Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Cerita dari Sleman: BCS, Penguasa Selatan Tanpa Pemimpin
5 Februari 2020 11:45 WIB
Tulisan dari Angga Septiawan Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya, Rizqan, dan Cholis tak tahu banyak hal tentang Brigata Curva Sud (BCS). Saat pertama kali memilih topik ini sebagai topik penulisan berita mendalam, kami — khususnya saya yang memang mengajukannya — sebatas tertarik. Faktor utama adalah karena pada awal 2017 lalu, mereka mencuri perhatian lewat koreografi empat dimensi saat PSS Sleman berlaga melawan Persipura Jayapura.
ADVERTISEMENT
Kalau begini, hal pertama yang kami lakukan tentu saja adalah ngecek-ngecek internet. Di Google kami menulis ‘Brigata Curva Sud’. Yang kemudian keluar di urutan teratas? Website dengan alamat bcsxpss.com.
Saya buka. Klik!
Saya kira itu laman yang tampak rapi. Didominasi warna hitam, ia— tentu saja — menyajikan banyak informasi mengenai BCS yang disusun ke dalam enam rubrik. Selanjutnya tiba-tiba saja saya mengklik satu dari sekian rubrik tersebut. Manifesto namanya.
Rubrik ini berisi berbagai macam aturan dalam tubuh BCS. Ada delapan yang tertulis di sana. Salah satunya ‘No Leader, Just Together’. Manifesto itu kurang lebih memiliki arti seperti ini: Tidak ada kepengurusan atau tidak ada pemimpin, yang ada hanyalah kebersamaan.
Jujur saja, manifesto tersebut sempat membuat kami bingung menentukan siapa yang berwenang untuk dimintai keterangan demi kelengkapan tulisan. Beberapa kenalan yang sudah tinggal lama di Yogyakarta mengatakan, memang sulit mencari sosok yang pas untuk diwawancarai jika hendak mencari tahu tentang kelompok suporter PSS Sleman ini. Kebanyakan dari mereka enggan memberikan komentar. Sejumlah penulis dan wartawan sepakbola setempat juga berkata serupa.
ADVERTISEMENT
Sampai sini saya sempat bingung. Bahkan, ada keinginan buat menyerah dan mencari topik lain saja. Apalagi jarak dari Bandung ke Sleman memang jauh dan keuangan kami tak seberapa buat berlama-lama di sana. Tapi beberapa waktu berselang, seorang kawan yang merupakan Sleman Fans bernama Rianto memberi sebuah nama beserta kontak Whats App.
“Namanya Mas Zulfikar. Bilang aja dapat kontaknya dari anggota Sleman Fans Bandung,” Rianto menulis via pesan singkat.
Dengan didapatnya nama dan kontak itu, saya mulai menyusun apa saja yang mesti dilakukan di sana, akan berapa hari, tinggal di mana, dan sebagainya. Namun yang jelas, titik awal perjalanan kami adalah menemui sosok Zulfikar.
Fikar, begitu ia biasa disebut, bukanlah orang sembarangan di BCS. Sosok yang 2017 lalu merupakan manajer PSS Sleman, Arif Juliwibowo, mengenal ia sebagai salah satu sosok sentral. Fikar juga banyak dikenal oleh para suporter Sleman. “Dia seperti pelaksana harian BCS,” kata Arif kepada kami.
ADVERTISEMENT
Walau demikian, pada pagi hari tanggung saat kami temui di sekretariat Brigata Curva Sud, Jalan Delima Raya, Sleman, Fikar justru mengenalkan diri sebagai relawan.
“Saya volunteer, Mas, relawan,” katanya diiringi senyum.
Fikar tak begitu senang saat kami singgung ihwal klaim bahwa dia merupakan sosok penting di BCS. Ia bilang, semua orang yang pernah berdiri bersama di tribune selatan Stadion Maguwoharjo, basis BCS, punya peran yang sama-sama krusial. Dia enggan menyebut satu atau dua sosok sebagai yang terpenting.
Untungnya, dia bersedia memberi komentar soal BCS. Barangkali karena dia tahu bahwa kami tak bakal menggunakannya untuk hal yang tidak-tidak. Dia jelas mengerti bahwa kami cuma mahasiswa yang butuh nilai agar tak mengulang tugas yang beratnya minta ampun ini pada semester berikutnya.. hehe..
ADVERTISEMENT
Kepada kami, Fikar memberi komentar soal didaulatnya BCS sebagai salah satu ultras terbaik di Asia oleh Copa90 pada Februari 2017 lalu. “Saya pribadi ndak terlalu peduli tentang penghargaan itu. Tujuan kami di BCS cuma untuk mendukung PSS Sleman seratus persen. Bukan untuk meraih penghargaan atau pujian orang lain,” katanya.
Meski begitu, Fikar mengaku tetap bangga. Dia menilai bahwa didaulatnya BCS sebagai ultras terbaik di Asia oleh salah satu media sepak bola digital kenamaan dunia itu merupakan salah satu bentuk pengakuan atas loyalitas dan kreativitas BCS dalam mendukung PSS. Yaahhh… walau mereka sendiri sebetulnya tak mengharapkan pengakuan.
Kami kemudian menyinggung soal tidak adanya ketua dalam tubuh BCS sebagaimana yang tercantum di laman mereka.
ADVERTISEMENT
“Soal manifesto ‘no leader just together’, itu artinya secara rinci bagaimana? Terus alasannya?” Saya bertanya.
