Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Konten dari Pengguna
Strategi Gerilya Bank Syariah : Belajar dari Warung Madura & Jenderal Sudirman
7 April 2025 13:00 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Anggit Pragusto Sumarsono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di tengah peta industri keuangan nasional yang semakin kompetitif, bank-bank syariah kecil menghadapi tekanan luar biasa. Di satu sisi, mereka harus bersaing dengan bank-bank besar yang punya modal kuat, teknologi mutakhir, dan jaringan luas. Di sisi lain, mereka juga tak bisa semata mengandalkan jargon syariah, karena masyarakat kini makin rasional dalam memilih layanan keuangan—mana yang cepat, murah, dan mudah, itu yang dipilih.
ADVERTISEMENT
Tapi, sejarah bangsa ini mengajarkan satu hal penting: kemenangan tidak selalu milik yang besar. Ketika kekuatan terbatas, maka kecerdikan, strategi, dan keberpihakan pada rakyatlah yang akan menentukan hasil akhir.
Jenderal Besar Sudirman, dalam kondisi sakit dan dengan persenjataan seadanya, memimpin perang gerilya yang membuat Belanda frustrasi. Di masa kini, Warung Madura menjadi contoh nyata bagaimana entitas kecil bisa bertahan dan bahkan menang melawan peritel raksasa. Tanpa iklan besar, tanpa diskon bombastis, tapi dengan konsistensi, fleksibilitas, dan kedekatan dengan kebutuhan masyarakat, mereka menjadi bagian penting dari ekosistem ekonomi kota.
Bank syariah kecil pun bisa mengambil jalan yang sama: strategi gerilya. Bukan dalam arti sembunyi-sembunyi, tapi dalam arti lincah, gesit, efisien, dan dekat dengan komunitas. Bukan berkompetisi secara frontal, tapi mencari celah di sela dominasi pemain besar. Bukan mengejar kemegahan kantor dan branding nasional, tapi membangun jaringan sosial dan loyalitas lokal.
ADVERTISEMENT
Berikut lima strategi gerilya yang dirancang bukan dari ruang rapat, tapi dari pengalaman lapangan:
1. Fokus ke Segmen “Salaried Muslim” Urban yang Underbanked
Dalam peperangan gerilya, Jenderal Sudirman dan pasukannya tidak menyerang secara frontal markas besar Belanda yang penuh senjata berat. Mereka justru menyusup ke wilayah-wilayah lemah, menguasai desa-desa strategis, dan membangun simpul kekuatan baru yang luput dari radar penjajah. Strategi ini sangat relevan bagi bank syariah kecil. Di tengah dominasi raksasa perbankan yang menguasai pusat-pusat bisnis dan kota besar, bank kecil seharusnya tidak ikut berebut di arena yang sama. Alih-alih, mereka bisa fokus pada segmen Muslim urban yang belum terlayani dengan baik: para karyawan tetap di institusi Islam, rumah sakit syariah, startup halal, pesantren modern, bahkan staf BUMN yang selama ini hanya menjadi “penggembira” dalam payroll bank konvensional.
ADVERTISEMENT
Segmen ini memiliki arus kas yang stabil karena gaji bulanan rutin. Mereka bukan “mikro” dalam arti informal dan rentan gagal bayar, melainkan kelompok dengan profil risiko rendah. Di sisi lain, mereka juga belum menjadi sasaran utama bank besar—mereka terlalu kecil untuk dicari secara korporat, tapi terlalu besar untuk diabaikan.
Bank syariah kecil bisa hadir dengan pendekatan personal dan mengakar: membuka layanan payroll syariah, menawarkan pembiayaan rumah atau kendaraan berbasis murabahah/musyarakah, hingga tabungan haji dan pendidikan anak. Relasi ini bukan sekadar transaksi, melainkan aliansi nilai—karena banyak dari mereka yang sebenarnya ingin pindah ke bank syariah tapi tak kunjung menemukan partner yang bisa dipercaya dan didekati.
