Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Seperti Cinta, Pancasila Juga Bisa Mati
28 Agustus 2023 15:29 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Anggit Rizkianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seorang mahasiswa bertanya kepada saya, mengapa Hari Lahir Pancasila diperingati tanggal 1 Juni, bukan tanggal 18 Agustus? Bukankah dalam sejarahnya, tanggal 1 Juni 1945 itu baru sekadar usulan Bung Karno, sementara Pancasila baru ditetapkan pada tanggal 18 Agustus pada tahun yang sama?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan semacam itu sebenarnya sudah cukup sering dilontarkan. Dan, di luar sana sudah cukup banyak yang mencoba menjawabnya. Atau sekadar menyampaikan pendapat, tanpa memberi jawaban tegas.
Bahkan tidak sedikit yang mengaitkannya dengan urusan politik— bahwa memang sudah seharusnya hari lahir Pancasila diperingati tanggal 18 Agustus, dan penetapan tanggal 1 Juni itu adalah upaya agar terkesan Pancasila gagasan Bung Karno seorang—lalu menguntungkan suatu kelompok tertentu.
Sejarah mencatat bahwa istilah Pancasila pertama kali keluar dari mulut Bung Karno dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Ia mengaku istilah itu didapat dari seorang kawannya yang seorang ahli bahasa—Bung Karno sendiri rasanya tak pernah menyebut siapa sosok kawan yang dimaksud.
Namun, sebelumnya sudah ada beberapa tokoh yang juga menyampaikan gagasan terkait dasar negara, seperti Soepomo, Moh. Hatta, Moh. Yamin, Ki Bagus Hadikusumo, Agus Salim, Kiai Masykur, dan Sukiman. Bung Karno adalah orang yang paling terakhir menyampaikan gagasan.
ADVERTISEMENT
Sidang BPUPKI sendiri berlangsung berhari-hari. Dan, semua gagasan yang disampaikan oleh para tokoh adalah dalam rangka menjawab pertanyaan Radjiman Wedyodiningrat selaku ketua sidang.
Banyak pakar yang mengartikan istilah filosofische grondslag sebagai landasan falsafah negara, yang secara umum bersifat mendasar, filosofis, dan universal. Dan lagi-lagi, sejarah mencatat perjalanan untuk menemukan landasan falsafah negara Indonesia ternyata tidak mudah.
Jalannya berliku karena adanya perbedaan kepentingan politis dan ideologis yang berkelindan. Mau tidak mau keputusan harus diambil dengan jalan kompromi yang cukup alot.
Pancasila versi Bung Karno yang secara prinsip berisikan nasionalisme, internasionalisme, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan, ditolak mentah-mentah oleh anggota-anggota BPUPKI yang berasal dari kelompok Islam.
ADVERTISEMENT
Panitia Sembilan kemudian dibentuk sebagai suatu ikhtiar agar tercapai kesepakatan bersama. Panitia ad hoc itu terdiri dari Bung Karno, Bung Hatta, Agus Salim, Ahmad Subardjo, Wahid Hasyim, Moh. Yamin, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar Moezakir, dan AA. Maramis.
Pada tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan sukses menghasilkan konsensus penting, yang oleh Moh. Yamin dinamakan Piagam Jakarta. Lewat konsensus itulah Pancasila mulai menemukan bentuknya, nyaris sebagaimana Pancasila yang kita kenal.
Perbedaannya hanya ada pada sila ketuhanan yang memuat frasa: Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Selain sebagai pembukaan Undang-Undang Dasar, naskah Piagam Jakarta rencananya juga akan dijadikan teks proklamasi.
Namun, nyatanya Piagam Jakarta pun tak lepas dari pergolakan dan kontroversi. Naskah itu batal dijadikan teks proklamasi. Dan tak lama setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, muncul gugatan terhadap sila ketuhanan yang dianggap melukai perasaan umat Kristiani.
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 18 Agustus 1945, persisnya sebelum sidang PPKI dimulai, Bung Karno dan Bung Hatta melakukan lobi-lobi informal kepada anggota PPKI yang berasal dari kelompok Islam agar sila ketuhanan dirumuskan ulang.
