputar ke arah belakang biar tak terhalang pintu. Karina masih harus ada di lengan gue selama 7 detik lagi menunggu Mas reza berputar membuka pintu. Padahal satu detik saja terlambat, gue dan Karina bisa tumbang. Harga diri gue sebagai lelaki taruhannya. Benar sekali, momen gue mengangkat Karina ke dalam mobil, hanya badannya yang mampu gue masukkan, pantatnya tetap ketinggalan, aisss. Tenaga gue habis. Tapi, masa gue harus minta bantuan Fathur lagi, kawan-kawan sudah tau lah ya, nanti jawabannya apa? Hahahaha.
ADVERTISEMENT
Mau tak mau, gue sendiri yang angkat pantatnya Karina ke atas mobil agar posisinya sempurna. Kadang saat kondisi darurat segala hal dihalalkan. Apa yang tak harusnya dipegang, mau enggak mau dipegang. Asal motifnya baik. Benar, enggak, gaes?
Pintu ditutup, SUV Mas Reza langsung melaju kencang ke RS terdekat. Husssh.. "Hah... Hah...", gue terkapar sambil menghela napas di parkiran. Fathur juga ikut terkapar di samping gue, "Capek banget, ya, Jo, ternyata," ucap Fathur dengan ekspresi tak bersalah. Gue enggak mampu menjawab. Ampun Gusti... Gue coba berdiri, lutut gue enggak sanggup, kali keduanya bisa, tapi gemetarannya tak berkesudahan.
Secara logika, seorang pria berpostur 180 cm dengan berat 85 kg, mengangkat seorang wanita berberat 70-75 kg (Karina, maaf kalau beratnya salah, namanya juga perkiraan) dengan jarak 20 meter bukanlah hal yang sulit-sulit amat harusnya. Namun, berhubung gue saat itu dalam kondisi belum makan siang, jadi tenaga belum benar-benar full.
ADVERTISEMENT
Semenjak itu gue langsug berpikir, bagaimana jadinya kalau hal yang menimpa Karina terjadi ke pacar atau keluarga gue, masa ia, gue harus nunggu bantuan orang lain, kalau yang bantuin kaya Ade Rai, sih, aman, tapi kalau yang bantuin kaya Fathur? Hehehe.
Terbesit juga di benak gue, apa mungkin karena gue jarang olahraga? Jadi seakan tubuh ini tak mampu menghadapi atau menyesuaikan dengan sesuatu yang spontan yang berhubungan dengan olah fisik seperti gendong Karina misalnya. Secara, gue bukan orang yang rutin berolahraga. Umur gue sekarang 25 tahun. Semua terasa sehat. Tak ada keluhan, tak ada pantangan. Tapi sepertinya hidup bukan masalah sekarang atau besok. Kita enggak tahu kapan imun tubuh kita melemah dan di saat itu penyakit menggerogoti tubuh. Salah satu cara yang ampuh adalah berinvestasi dalam tubuh. Caranya dengan menjaga kualitas makanan yang kita konsumsi. Ada ungkapan 'kamu adalah apa yang kamu makan', artinya apa yang kita konsumsi akan tergambar dalam kesehatan kita, sekarang, esok, atau kelak.
ADVERTISEMENT
Satu lagi, rutin berolahraga. Menkomarves Luhut B Pandjaitan contohnya, sekarang dia menginjak usia 72 tahun. Umur segitu, sudah cukup tua, gaes. Tapi lihat, dia masih terlihat bugar, terbang sana sini mengurusi urusan negara. Saat ditanya apa rahasia sehatnya hingga saat ini, jawabannya cukup simpel, "Setiap hari aku selalu menyempatkan treadmill 5 kilometer," ungkapnya dalam wawancara yang diposting di akun Instagramnya. Wow. Cukup sederhana, bukan?
Itu lah yang gue rasain, kayaknya gue butuh olahraga rutin bukan hanya biar bisa angkat orang sakit saat pingsan, eh, amit-amit, dah. Maksudnya jaga-jaga saja untuk hal terburuk. Tapi juga investasi kesehatan di masa depan.
Untungnya kantor gue, kumparan, menyediakan olahraga High Intensity Interval Training (HIIT) yang diadakan sekali seminggu tepatnya setiap Selasa. Enggak mikir dua kali, gue langsung ikut setiap kelas diadakan. Awal-awal sakit, badan pegal-pegal semua. Tapi setelah beberapa kali, semuanya jadi terbiasa, bahkan ketagihan dengan rasa sakit setelah berolahraga. Oh ia, yang pasti olahraga semakin nikmat karena semuanya di sediakan secara cuma-cuma alias free.
Dan itu terbukti, setidaknya saat musim penghujan melanda Jakarta sejak akhir 2019, kadang hujan deras, kadang panas terik. Semuanya serba pancaroba. Orang-orang di ruangan kerja gue kena flu secara bergantian. Puji Tuhan, sampai artikel ini ditayangkan, badan gue belum terkena flu, batuk, dan penyakit musiman lainnya. Mudah-mudahan selalu diberikan kesehatan. Jadi sekali lagi, bukan masalah kantor kita menyediakan ini dan itu, tapi tentang bagaimana kita mendisiplinkan diri kita untuk sesuatu hal yang bermanfaat dalam hidup kita.
ADVERTISEMENT
Buat Fathur, rekan kerja gue, jangan sakit hati dengan unek-unek gue. Kadang alam semesta mengizinkan orang sekitar menjadi pemicu kita untuk melakukan hal yang lebih berarti. Tetap semangat. Dan buat Karina, terima kasih buat bokongnya, eh, maksud gue dengan adanya kejadian itu, membuat gue lebih memikirkan stamina gue, eh salah lagi, maksudnya kebugaran dan kesehatan gue. Mudah-mudahan tak ada orang yang gue sayangi terkhususnya keluarga gue jatuh sakit sampai harus digendong ke mobil, atau pun sekiranya itu terjadi, gue sudah siap sedia menolong. Hehehe.
Tetap jaga kesehatan, gaes, karena kesehatan tak tergantikan dengan uang yang kita cari pagi, siang, dan malam.
Salam, Sobat Bugar.