Begini, kata Zulfikar, aturan tersebut diberlakukan agar semua anggota memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam setiap pengambilan keputusan serta melaksanakan tiap kebijakan yang telah disepakati.
“Lalu, keputusan-keputusan tersebut diperolehnya bagaimana?”
“Lewat forum,” Fikar menjawab singkat.
Saya lantas bertanya mengenai hal tersebut kepada Batak, begitu BCS biasa memanggilnya — kami mendapat aksesnya dari Zulfikar sendiri, pada kesempatan berbeda. Menurut sosok yang merupakan capotifo BCS itu, setiap kebijakan atau keputusan menyangkut kepentingan BCS memang diperoleh melalui forum.
“Karena BCS tidak memiliki struktur organisasi, maka segala keputusan diambil lewat forum,” katanya.
Dalam forum, semua orang yang hadir berhak menyampaikan gagasan atau pendapat. Pendapat itu kemudian akan disaring dan didiskusikan untuk mencapai kesepakatan bersama.
ADVERTISEMENT
Forum yang dilaksanakan sendiri berlangsung secara terbuka. Artinya, semua anggota BCS berhak hadir pada forum tersebut. Namun, menurut Batak, peserta yang hadir biasanya hanya perwakilan dari tiap komunitas.
“Setiap komunitas yang ada di BCS akan secara bergantian menjadi tuan rumah forum,” ungkap Batak.
Hal-hal yang dibahas dalam forum biasanya mengenai koreografi, keuangan, hingga soal klub yang mereka dukung. Batak menilai pengambilan keputusan lewat skema ini lebih efektif daripada, misalnya, dengan keputusan tunggal atau melalui ketua.
“Alhamdulillah, sejauh ini efektif dan berjalan dua arah. Tidak ada orang tertentu yang mendominasi,” ujar Batak.
Seorang lelaki yang kami temui sesaat setelah mengantri tiket pertandingan PSS di Maguwoharjo, mengatakan, forum juga menjadi wadah silaturahmi bagi BCS. Lelaki itu mengaku sebagai anggota BCS. Sayang, ia menolak namanya disebutkan.
ADVERTISEMENT
“Kalau keterangannya silakan saja,” ujarnya.
Kick Out Politics From Our Tribune
Selain bertujuan menyamakan hak dan kewajiban setiap anggota, ‘no leader just together’ diberlakukan agar BCS tak bisa disusupi unsur politik. Mereka memang melarang keras politik masuk ke tribune selatan sebab hal itu dianggap dapat menjadi pemecah belah.
Contohnya terjadi beberapa tahun lalu. Saat masa pemilihan kepala daerah, salah satu calon mendekati BCS untuk meraih banyak massa. “Beruntung kami tidak memiliki ketua. Kalau ada ketua pasti gampang didekati karena hanya seorang. Kalau tanpa ketua ‘kan mereka-mereka itu jadi bingung mau deketin siapa,” jelas Fikar.
Walau demikian, BCS sama sekali tidak melarang jika ada anggota yang ingin berpolitik. “Asal tidak dibawa masuk ke tribun,” ujar Fikar lagi.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, tidak adanya ketua di dalam kelompok suporter bukanlah hal yang benar-benar baru. Namun tetap saja, BCS berbeda karena benar-benar tak mengedepankan kultus individu. Jarang sekali ada sosok macam Yuli Sumpil atau Andi Peci yang tiba-tiba mencuat dan jadi bahan pemberitaan media massa.
Yang kemudian membuat mereka justru lebih padu dan terarah kendati tidak mengedepankan kultus individu ini, pertama, adalah prinsip sama rata sama rasa yang juga sempat disinggung Zulfikar. Ini senada dengan pendapat penulis buku 'Sepakbola Seribu Tafsir', Edward S. Kennedy.
Menurut dia, kesadaran dalam memahami kesetaraan individu menjadi salah satu yang memengaruhi kekompakan BCS. Prinsip ‘sama rata sama rasa’ dianggap sangat mungkin terjadi pada sebuah unit kolektif yang memiliki tujuan yang sama. Basis dasar teori dari prinsip ini, kata dia, adalah anarkisme.
ADVERTISEMENT
Kami juga bertanya kepada Randy Aprialdi, eks penulis Panditfootball, yang biasa menulis feature panjang seputar kultur tribun stadion.
“Setahu saya, sebagian anggota BCS adalah mahasiswa dan mantan mahasiswa serta pelajar sekolah. Karena itu, biasanya mereka punya banyak referensi dan literatur dalam mengkoordinir massa yang besar. Makanya mereka amat progresif,” ujarnya.
Sementara itu, Wahyu Gunawan, ahli sosiologi dari Universitas Padjadjaran, menyebut kepatuhan anggota BCS terhadap aturan yang berlaku meski tak memilik ketua sebagai sesuatu yang menarik dan jarang ditemukan pada kelompok-kelompok berskala besar. Ia menjelaskan, guyub (kerukunan) dengan solidaritas tinggi seperti itu merupakan ciri kelompok tradisional khas masyarakat Jawa.
“Tapi tampaknya roda program kegiatan bersama berlangsung di antara kelompok kecil atau koordinator,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
---
Feature ini saya tulis pada 2017 lalu. Diunggah ulang dengan sejumlah penyesuaian untuk memperingati ulang tahun ke-9 Brigata Curva Sud.