Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Dakwah Ramah, Dakwah Ilmiah
17 Mei 2019 12:27 WIB
ADVERTISEMENT
Aku bukan orang religius, tapi aku selalu suka mendengar ceramah Quraish Shihab. Sejak kecil, bila Ramadan tiba, aku sering mendengar suaranya mengalun dari televisi di ruang tengah rumahku kala waktu sahur. Intonasinya bisa sedikit naik atau turun, tapi iramanya selalu sama: tenang dan teduh.
ADVERTISEMENT
Berderet bukunya juga menghiasi rak rumahku. Buku-buku itu bukan punyaku, tapi milik bapakku yang sejak muda gemar membaca buku keislaman. Sekarang sebagian besar buku itu sudah berpindah ke masjid kompleks supaya lebih berguna.
Maka ketika rekan kerjaku berkata hendak mewawancarai Quraish Shihab, aku sontak ingin turut serta. Namun ada hal lain yang perlu kuurus, sehingga aku harus puas hanya ikut menyusun pertanyaan bersama mereka.
Aku senang melihat cara Prof. Quraish bertutur. Ia selalu bicara hati-hati. Tak pernah omong sembarang, tak mau menyakiti hati orang. Ia berupaya memahami, dan tak mau menghakimi. Ia menasihati, tapi tak menggurui.
Begini misalnya yang ia ucapkan ketika menyampaikan tausiah pada acara ‘Dakwah Ala Nabi: Dakwah Tanpa Marah’:
ADVERTISEMENT
“Ketika Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi nabi, perintah pertama untuknya, dan itu diperintahkan dua kali, adalah ‘iqra’ atau ‘bacalah’, tanpa disebut objek (yang harus dibaca)nya. Baca apa saja. Baca yang tertulis, baca yang tidak tertulis, baca masyarakat. Membaca adalah syarat pertama untuk menyampaikan ajaran.
Ajaklah orang menuju jalan Tuhan-mu dengan hikmah, yakni ilmu amaliah dan amal ilmiah. Sampaikan ilmu yang bisa diamalkan/diterapkan, dan amal yang ilmiah—perbuatan dan sikap yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.”
Tutur sejuk Quraish terlihat pula pada guratan tulisannya. Seperti yang ia katakan ketika mendorong orang untuk meyakini keberadaan Tuhan dalam salah satu bukunya, ‘Menyingkap Tabir Ilahi’:
“Cobalah hentikan hiruk pikuk kesibukan dan lepaskan jiwa mengembara bersama keluasan alam raya, pasti ada saat di mana lahir dorongan untuk bertemu dan menyatu dengan satu kekuatan Maha Dahsyat di luar alam raya ini, disertai keyakinan bahwa kepada-Nyalah bersumber dan bermuara segala sesuatu.
ADVERTISEMENT
Manusia yang membaca lembaran alam raya, niscaya akan mendapatkan-Nya. Sebelum manusia mengenal peradaban, mereka yang menempuh jalan ini telah menemukan kekuatan itu, walau nama yang disandangkan untuk-Nya bermacam-macam, seperti Penggerak Pertama, Pencipta Alam, Kehendak Mutlak, Yang Maha Kuasa, Yahwe, Allah, dan sebagainya.
Bahkan seandainya mata tidak mampu membaca alam raya, maka mata hati dengan cahayanya akan menemukan-Nya, karena manusia mampu memandang Tuhan melalui lubuk hatinya, bahkan mendengar ‘suara Tuhan’ menyerunya.
Sesekali pada seseorang, panggilan itu sedemikian kuat, dan pada orang lain ia lemah, remang, dan redup. Namun demikian, sumbernya tidak lenyap dan akarnya mustahil tercabut.
Seandainya manusia bisa merasa puas dengan intuisinya dalam mencari Tuhan, niscaya banyak jalan dapat dipersingkat. Tetapi tidak semua orang demikian. Banyak yang menempuh jalan berliku-liku, memasuki lorong-lorong sempit guna melayani ajakan akal yang mengajukan aneka pertanyaan ilmiah, sambil mendesak memperoleh jawaban yang memuaskan nalar.
ADVERTISEMENT
Dan Islam tidak menolak melayani desakan akal. Bukankah Dia memerintahkan untuk memandang alam dan fenomenanya dengan pandangan nalar, serta memikirkannya?”
Masih dalam buku yang sama, Prof. Quraish mengemukakan soal kekhawatirannya—dan banyak orang lain—terhadap cara penyampaian ajaran Islam yang dirasa kurang tepat.
“Kesan umum yang agaknya dirasakan banyak orang adalah bahwa Allah yang kita kenal atau diperkenalkan kepada kita bukanlah Allah yang cinta-Nya merupakan samudera tak bertepi, yang anugerah-Nya seperti langit tak berujung, yang amarah-Nya dikalahkan oleh rahmat-Nya, serta yang pintu ampunan-Nya terbuka lebar setiap saat.
Tetapi yang diperkenalkan kepada kita adalah Allah Yang Maha Perkasa dan Allah yang Maha Pedih Siksa-nya, atau Allah Yang Maha Besar Ancaman-Nya.”