2. Bangun “Mini Cluster High Rotation” di Area Komersial Urban
Seperti Warung Madura yang tak mencoba bersaing head-to-head dengan retail raksasa di mal atau pusat perbelanjaan besar, mereka justru menyebar dalam jaringan kecil yang tersembunyi namun sangat dekat dengan denyut kebutuhan harian masyarakat. Mereka buka 24 jam, berada di pojok kompleks, dekat kos-kosan, atau bahkan di gang sempit—menjangkau tempat yang tidak ekonomis bagi retail besar tapi sangat vital bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Bank syariah kecil bisa meniru pendekatan ini dengan membentuk mini cluster layanan di wilayah-wilayah dengan transaksi tinggi tapi belum tersentuh layanan keuangan berbasis syariah. Misalnya, kawasan kuliner halal yang ramai tiap malam, sentra kos-kosan mahasiswa hijrah, komunitas pasar busana muslim, atau area perdagangan UMKM menengah ke atas seperti Tanah Abang, ITC, dan sejenisnya.
Alih-alih membuka cabang, cukup hadir lewat kanal digital ringan seperti QRIS syariah, layanan pembiayaan mikro via WhatsApp, atau agen mitra. Yang penting bukan megahnya kantor, tapi kecepatan dan kenyamanan transaksi. Mini cluster ini bisa menjadi simpul ekonomi mikro yang aktif—volume transaksi tinggi, perputaran uang cepat, dan loyalitas terbangun karena kedekatan emosional dan kepraktisan layanan.
Inilah bentuk gerilya modern—tidak terlihat besar dari luar, tapi membangun kekuatan nyata di titik-titik strategis yang luput dari pandangan bank besar.
ADVERTISEMENT
3. Model “Community Branchless Banking” via Tokoh Sentral
Dalam strategi gerilya Jenderal Sudirman, kekuatan bukan hanya soal senjata, tapi kepercayaan dan legitimasi dari rakyat. Beliau menjalin hubungan erat dengan para tokoh desa, ulama, dan masyarakat adat yang menjadi simpul perlawanan rakyat. Dari relasi inilah lahir basis kekuatan yang tidak bisa dibeli oleh musuh: kepercayaan dan loyalitas.
Bank syariah kecil bisa mempraktikkan hal serupa. Alih-alih membangun kantor cabang atau merekrut tim besar, cukup menjalin kemitraan dengan satu tokoh sentral di setiap komunitas—bisa ustadz lokal, ketua majelis, pemilik travel umrah, founder komunitas hijrah, atau bahkan pengusaha mikro yang disegani di lingkungannya. Tokoh ini bisa menjadi agen bank, penasihat keuangan, sekaligus jembatan sosial yang menghadirkan trust di tengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Lewat model ini, bank hadir bukan sebagai institusi kaku yang jauh dari realitas, tapi sebagai sahabat komunitas. Penyaluran pembiayaan bisa dilakukan dengan sistem penjaminan sosial, bukan hanya berdasarkan skor kredit semata. Pembukaan rekening bisa berlangsung saat pengajian, majelis, atau forum komunitas. Semua dilakukan dengan biaya sangat rendah, tapi efek jangka panjangnya luar biasa: loyalitas tinggi, perluasan nasabah organik, dan posisi bank syariah sebagai bagian dari ekosistem masyarakat, bukan sekadar penyedia jasa.
Inilah perbankan yang membumi dan mengakar, bukan hanya berdiri di balik kaca gedung tinggi.
4. Spesialisasi Produk Premium Niche: Rumah, Mobil, Haji
Di tengah hingar-bingar produk keuangan massal yang ditawarkan bank-bank besar—dari tabungan serba digital, promo cashback, hingga kartu kredit berhadiah—bank syariah kecil justru bisa unggul lewat spesialisasi. Seperti pejuang gerilya yang tidak membawa senjata berat, tapi tahu persis kapan dan di mana menyerang dengan efektif, bank kecil pun tak perlu menjual semuanya. Cukup satu atau dua produk unggulan, tapi dieksekusi dengan luar biasa dan tepat sasaran.
ADVERTISEMENT
Salah satu segmen yang masih “lapar” adalah pembiayaan syariah untuk kebutuhan besar: rumah, kendaraan, dan ibadah. Banyak keluarga muda yang ingin membeli rumah tanpa riba, namun bingung memilih bank syariah yang benar-benar bisa dipercaya dan tidak rumit. Di sinilah bank kecil bisa mengambil posisi sebagai spesialis pembiayaan rumah syariah dengan kemitraan bersama developer-developer syar’i yang makin berkembang.
