Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menautkan Kenangan dan Masa Depan dalam Perencanaan Kota
17 Desember 2023 15:31 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Andy Arnolly Manalu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pertama, aku mengaku bersalah karena telat memenuhi janji kepada diri sendiri untuk menulis selama mengikuti Forum Bappeda dan Tata Ruang di Surabaya 23-25 November 2023. Kombinasi antara perjalanan yang melelahkan karena masalah yang telah menjadi klasik yakni delay penerbangan dan kondisi tubuh yang tidak fit karena dihajar flu seminggu sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Ditambah lagi ketika aku menebus lapar dengan sepotong bebek goreng di warung yang berhadapan dengan hotel tempatku menginap, membuatku bertemu kenyataan lain; perutku belum siap berkompromi dengan sambal khas kota pahlawan ini. Tapi janji tetaplah janji. Ia harus ditunaikan agar kau berhak untuk membuat janji baru.
Seperti sebuah kebetulan, sebelum mengikuti forum yang digagas Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) bekerja sama dengan Ikatan Ahli Perencanaan (IAP), World Resources Institute (WRI) dan Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya, seorang kawan mengirimkan Laporan Final Indonesia Most Liveable City (MLCI) Index 2022.
Survei ini menurut Ketua IAP, merupakan suatu snapshot atas persepsi warga kota tentang kelayakhunian kotanya sendiri, sehingga bisa digunakan sebagai salah satu refleksi dan referensi pemerintah dalam meningkatkan layanan perkotaannya seperti yang diamanatkan dalam PP Nomor 59 Tahun 2022 tentang Perkotaan.
ADVERTISEMENT
IAP sendiri sebelumnya telah merilis Indonesia Most Liveable City Index pada tahun 2009, 2011, 2014 dan 2017. Laporan yang menurutku komprehensif, menyajikan data yang informatif dan grafisnya cukup membantu untuk mengikuti alur pikir pelaksanaan survei.
Kembali ke Forum Bappeda dan Tata Ruang yang kuikuti. Senarai tentang kota yang ideal tak pernah sama di mata setiap orang. Citra kota yang maju, dekat dengan modernitas dan menawarkan beragam harapan seperti magnet yang menarik banyak orang.
Konsep ideal tentang kota, akhirnya berhenti kepada mereka yang mampu secara ekonomi dan bisa mengakses seluruh kelebihan kota. Orang miskin perkotaan, degradasi kualitas lingkungan dan semakin berkurangnya ruang terbuka yang bebas diakses publik, mungkin adalah identitas bersama milik kota-kota di Indonesia. Setidaknya itu yang kutangkap menjadi concern beberapa panelis.
ADVERTISEMENT
Hari ini, cerita tentang kota semakin kompleks. Pandemi COVID-19 adalah contoh sederhana bahwa ternyata kota sangat rentan terhadap berbagai ancaman. Berdasarkan pengalaman menghadapi pandemi kemarin dan kondisi isu-isu terkini dapat dipetakan bahwa masa yang akan datang, kota akan menghadapi apa yang disebut sebagai dalam paparan Ketua APEKSI, Bima Arya, sebagai mega risks yaitu pandemi, climate changes dan biodiversity collapse. Pandemi bisa diatasi dengan penemuan vaksin yang manjur tapi bagaimana dengan climate changes dan biodiversity collapse?
Pertanyaan tersebut hadir beriringan dengan konsep yang telah menjadi menjadi kamus sakti yaitu keberlanjutan (suistanability). Keberlanjutan seperti apa yang akan terjadi jika climate changes dan biodiversity collapse tidak segera diatasi? Modal utama pembangunan berkelanjutan adalah sumber daya alam yang memadai dan dilindungi.
ADVERTISEMENT
Lalu ketika berbicara tentang segala macam analisis, teori dan pendekatan yang akan dipilih, sejenak kita kembali diseret pada realitas mengapa dulu tak terpikirkan bahwa kondisinya akan seperti ini? Kenaikan suhu permukaan bumi yang mengakibatkan panas ekstrem sepanjang tahun ini tidak terjadi dalam begitu saja. Ada banyak penyebab yang jika ditelusuri ke belakang terjadi karena inkonsistensi kebijakan, program dan penegakan hukum.
