Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bila Bulan Tak Ada
21 Juli 2019 16:52 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Kamu biasanya turun di mana? Stasiun terakhir ya—Bogor?”
“Bukan, Cilebut.”
ADVERTISEMENT
“Loh, kok nggak di Bogor? Bukannya berangkat dari Bogor?
“Berangkat dari Bogor, pulang lewat Cilebut.”
“Kenapa beda begitu?”
“Berangkat dari Bogor supaya dapat duduk di kereta. Pulang lewat Cilebut supaya bisa jelas lihat Bulan. Kilau Bulan di Cilebut lebih kuat. Di Bogor Kota terlalu banyak lampu, mendistorsi cahaya Bulan. Aku biasa lihat Bulan sambil jalan pulang.”
“Ooo…”
***
“Gaes, bulannya bagus banget. Bundar sempurna, besar benderang, bahkan dilihat dari kota penuh polusi ini,” kataku, Kamis malam (18/7), melempar sekadar ujaran random ke salah satu grup WhatsApp (yeah, aku punya belasan grup hanya untuk satu tempat kerja—grup internal tim, grup lintas tim, grup koordinasi, grup diskusi, grup rumpi, grup bersama atasan, grup tanpa atasan, grup penting, grup setengah penting, grup superpenting, grup tiada guna, dan grup-grup lain yang kadang sebaiknya dibinasakan, eh dibisukan, kalau mau hidup tenang).
ADVERTISEMENT
Anyway, malam itu aku baru keluar dari gerbang kantor menuju stasiun, dan segera terpana melihat Bulan menyala di langit. Aku langsung teringat sejumlah bab pada buku Arca Jingga -ku yang menyebut-nyebut soal Bulan (maklum saja, aku pemuja Bulan).
Bahkan, kutipan favoritku dari pengarang favoritku—Haruki Murakami—menyinggung soal Bulan:
The moon had been observing the earth close-up longer than anyone. It must have witnessed all of the phenomena occurring—and all of the acts carried out—on this earth. But the moon remained silent; it told no stories. All it did was embrace the heavy past with a cool, measured detachment. On the moon there was neither air nor wind. Its vacuum was perfect for preserving memories unscathed.
Sehari sebelumnya, Rabu (17/7), kebetulan terjadi gerhana bulan sebagian. Tapi aku tak menyaksikannya, dan tak tahu pula apakah peristiwa alam itu terlihat dari tempatku tinggal atau tidak. Saat itu aku masuk sarang lebih dini, sebelum Bulan keluar, dan langsung tertidur pulas setelah dijerat perkara pekerjaan seharian.
ADVERTISEMENT
Maka, terang bulan di depan mataku keesokan harinya sungguh bikin senang. Melihat purnama sempurna dalam perjalanan pulang adalah anugerah istimewa
“Mungkin ini salah satu malam yang cocok untuk mendarat di Bulan,” ujarku sembarang di grup WhatsApp yang sama.
“Tapi nggak cocok buat nulis pendaratan di Bulan,” sahut Tio, asisten redakturku yang bersama rekan-rekannya tengah berjibaku menyusun kisah memikat soal Setengah Abad Jejak Manusia di Bulan yang jatuh pada 20 Juli.
Aku tersenyum sambil memberinya emotikon bulan dan api (semangat!) di grup chat itu.
Kalau dipikir-pikir, Bulan begitu dekat dan lekat dengan manusia, terlepas dari letaknya yang berjarak 384.400 kilometer dari Bumi. Satelit alami Bumi itu selalu menggantung di sana. Bulan seolah sudah ada bersama Bumi sejak dulu kala—meski menurut perhitungan kosmologi, ia terbentuk belakangan, tak lama sesudah Bumi berwujud 4,5 miliar tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Seperti Bumi yang ada sebelum manusia, begitu pula Bulan. Tak heran, hampir semua folklor di dunia menyinggung soal Bulan. Termasuk kisah kelinci bulan dan manusia serigala yang legendaris. Di masa lalu, bulan memang kerap dikaitkan dengan perkara mistis dan sihir.
Namun, terlepas dari dongeng-dongeng manis—atau seram—pengantar tidur itu, pernahkah terpikir seperti apa gerangan kalau Bulan tak ada? Seberapa besar sebetulnya pengaruh Bulan bagi Bumi dan manusianya? Bagaimana Bumi tanpa Bulan? Beginilah yang akan terjadi seperti diceritakan Inside Science:
Jadi, bisa dibilang Bulan adalah bagian tak terpisahkan dari Bumi. Ia bukan hanya ada di sana, sebab gravitasi Bulan punya pengaruh sangat besar bagi Bumi. Ia mempengaruhi pasang surut air laut dan panjang pendek hari di Bumi.
ADVERTISEMENT
Tanpa Bulan, Bumi berotasi (berputar pada sumbunya) lebih cepat karena ketiadaan gravitasi Bulan. Maka, satu hari bukan lagi 24 jam, tapi 6-12 jam. Hmm bayangkan, sehari 24 jam saja tak cukup untuk merampungkan seluruh pekerjaan, apalagi bila dipangkas separuhnya atau bahkan lebih dari itu.
Imbas lebih lanjut dari 6-12 jam sehari ialah: kita punya lebih banyak hari dalam satu tahun. Tak tanggung-tanggung, bakal ada seribu hari lebih dalam setahun. Hari-hari benar-benar berlalu dalam sekejap.
Jadi, selama ini gravitasi Bulan rupanya “menjaga” Bumi agar tak terlalu terburu-buru dalam berpusing.
Tanpa Bulan, kemiringan sumbu Bumi akan berganti-ganti, tak lagi stabil di 23,5 derajat seperti saat ini. Akibatnya, cuaca di Bumi bakal luar biasa ekstrem. Bumi tak akan punya pergantian musim secara periodik. Iklim jadi tak pasti dan tak terprediksi.
Bumi tanpa Bulan juga punya ketinggian permukaan laut yang berbeda. Laut surut menjadi cuma sepertiga dari yang sekarang. Volume air laut yang jauh berkurang ini otomatis melenyapkan banyak hewan laut yang selama ini tersebar di kedalaman laut berbeda-beda. Yang tersisa hanyalah makhluk laut dalam.
ADVERTISEMENT
Dan akibat ketiadaan Bulan tentu saja: langit jadi teramat gelap, tak ada gerhana bulan, dan tak ada Moonlight Sonata-nya Beethoven. Yang terpenting: evolusi kehidupan di Bumi akan berlangsung berbeda.
Terang bahwa Bulan memang sebegitu pentingnya bagi Bumi. Ia tak sekadar ada. Seperti pula semesta raya yang bukan hanya dekorasi megah untuk memanjakan mata. Di balik itu, semua punya makna.