Begitu juga pembiayaan mobil untuk keluarga mapan yang ingin hijrah ke transaksi halal, serta tabungan haji/umrah dengan pendekatan spiritual, bukan hanya produk finansial.
Keuntungan dari pendekatan ini:
Alih-alih ikut bersaing dalam produk retail massal yang sudah dikuasai bank raksasa, strategi ini menempatkan bank syariah kecil sebagai “konsultan keuangan syariah” untuk kebutuhan besar umat. Eksklusif, terpercaya, dan tetap membumi.
ADVERTISEMENT
5. Ekspansi Cerdas melalui Laku Pandai Berbasis Komunitas
Warung Madura tidak membuka toko dengan modal miliaran. Mereka menyebar cepat lewat sistem kemitraan: memanfaatkan kios kecil, rumah tinggal, atau bahkan lapak seadanya, tapi tetap mampu menjual berbagai kebutuhan pokok masyarakat. Ini adalah strategi ekspansi rendah biaya tapi tinggi jangkauan—dan sangat relevan diterapkan oleh bank syariah kecil melalui program Laku Pandai (Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif).
Daripada membangun jaringan cabang yang mahal dan lambat, bank syariah kecil bisa memanfaatkan jaringan agen Laku Pandai di lokasi-lokasi strategis: pesantren, komunitas pengusaha muslim, koperasi pesantren, masjid besar, hingga warung kelontong yang dikelola keluarga muslim.
Agen-agen ini tak hanya melayani pembukaan rekening atau tarik-setor tunai, tapi juga bisa menjadi titik edukasi keuangan syariah dan sarana distribusi produk pembiayaan ringan. Bahkan dengan sentuhan digital sederhana—seperti dashboard transaksi, WhatsApp Business, atau sistem white-label dari fintech partner—agen bisa menjadi ujung tombak bank dalam menjangkau nasabah yang selama ini belum tersentuh.
ADVERTISEMENT
Yang terpenting, model ini low cost, fleksibel, dan berbasis kepercayaan lokal. Ini bukan sekadar teknologi, tapi strategi akar rumput yang mampu menyaingi dominasi bank besar—dengan semangat seperti Warung Madura: tersebar, dekat, dan adaptif.
Dengan ini, bank syariah kecil tidak perlu menunggu besar untuk bisa menjangkau luas. Cukup menjadi cerdas, gesit, dan hadir di tempat yang tepat.
Gerilya Modern Bank Syariah
Bank syariah kecil hari ini menghadapi medan tempur yang tidak mudah. Persaingan ketat, dominasi pemain besar, tekanan efisiensi, dan ekspektasi nasabah yang semakin tinggi membuat banyak bank kecil terpinggirkan. Namun seperti kisah Jenderal Sudirman yang memimpin perang gerilya dengan semangat, kecerdikan, dan keberpihakan pada rakyat—dan seperti Warung Madura yang tanpa gembar-gembor mampu menembus dominasi ritel raksasa—bank syariah kecil pun bisa bangkit, asal tahu cara bertarung yang tepat.
ADVERTISEMENT
Strategi yang kita rumuskan ini bukan sekadar wacana idealis. Ia lahir dari realita lapangan, dari pengalaman nyata memimpin cabang, merawat nasabah tradisional, dan menyaksikan sendiri pasar yang benar-benar loyal dan menguntungkan. Lima strategi ini menawarkan pendekatan taktis: menyasar ceruk yang tepat, bergerak efisien, membangun loyalitas berbasis komunitas, dan tampil sebagai spesialis yang dicari, bukan sekadar ikut-ikutan tren industri.
Di era disruptif ini, besar bukan selalu berarti kuat. Yang mampu bertahan dan tumbuh adalah mereka yang adaptif, dekat dengan rakyat, dan tahu betul di mana harus menancapkan pengaruh.
Bank syariah kecil punya peluang besar—asal berani berpikir kreatif, bergerak taktis, dan terus menyatu dengan denyut kebutuhan umat.
Anggit Pragusto Sumarsono, S.E., M.Si
ADVERTISEMENT
Senior Branch Manager | Islamic Banking & Finance Specialist | Magister UI Cumlaude | 16+ Years in Consumer, Micro, SME, Retail Funding | Leadership & Business Growth | 0812-1511-1184