Cendekiawan muslim yang mendalami tafsir Alquran di Al-Azhar Kairo itu pun mengajak umat Islam untuk menyebarkan pemahaman tentang Allah yang penuh welas asih.
ADVERTISEMENT
“Tuhan itu Maha Pemurah. Ia memberi tanpa diminta, dan memberi melebihi harapan. Tampilkan wajah kasih-Nya. Jangan tampilkan dendam dan amarah. Jangan tekankan neraka, neraka, neraka saja. Tekankan rahmat-Nya lebih luas dari yang kita harapkan, pengampunan-Nya lebih luas dari dosa kita.
Tidak ada dosa yang tidak Dia ampuni, asal kita mau (tobat). Allah berfirman dalam sebuah Hadis Qudsi, ‘Kalau Engkau datang kepada-Ku, bertobat dengan membawa sejumlah dosa yang memenuhi langit dan bumi, Aku akan datang menemuimu dengan pengampunan sejumlah langit dan bumi.’”
Bagiku, kebijaksanaan dan keilmuan seorang Quraish Shihab tak perlu diragukan, terlepas dari kontroversi yang menerpanya. Tentu tak semua orang sependapat. Seperti yang ia sebut sendiri, perbedaan pandangan itu biasa dan tak semua hal perlu diperdebatkan.
ADVERTISEMENT
“Kalau bicara soal perbedaan, itu terlalu banyak. Pilihlah yang menenangkan hati Anda. Pilih setelah belajar atau mendengar dari ulama yang ilmunya membuat Anda tenang.
Masing-masing (mazhab) punya dalil. Jalurnya beda-beda. Tidak perlu dipertentangkan dan dipersalahkan. Selama tujuan kita ke sana (jalan Allah), Insyaallah dirahmati. Kunci surga bukan di tangan ustaz. Kunci surga di tangan Allah. Allah yang putuskan.
Islam bisa menjadi agama yang sesuai di setiap waktu dan tempat karena interpretasi dalam rincian ajarannya bisa berbeda-beda. Jadi tidak perlu berkelahi, saling tuding, atau berkata ‘Anda sesat dan saya yang benar.’ Allah lebih tahu. Dia Maha Mengetahui niat kita.”
Seiring itu, Quraish menekankan pentingnya menjaga persatuan dalam keragaman isi negeri.
“Selama ini terkesan bahwa keberagaman tidak sejalan dengan sifat-sifat Allah. Padahal keberagaman adalah upaya meneladani Tuhan dalam sifat-sifat-Nya. Kita sering lupa bahwa Allah tidak menghendaki orang menganut agama yang sama.
ADVERTISEMENT
‘Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja). Tetapi Allah hendak menguji kamu dengan pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.’ (QS Al-Maidah 5:48)
Kita ingin menjaga persatuan dalam masyarakat plural ini. Tidak apa beda-beda, karena ada titik temu dengan sepakat pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita singkirkan perbedaan.”
Kedalaman pikir Quraish Shihab juga tampak saat ia mengajak umat untuk menghargai hidup dengan mempelajari sejarah. Begini Quraish membuka salah satu bukunya, ‘Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW’:
“Sejarawan memahami sirah dalam arti perjalanan hidup. Seorang penyair yang gemar sejarah berdendang, ‘Siapa yang menghimpun peristiwa sejarah dalam benaknya, maka sekian usia ditambahkan pada umurnya.’
ADVERTISEMENT
Tetapi, adakah gunanya penambahan usia? Penambahan usia baru bermanfaat banyak jika berkaitan dengan kualitas hidup, bukan sekadar penambahan bilangan hari. Ia baru berarti jika disertai kekayaan ide dan imajinasi, karena secuil rasa atau ide bisa bernilai ratusan tahun. Tanpa itu, pengetahuan sejarah hanya serupa kaset atau CD yang merekam berita atau mempertontonkan peristiwa.”
Ilmiah dan ramah. Demikian Quraish Shihab terus berupaya menyebarkan moderasi dalam dakwahnya. Hingga saat ini, Quraish yang berusia 75 tahun telah menelurkan lebih dari 70 buku, dan belum juga berhenti menulis. Saat ini, misalnya, ia akan meluncurkan buku baru berjudul ‘Jawabannya adalah Cinta’.
Sehari-hari, Quraish menulis dan membaca tak kurang dari lima jam. Dulu, ia bahkan menghabiskan waktu delapan jam per hari untuk dua kegiatan itu. Rupanya menulis merupakan kegemaran Quraish, sampai-sampai istrinya, Fatmawati Assegaf, pernah berkelakar bahwa komputer merupakan istri pertama sang profesor.
ADVERTISEMENT
“Hidup saya di tengah buku dan tulisan. Bangun tidur saya sudah di depan komputer, menulis. (Setelah berkegiatan di luar lalu) kembali ke rumah dan istirahat sebentar, sore atau malam nulis lagi,” ujar Quraish.
Usia senja tak membuat Quraish Shihab berhenti belajar. Semoga kesehatan senantiasa dilimpahkan untuknya.