Kelompok Islam mengalah dan kesepakatan pun dicapai. Sila ketuhanan mengalami perubahan sehingga berbunyi: Ketuhanan yang Maha Esa. Dan, sebagaimana yang kita tahu, di tanggal itu Undang-Undang Dasar ditetapkan yang di dalam pembukaannya bersemayam sila-sila Pancasila sebagaimana yang kita kenal selama ini.
Begitulah, jika merujuk fakta sejarah. Saya lebih suka mengatakan tanggal 1 Juni adalah hari digagas atau digalinya nilai-nilai Pancasila, tanggal 22 Juni adalah hari dibentuknya teks (sila-sila) Pancasila, dan tanggal 18 Agustus adalah hari ditetapkannya Pancasila.
ADVERTISEMENT
Nah, lantas hari lahir Pancasila itu sebaiknya merujuk ke hari yang mana? Itu kalian pikir saja sendiri. Sejujurnya saya tidak hendak merekonstruksi kembali sejarah, lalu mencatat dan memperingatinya dengan lebih presisi.
Alih-alih demikian, lewat tulisan ini saya hendak mengajak kita semua untuk mengingat kembali, bahwa Pancasila sebagai suatu falsafah bermula dari gagasan atau pemikiran seseorang. Dan sebagai suatu produk pemikiran, Pancasila perlu dirawat dan dikembangkan agar tidak lesap ditelan zaman.
Beberapa waktu yang lalu, dunia internet tanah air diramaikan oleh sebuah video viral mas-mas berambut gondrong dan bertubuh kurus yang tengah mengobrol seru dengan seorang kawannya yang sedang asyik merokok.
“Lu punya duit, lu punya kuasa,” kata mas-mas gondrong itu dengan sangat meyakinkan.
ADVERTISEMENT
“Oke,” sahut kawan mas-mas gondrong, menimpali.
“Tapi buat gua enggak, nyet!” sambung mas-mas gondrong lagi. Sambil mengepalkan kedua tangan yang sedikit diarahkan ke langit-langit—mungkin maksudnya memberikan ilustrasi atas penjelasannya. Ia kemudian melanjutkan, “Ibaratnya gua orang yang gak bermateri, lawan orang yang bermateri. Bisa jadi gua menang, soal pemikiran.”
“Soal pemikiran,” sahut kawan mas-mas gondrong lagi sambil mengisap rokok. Seolah paham betul dengan apa yang dikatakan mas-mas gondrong.
“Udah tenang lu nggak usah mikirin cuan sama gua,” kata mas-mas gondrong lagi, yang begitu asyik sendiri dengan ceritanya. “Tai! Lu ngeremehin gua!” pungkasnya. Kali ini nadanya agak tinggi. Telunjuk diacungkannya ke langit-langit. Dan, rambutnya yang gondrong sedikit terkibas, mungkin sudah berhari-hari ia tidak sempat keramas.
ADVERTISEMENT
Kalau dipikir-pikir, apa yang dikatakan mas-mas gondrong itu ada benarnya. Maksud saya, kalau kita bicara fakta, bukankah tidak sedikit berbagai kemenangan—entah itu di lapangan politik, agama, ekonomi, pendidikan ataupun kebudayaan—yang dicapai oleh seseorang ataupun kelompok, dan itu bermula dari suatu pemikiran?
Saya pikir, tidak ada perubahan sosial yang benar-benar berhasil jika tidak dimulai dengan pemikiran. Revolusi, pemberontakan, perlawanan terhadap penjajah, gerakan politik ataupun ideologi, semuanya pasti bermula dari adanya pemikiran.
Artinya, dalam konteks pertarungan di lapangan sosial, selalu ada pemikiran yang menang dan yang kalah. Dengan demikian, pernyataan bahwa kemenangan tidak hanya melulu soal materi sejatinya adalah argumen yang valid.
Terbentuknya bangsa Indonesia yang bersatu dan merdeka tentunya juga tak bisa dilepaskan dari adanya pemikiran. Jika cinta bisa menyatukan dua manusia yang sungguh-sungguh berbeda, maka Bung Karno, Bung Hatta, dan tokoh-tokoh bangsa lainnya cuma butuh kertas dan pulpen untuk menyatukan seluruh masyarakat Indonesia yang berbeda-beda secara etnis, agama, bahkan ideologi.
