Konten dari Pengguna

Vina, Potret Korban Tumpulnya Hukum

Andy R Wijaya
Corporate Lawyer - Partner RESOLVA Law Firm
14 Mei 2024 8:11 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andy R Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi: policeline. foto: feepik.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi: policeline. foto: feepik.com
ADVERTISEMENT
Jadi begini bu.., polisi dari sejak awal juga sudah curiga, kalo ini bukan kecelakaan. Tapi kami belum cukup banyak bukti ya..” begitulah sepenggal percakapan antara petugas kepolisian dengan neneknya Vina yang di saksikan dani, seorang wartawan yang ingin mengungkap kasus Vina ini. Yang kemudian ditanggapi dani “sebenernya polisi jago ngehendel kasus, tapi hobby aja ngumpetin kecurigaannya..”
ADVERTISEMENT
Percakapan tersebut cukup mewakili bahwa film “Vina” yang saat ini sedang tayang di bioskop adalah potret dari tumpulnya hukum di Indonesia. Film tersebut adalah kisah nyata yang menceritakan kasus pembunuhan yang dilakukan oleh geng motor di Cirebon Jawa Barat pada tahun 2016. Saya tertarik untuk menulis ini, bukan karena genre horornya yang mendominasi, namun karena film tersebut punya persinggungan objek hukum yang patut untuk kita jadikan pelajaran;
Pertama, Bagaimanapun juga bullying adalah perbuatan buruk yang harus kita perangi bersama. Cerita film tersebut setidaknya memberikan penegasan bahwa sebelum ada kejadian pembunuhan bahkan saat pembunuhan-pun di dominasi adanya bullying. Adegan tersebut di antaranya adalah Vina yang di maki-maki oleh perempuan diduga pacar Egi, di mana Egi adalah laki-laki yang suka Vina. Menurut pengakuan arwah Vina yang merasuk ke Linda, teman Vina; Egi adalah tokoh utama pembunuhan tersebut.
ADVERTISEMENT
Bullying kedua adalah Egi yang dengan tenangnya masuk toilet perempuan untuk menyambangi Vina dan mengeluarkan kata-kata yang merendahkan perempuan bahkan mengarah ke pelecehan seksual, hingga akhirnya Vina mempertahankandiri dan berupaya lari dengan meludahi Egi. Kejadian inilah yang kemungkinan besar membuat Egi untuk berupaya ‘menaklukkan’ Vina di kemudian hari.
Pesan moralnya adalah dimanapun juga manusia punya martabat kemanusiaan. Manusia tidak berhak untuk merendahkan manusia lain. Bullying adalah tindakan merendahkan orang lain dengan merendahkan martabatnya. Yang oleh Rachel Simmons seorang Advokat dan juga aktivis perempuan di Amerika, bullying di kelompokkan dalam lima kategori: kontak fisik, kontak verbal langsung, non-verbal, non-verbal tidak langsung, pelecehan seksual (Simmons, 2002). Dua contoh apa yang di lakukan Egi merupakan bentuk bullying yang sangat nyata yaitu verbal langsung serta pelecehan seksual, dan menjadi pemicu adanya dendam bahkan berujung pada pembunuhan.
ADVERTISEMENT
Kedua, geng motor. Kelompok ini dari dulu selalu memunculkan berita negatif. Hampir tidak ada berita positif tentang geng motor. Dari tawuran, balap liar, mabuk, berujung pada penganiayaan orang tanpa sebab di jalanan menjadi berita yang menghiasi media. Di Jogja misalnya ada istilah ‘klitih’ yang merupakan istilah kejahatan jalanan yang dilakukan oleh beberapa oknum anak-anak muda Jogja. Mereka tanpa sebab tau-tau membacok korban di jalanan.
Ini berbeda dengan fenomena ‘begal’ yang memiliki motif ekonomi, klitih tanpa ada motif ekonomi. Yang mereka lakukan hanyalah unjukdiri untuk mengangkat eksistensi geng ataupun kelompok mereka saja. Hal ini sama seperti teorinya Arnold H. Buss, tentang teori agresi. Profesor Psikologi dari University of Texas tersebut katakan bahwa agresi adalah suatu perilaku yang dilakukan untuk menyakiti, mengancam, atau membahayakan individu-individu atau objek-objek yang menjadi sasaran perilaku tersebut baik secara fisik atau verbal dan langsung atau tidak langsung (Buss, 1992).
ADVERTISEMENT
Jika kita tilik dalam Vina-pun juga demikian, geng motor yang di pimpin oleh Egi, tidak ada sedikitpun motif ekonomi. Yang dilakukan oleh Egi, dkk hanyalah motif unjuk diri untuk mengangkat eksistensi dengan cara ‘menaklukkan’ Vina yang secara tidak langsung sudah menolak ajakannya sampai tiga kali (saat dikasih es krim depan sekolah, saat diminta duduk satu meja di cafe, saat dilecehkan di toilet). Geng motor tersebut akhirnya dengan tega sampai melukai, menganiaya, memperkosa, dan terakhir membunuh Vina dan temannya, zaki.
Ini adalah pelajaran kedua tentang tumpulnya hukum dengan ketidakhadiran Negara atas fenomena geng motor yang masih menghiasi di beberapa kota. Dari fenomena klitih di Jogja-pun kita belajar bahwa pemerintah sebenarnya sudah berupaya untuk menurunkan tensi pergerakan anak-anak muda yang berpotensi mengkristal pada geng motor. Pemerintah setidaknya sudah mengeluarkan Pergub DIY 28/2021 yang pada intinya mengajak masyarakat Jogja untuk turut serta ‘jaga warga’ dengan ikut berpatroli di jam-jam malam untuk menjaga kondusifitas lingkungan. Namun peraturan tersebut seharusnya bisa lebih kuat lagi dengan memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku.
ADVERTISEMENT
Dua persinggungan hukum atas dua fenomena di atas, (bullying dan geng motor) adalah embrio atas terjadinya kejahatan-kejahatan lanjutan. Dan yang ketiga adalah, ketidakprofesionalan oknum aparat. Kutipan percakapan di alinea pertama di atas cukup mewakili adanya tumpulnya hukum. Aparat seharusnya bertindak professional untuk mengungkap kejadian sebenarnya. Apalagi dengan jelas, bukti serta petunjuk sudah terlihat. Karena jika fenomena ini dibiarkan sendiri oleh aparat, maka kejadian-kejadian serupa akan terulang.
Masyarakat menganggap sesuatu hal yang terjadi dianggap biasa saja atas kejahatan-kejahatan yang pernah dilakukan. apalagi sampai sekarang, tiga dari sebelas pelaku kejahatan tersebut belum ditemukan dan diduga sudah mengubah identitas serta berpisah di tempat yang berbeda. Satu di antara tiga yang belum ketemu tersebut merupakan anak dari seorang aparat kepolisian.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun juga kita mencintai masyarakat yang aman, damai serta tertib. Kita pun juga mendambakan aparat yang bertindak professional. Karena itulah--aman, damai, serta tertib bisa terwujud jika hukum tidak tumpul ke atas dengan diwujudkan kejahatan-kejahatan yang sudah terjadi dapat ditindak secara tegas sehingga menimbulkan efek jera pada masyarakat, hingga masyarakat-pun akan berpikir ulang jika akan lakukan kejahatan serupa.