Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Malam Minggu di Java Jazz Festival
4 Maret 2018 2:00 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
Tulisan dari Josua Simanjuntak tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dentuman suara bass salah satu band indie asal Yogyakarta, membuka semaraknya Java Jazz Festival Sabtu sore. Panggung yang awalnya sepi, mulai dihampiri pengunjung Java Jazz.
ADVERTISEMENT
Menikmati puluhan stan-stan menarik, sembari melangkahkan kaki menjalani luasnya Jiexpo Kemayoran, berjalan tanpa arah, menikmati suasana musik jazz yang sebenarnya. Tepat hari kedua festival musik jazz terbesar se-Asia berlangsung, waktunya merasakan apa itu sebenarnya jazz.
Bagiku, bukan hal aneh mendengar konser, apalagi konser yang diselenggarakan di ibukota Jakarta. Tapi menjadi sangat aneh saat aku datang sendiri tanpa teman, kerabat, apalagi pacar. Cukup sampai disitu dulu, mari lanjutkan festival musik jazz dulu.
Tahun 2018, menjadi tahun ke-14 Festival Java Jazz diselengarakan di Jakarta. Patut berbangga Indonesia dipercaya menjadi tempat bersatu padunya para pecinta jazz se-dunia. Turis mancanegara tidak sulit ditemui di festival ini, sejauh mata memandang, mereka menjelma layaknya pengunjung lokal saking banyaknya.
ADVERTISEMENT
Kecintaan mereka terhadap jazz sepertinya sudah mendarah daging. Benar saja, saat Tompi, Glen, dan Shandy Sandoro mengguncang Hall D, mereka ikut berdesak-desakan menyaksikan ketiga musisi tanah air tersebut. Bukan lagu barat, melainkan 'Risalah Hati' milik Dewa 19 yang dibawakan ketiga musisi tersebut. Tidak kenal penyanyinya sudah pasti, tidak paham maknanya apalagi, tapi apa yang membuat mereka betah hingga akhir penampilan?
Musik tidak muluk tentang lirik, melainkan musik itu sendiri, kemungkinan hal tersebut bisa jadi pedoman mereka.
Dimulai pada 2-4 Maret 2018, ternyata festival ini sukses menarik perhatian warga Indonesia dan turis mancanegara, pasalnya setiap sudut ramai dikunjungi. Tapi lagi-lagi disitulah permasalahannya, hampir seluruh pengunjung datang dengan rekan, sahabat, 99 persen sepertinya berpasangan.
ADVERTISEMENT
Sepi di keramaian judul yang cocok malam itu. Ditengah gemerlapnya lampu-lampu, kuliner dimana-mana, musik jazz terdengar saut-menyaut, ternyata tidak mampu menenggelamkan kesepian itu. Selain menikmati lantunan nada yang mendayu-dayu, ternyata java jazz bukanlah tempat yang cocok bagi mereka yang sendiri. Tolong diingat, jangan berani menginjak java jazz bila kamu masih berjalan sendiri, sepi itu akan mendatangimu. Itu bukan lelucon, itu kenyataan.
Penawar sepi ternyata muncul di akhir acara, sekitar pukul 22.00 WIB. Siapa lagi kalau bukan JP Cooper yang mampu menetralisir racun sepi itu. Sebagai pewarta, tentunya saya memiliki akses yang tidak semua orang bisa miliki. Kesempatan berada dekat dengan pelantun 'September Song', hanya terpaut dua meter saja dengan penyanyi asal Australia tersebut. 'On my Mind' berhasil mengajak ribuan pengunjung bertepuk tangan, sekaligus menepuk kesepian itu jauh.
ADVERTISEMENT
Masih ada hari esok, hari terakhir Festival Java Jazz 2018.