Konten dari Pengguna

Perang Bulan Negara-negara Penguasa Antariksa

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
29 Juli 2019 23:14 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perang Bulan Negara-negara Penguasa Antariksa
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Ini masih kisah tentang Bulan (cerita elementer sebelumnya bisa dilihat di sini: Bila Bulan Tak Ada). Namun kali ini, bahasan bergeser lebih kompleks, yakni soal ambisi bangsa manusia untuk kembali merangsek Bulan—perang bintang (atau bulan) negara-negara adikuasa di antariksa.
Menjelang tahun 2020, sejumlah negara di Bumi melihat Bulan sebagai benua kedelapan di dunia. Ia semacam perluasan dari tujuh benua di Bumi (Asia, Eropa, Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Australia, dan Antartika). Satu benua besar yang mengambang di luar atmosfer. Benua masa depan.
Maka, ekspedisi ke Bulan digencarkan seperti yang pernah terjadi pada 1960 sampai 1970-an (era Perang Dingin). Pada abad ke-21 kini, bukan hanya Amerika Serikat dan Rusia (Uni Soviet) yang mengincar Bulan, tapi juga dua negara besar di Asia—China dan India.
ADVERTISEMENT
China meluncur ke Bulan melalui misi Chang’e (Chinese Lunar Exploration Program), dan India membawa misi Chandrayaan (Perahu Bulan dalam Bahasa Sanskerta). Hingga beberapa dekade ke depan, Bulan harus rela terusik oleh hasrat manusia akan semesta.
Selang sehari usai perayaan Tahun Baru, 3 Januari 2019, China lewat robot Chang’e 4-nya mendarat di sisi jauh Bulan (far side) yang tak pernah terlihat dari Bumi. Chang’e merupakan sebutan untuk Dewi Bulan dalam mitologi Tiongkok.
Pendaratan Chang’e di sisi jauh Bulan itu adalah yang pertama kalinya dalam sejarah manusia. Misi-misi eksplorasi Bulan sebelumnya, termasuk pendaratan oleh astronaut AS Neil Armstrong dan Buzz Aldrin, dilakukan di sisi dekat Bulan (near side) yang terlihat dari Bumi.
ADVERTISEMENT
Near side adalah wajah Bulan yang selalu menghadap ke Bumi. Wajah itu senantiasa sama, tak pernah berganti saat Bulan berotasi mengelilingi Bumi. Near side itulah yang sudah sering diobservasi robot-robot penjelajah dari Bumi (antara lain oleh rangkaian misi Luna Uni Soviet dan Apollo Amerika Serikat).
Berbeda dengan near side yang telah dikenal, far side terbilang misterius. Ia terra incognita alias tanah tak dikenal bagi manusia. Ia lebih sulit dieksplorasi. Selama ini, far side diamati, dipelajari, dan dipetakan dari kejauhan, tidak dengan mendaratkan robot penjelajah secara langsung. Musababnya, sisi jauh Bulan itu dipenuhi bebatuan besar yang memblokir sinyal radio sehingga menghalangi komunikasi antara manusia di Bumi dengan robot penjelajah di sana.
ADVERTISEMENT
Namun China berhasil mengatasi kendala komunikasi itu dengan lebih dulu meluncurkan satelit relai di titik stabil gravitasi komparatif sebelum mendaratkan Chang’e di sisi jauh Bulan. Tak heran keberhasilan China mendapat sambutan luas, termasuk oleh Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) yang memujinya sebagai “pencapaian impresif”.
China juga berniat membangun stasiun luar angkasa dan mengoperasikannya sekitar tahun 2020. Saat ini, satu-satunya stasiun antariksa yang ada ialah International Space Station (ISS) yang dikelola bersama oleh AS, Rusia, Jepang, Eropa, dan Kanada.
Ambisi China untuk memperluas pengaruhnya ke luar angkasa bukan rahasia lagi. Presiden Xi Jinping kerap menyebutnya sebagai “China’s space dream”, seolah meminjam semboyan “American Dream” milik Amerika Serikat.
“Turning the country into a space power is the space dream that we continuously pursued. The space dream is part of the dream to make China stronger. With development of space programs, the Chinese people will take bigger strides to explore further into space. Exploring the vast universe, developing space programs, and becoming an aerospace power has always been the dream we’ve been striving for.”
ADVERTISEMENT
Xi menggaungkan “China’s space dream” bukan baru-baru ini. Tahun 2013 saja, ia setidaknya tiga kali menekankan arti penting space dream bagi China. Dan Bulan adalah bagian krusial dari mimpi itu. Pada 2002, Kepala Ilmuwan Program Eksplorasi Bulan China, Ouyang Ziyuan, telah menegaskan signifikansi Bulan bagi manusia.
“The Moon could serve as a new and tremendous supplier of energy and resources for human beings… This is crucial to sustainable development of human beings on Earth… Whoever first conquers the Moon will benefit first.”
Lima tahun kemudian, 2007, China meluncurkan misi eksplorasi Bulan. Selang enam tahun, 2013, China menurunkan kendaraan penjelajah ke kawah Imbrium di sisi dekat Bulan. Enam tahun berikutnya lagi, 2019, China mendaratkan robot penjelajah ke kawah Kutub Selatan Aitken di sisi jauh Bulan. Kawah itu adalah yang terbesar, tertua, dan terdalam di Bulan.
Kawah Kutub Selatan Aitken di sisi jauh Bulan. (Wikimedia)
Kawah-kawah di Bulan bukan kepundan atau cekungan vulkanis seperti yang banyak terdapat di Bumi. Ia tak terbentuk dari letusan gunung api, melainkan dari tumbukan hipercepat oleh benda langit yang lebih kecil. Di Bumi, kita mengenalnya sebagai kawah meteor.