Membumikan Perencanaan Kota
Rilis data BPS memproyeksikan bahwa pada tahun 2035, 66,6 % penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan. Sisanya sebanyak 33,4% tinggal di perdesaan. Tahun 2010, komposisi penduduk yang tinggal di kota dan desa berbanding 49,8% melawan 50,2%. Sejak tahun 2015, kondisi berbalik.
Penduduk di perkotaan lebih dominan dibandingkan desa dengan perbandingan 53,6% melawan 46,4%. Perubahan komposisi tersebut sejalan dengan tingkat urbanisasi yang mengalami peningkatan sejak tahun 1960-an. Akibatnya kota didera permasalahan yang kompleks. Perumahan dan permukiman, akses pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelayanan publik adalah beberapa isu utama. Belum lagi membahas potensi kerawanan sosial, angka kriminalitas yang cenderung tinggi dan memudarnya nilai-nilai komunal.
ADVERTISEMENT
Problem kota sejatinya gambaran dari akumulasi beban yang ditanggung warga kota. Persentase penduduk kota yang terus meningkat tidak diikuti dengan ketersediaan fasilitas umum yang memadai dari segi kualitas dan kuantitas. Akses terhadap pekerjaan dan upah yang layak belum bisa dinikmati mayoritas penduduk kota. Akibatnya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar terus menurun.
Persentase peningkatan Backlog, peningkatan permintaan rumah subsidi dan harga rumah yang semuanya berada pada 2 digit merupakan implikasi logis dari tingginya permintaan dibandingkan ketersediaan lahan dan rumah. Pandemi COVID-19 menggambarkan sisi rentan perkotaan.
Peningkatan pengangguran terbuka sebesar 6,65%, penurunan pertumbuhan ekonomi menjadi 3% dari sebelumnya 5% dan angka kemiskinan meningkat menjadi 10,71%. Semua angka tersebut terjadi pada warsa 2020 atau saat badai COVID-19 melanda. Angka-angka statistik tersebut tidak boleh dibiarkan berhenti pada materi laporan, review atau paparan belaka.
ADVERTISEMENT
Pada posisi ini, rilis MLCI menjadi penting untuk merefleksikan seperti apa kota-kota di Indonesia direncanakan dan dibangun. MLCI menggunakan 28 kriteria untuk mengukur kelayakan kota sebagai hunian. Mencermati 28 kriteria dimaksud, hampir semuanya masuk dalam praksis perencanaan kota dalam kategori fasilitas umum. Menariknya, desain perencanaan kota belum sepenuhnya melihat fasilitas umum dalam kerangka investasi.
Ukuran Livability dalam cara pandang yang progresif perlu untuk dilihat sebagai modal untuk meningkatkan kualitas kota. Misalnya, tingkat kepuasan utilitas publik merefleksikan seberapa jauh perencanaan kota menjawab kebutuhan penduduk akan kenyamanan melakukan aktivitas di ruang publik.
Koneksitas moda transportasi dengan cakupan yang luas menjawab kebutuhan mobilitas penduduk dalam aktivitas sehari-hari. Kemudahan dalam aktivitas di ruang publik, mobilitas dan akses pelayanan publik dalam perspektif foresight perencanaan akan menurunkan tingkat stress, kemacetan dan polusi udara.
ADVERTISEMENT
Dampak jangka menengah dan jangka panjangnya berupa derajat kesehatan penduduk kota yang tinggi, semakin sedikit penduduk yang menggunakan kendaraan pribadi dan pemakaian energi fosil yang bisa ditekan. Konstruksi berpikir menjadikan fasilitas umum sebagai investasi secara bertahap akan mendorong kota menjadi kian layak huni dan berkelanjutan dari aspek ekologi.
IAP merekomendasikan Solusi berbasis Alam (SbA) sebagai model pendekatan transformasi perkotaan 2045 dan pondasi transformasi 2030. SbA menitikberatkan pada pembangunan perkotaan yang adaptif dan mengintegrasikan solusi-solusi alam untuk mengatasi permasalahan pengelolaan perkotaan.
Secara singkat SbA dapat dilihat sebagai guidance untuk mencari solusi mitigasi dan adaptasi mengatasi permasalahan kota yang dinamis namun belum berkelanjutan. Saat ini, melihat lini masa penyusunan dokumen perencanaan, praktis seluruh daerah sedang Menyusun RPJPD.
ADVERTISEMENT
SbA merupakan salah satu tawaran yang menarik dipergunakan untuk menentukan arah kebijakan dan sasaran pokok pembangunan 20 tahun ke depan dari aspek lingkungan.
Selama ini pembahasan mengenai perencanaan yang memperhatikan keberlanjutan lingkungan masih terpaku pada konsep daya dukung dan daya tampung lingkungan. Persoalannya ukuran kedua konsep tersebut belum dilengkapi dengan strategi praktik untuk dikerjakan oleh setiap satuan kerja sampai unit terkecil.
Akibatnya dampak pembangunan terhadap kelestarian lingkungan yang berkelanjutan menjadi tak terukur secara pasti. SbA merupakan alternatif yang patut dicoba dalam perencanaan pembangunan daerah. Pembangunan kota yang inklusif seyogyanya mengembalikan fungsi-fungsi alami lingkungan.
Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan integrasi SbA dalam setiap tahapan perencanaan. Aplikasi SbA sampai pada unit terkecil akan mengatur konsekuensi dari penggunaan atau perubahan fungsi lahan harus disertai dengan kepastian terjaganya fungsi-fungsi alam yang tadinya telah ada.
ADVERTISEMENT
Implikasi bahwa akan ada tambahan biaya yang lebih besar karena adanya rekayasa untuk menjaga fungsi-fungsi alam tidak perlu dikhawatirkan karena SbA seperti telah dikemukakan sebelumnya adalah bagian dari investasi.
Menurutku, sudah saatnya perencanaan kota Kembali membumi. Tak melulu terjebak pada segala sesuatu yang serba mekanis atau digital. Degradasi kualitas lingkungan harus diatasi dengan pendekatan berbasis lingkungan. Kerusakan fungsi ekologis pada alam mesti diatasi dengan merehabilitasi ekosistem terkait agar kembali sehat dan seimbang.
Perencanaan kota yang membumi akan menempatkan alam sebagai pusat semesta kebijakan. Artinya, semua pembangunan infrastruktur harus disertai kepastian menyediakan ruang kompensasi bagi alam untuk tetap menjalankan fungsi ekologisnya. Rasanya tak perlu dijelaskan berulang kali penyebab banjir pada wilayah perkotaan atau terik yang konstan melanda kota karena kini telah serupa hutan beton.
ADVERTISEMENT
Pada sesi tanggapan, kalau aku tak salah mengingat Ibu Linny Tambajong dengan indah memberikan umpan balik mengenai SbA. Beliau mencoba mengajak peserta menyusuri sungai waktu perencanaan pembangunan serta dinamika permasalahan yang melanda perkotaan. Dalam ingatanku yang pendek ini, Ibu Linny mengatakan, “sekarang kita ditawarkan menggunakan SbA dalam perencanaan pembangunan dan tata ruang tapi alam kita sudah telanjur tak sama lagi..”.
Aku pikir respons seperti ini penting, untuk terus mengingatkan kita tidak larut dalam gegap gempita menyambut hal-hal yang baru. Paparan Wali kota Bogor sekaligus Ketua APEKSI kupikir adalah penutup yang tepat untuk catatan kecil ini. Beliau menekankan pentingnya kolaborasi, adaptasi, dan konsistensi.
Tanpa ketiganya, imajinasiku dan mungkin juga imajinasimu tentang perencanaan kota yang menautkan kenangan masa lalu tentang alam yang masih asri, hijau, tenang dengan kenyataan masa kini dan masa depan yang setidaknya tetap menyediakan alam yang sehat dan layak huni akan makin sulit terwujud.
ADVERTISEMENT
Malamnya, aku batal mengikuti city tour dan menyusuri Sungai Kalimas yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Surabaya untuk seluruh peserta forum. Seraya mencoba meredakan perut yang sedang tak ramah, aku menikmati keseruan kegiatan tersebut melalui grup berbagi pesan. Malam itu niatku membuat catatan kecil yang kerap kulakukan saban bepergian ke luar kota pun tak terwujud. Hari ini barulah tunai.
Tabik!