ADVERTISEMENT
Daratan di sisi jauh Bulan yang dijelajahi China disebut mengandung lebih banyak helium-3 ketimbang di near side. He-3 ini biasa digunakan untuk meneliti fusi nuklir. Ia bahan bakar roket yang bagus, tapi langka di Bumi.
Pada 2019, China pun mengkaji rencana pendaratan astronaut di Bulan untuk tahun 2030, dan menelaah kemungkinan—dengan kerja sama internasional—membangun pos penelitian di kutub selatan Bulan yang diyakini mengandung endapan es (air beku!) dalam jumlah signifikan.
Pos penelitian China di kutub selatan Bulan, bila berjalan mulus, akan berdiri sebelum 2030.
ADVERTISEMENT
Langkah demi langkah China menjelajah antariksa dicermati betul oleh Amerika Serikat. Laporan Badan Intelijen Pertahanan AS bertajuk Challenges to Security in Space yang dirilis 11 Februari 2019 menyoroti China dan Rusia secara khusus.
Kedua negara itu, menurut laporan tersebut, telah mengembangkan layanan ruang angkasa yang solid dan kompeten. Kemampuan itu diyakini membuat militer China dan Rusia dapat mengomando dan mengendalikan pasukan mereka di seluruh dunia.
Kedua negara juga sama-sama menilai ruang angkasa penting dalam perang modern. China menganggap superioritas di ruang angkasa sebagai komponen untuk mengontrol informasi. Sementara Rusia berpandangan bahwa memenangkan pertempuran di orbit akan menentukan peperangan masa depan.
Amerika Serikat sudah tentu tak mau melonggarkan dominasinya. Wakil Presiden AS Mike Pence pada pidatonya dalam pertemuan Dewan Antariksa Nasional AS di Huntsville, Alabama, 26 Maret 2019, menegaskan: Amerika Serikat harus tetap menjadi yang pertama dan terdepan di luar angkasa.
ADVERTISEMENT
“Make no mistake about it—we're in a space race today, just as we were in the 1960s, and the stakes are even higher. What we need now is urgency. The United States must remain first in space in this century as in the last, not just to propel our economy and secure our nation but, above all, because the rules and values of space, like every great frontier, will be written by those who have the courage to get there first and the commitment to stay.”
Amerika Serikat berencana membentuk Angkatan Bersenjata Antariksa. (Ilustrasi Pixabay)
Supremasi antariksa Amerika Serikat bakal ditunjukkan lewat pembentukan US Space Force sebagai cabang keenam angkatan bersenjata AS setelah Angkatan Udara, Angkatan Darat, Angkatan Laut, Korps Marinir, dan Coast Guard.
ADVERTISEMENT
Proposal pembentukan US Space Force itu diserahkan Departemen Pertahanan AS kepada Kongres untuk dibahas bersama. Bila draf legislasi tersebut disepakati Kongres, maka Angkatan Antariksa akan menjadi cabang militer AS pertama yang terbentuk sejak tujuh dekade lalu (terakhir Angkatan Udara pada 1947).
Pemerintah AS tak diam-diam dengan rencana ambisiusnya itu. Wakil Presiden Mike Pence menuliskannya secara terbuka dalam kolom opini It’s time for Congress to establish the Space Force di The Washington Post.
“… the United States will always seek peace in space as on Earth, but history proves that peace only comes through strength. And in the realm of outer space, the Space Force will be that strength.”
Astronaut AS menginjakkan kaki di Bulan. (Pixabay)
Untuk meneguhkan dominasinya, Amerika Serikat akan kembali mengirim astronaut ke Bulan pada 2024 dan mendirikan pangkalan permanen di sana, sebelum menerbangkan astronautnya lebih jauh lagi ke Mars.
ADVERTISEMENT
AS tak hendak meluncur sendirian ke Bulan. Negara adidaya itu berniat membawa astronaut lintas bangsa—tiga lelaki dan tiga perempuan dengan kewarganegaraan berbeda. Bahkan, dalam eksperimen untuk meniru kondisi penerbangan ke Bulan, AS justru menggandeng Rusia yang masih ia pandang sebagai ancaman.
Eksperimen yang disebut SIRIUS (Scientific International Research in Unique Terrestrial Station) itu dilakukan di Institute of Biomedical Problems, Moskow, mulai 2017 sampai 2021. Kerja sama AS-Rusia itu membuat sebagian ilmuwan Rusia yang terlibat proyek SIRIUS berspekulasi dan bertanya-tanya apakah AS pernah berpikiran untuk kembali ke Bulan bersama Rusia.
ADVERTISEMENT
Rusia sendiri berencana untuk mengirim kosmonaut (= astronaut) ke orbit Bulan pada 2029, dan menginjak Bulan pada 2030—enam tahun setelah AS kembali menerbangkan astronautnya ke Bulan. Itu bila semua sesuai rencana.
Seolah perlombaan terbang ke Bulan belum cukup sengit, India meluncurkan roketnya menuju Bulan pada 22 Juli 2019. Misi bernama Chandrayaan-2 itu membawa kendaraan penjelajah yang akan mendarat di kutub selatan Bulan—yang juga menjadi incaran China dan AS karena kandungan airnya—pada 7 September tahun yang sama.
Pada akhirnya, seperti kata editor senior The Economist Oliver Morton yang menulis buku The Moon: A History for the Future, “The politics of the Moon will probably reflect the politics of the Earth.”
ADVERTISEMENT
Moon Wars has just begun.
_________________