ADVERTISEMENT
Kertas dan pulpen yang menggoreskan kalimat-kalimat penting hasil pemikiran bersama, lalu menjadi falsafah negara ini. Tapi, sebagaimana khasnya suatu falsafah, Pancasila itu konsep yang abstrak. Sila-sila yang dikandungnya terlampau normatif untuk dapat langsung dimengerti dan dipraktikkan. Lantas apa yang kita harapkan dari konsep abstrak semacam ini?
Tentu peran akal dan pikiran kita sebagai manusia sangat dibutuhkan. Pancasila perlu ditafsirkan dengan kerja-kerja akal agar ia terasa konkret di kenyataan, dan agar implementasinya mudah dilaksanakan.
Pancasila juga perlu dimaknai ulang agar ia tetap relevan sepanjang zaman. Pancasila bukan firman Tuhan. Tentu tak ada salahnya jika ia diperiksa dan ditinjau kembali sehingga tetap kokoh dan dapat terus dipertanggungjawabkan sampai kapanpun.
Dibentuknya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pada 2018 silam saya pikir tentu tujuannya untuk hal-hal semacam itu. Meski belakangan kinerja dari lembaga tersebut sudah mulai jarang terdengar. Tapi, bagaimanapun juga kerja-kerja riset ataupun kajian ilmiah terhadap Pancasila tetap harus dilakukan, agar ia tidak hidup di awang-awang, tetapi melebur dalam kehidupan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pada bulan Agustus kita larut dalam perayaan kemerdekaan. Sayangnya, kita hanya sibuk dengan berbagai perayaan yang sifatnya seremonial, protokoler, dan menghibur. Pancasila cenderung dilupakan.
Tidak ada upaya untuk refleksi dan evaluasi, sudah sejauh mana kita melangkah sebagai bangsa dan negara Pancasila. Masyarakat hanya mengingat tanggal 17 Agustus sebagai tanggal dibacakannya teks proklamasi, tapi tidak pernah mengingat tanggal 18 Agustus sebagai tanggal paling menentukan, yang membentuk fondasi paling dasar berdirinya negara Indonesia.
Salah satu ajaran penting dari Pancasila adalah demokrasi. Sila kerakyatan dengan tegas mengamanahkan bahwa sistem politik negara ini harus dibangun di atas nilai dan prinsip kedaulatan rakyat. Namun, demokrasi Pancasila bukanlah demokrasi liberal sebagaimana yang sering diagungkan oleh bangsa Barat.
ADVERTISEMENT
Demokrasi Pancasila tidak mengedepankan kebebasan berpolitik, tetapi mengedepankan musyawarah-mufakat agar tercapai suatu keputusan yang baik—keputusan yang membawa kesejahteraan bagi rakyat.
Tapi, demokrasi yang memberi hidup seperti kata Bung Karno adalah hal yang terlalu gaib hari-hari ini. Bahkan, rasanya ia tak pernah ada dalam kenyataan.
Setiap kali pemilu kita senantiasa disuguhi dengan permainan dan pertarungan para elite politik. Semuanya adu kekuatan dan taktik. Berbagai kalkulasi dan manuver politik dioptimalkan agar mampu memenangkan kontestasi elektoral.
Ditambah lagi dengan terlibatnya para pemilik modal yang ingin mengamankan bisnis, atau justru ingin semakin mengkapitalisasi keuntungan yang sudah didapat selama ini. Maka tak usah heran jika kita menjumpai adanya suatu jaringan keluarga yang beramai-ramai mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
ADVERTISEMENT
Kita nyaris tak pernah menemukan adanya narasi bahwa semua perjuangan politik itu dilakukan semata-mata agar masyarakat Indonesia hidup lebih baik. Kalaupun itu dikatakan dalam bentuk jargon-jargon kampanye, saya yakin tak ada yang percaya. Tapi sayangnya, masih banyak masyarakat yang menormalisasi masalah ini.
Hal ini terbukti dengan maraknya praktik politik uang setiap kali pemilu. Yang dipilih dan yang memilih sama-sama tahu bahwa pemilu tak lebih dari sekadar transaksi jangka pendek yang saling menguntungkan. Realita ini menunjukkan kepada kita betapa nilai-nilai Pancasila telah lenyap dalam lanskap perpolitikan Indonesia.
Seperti cinta , Pancasila semestinya terus dimaknai ulang, dihayati kembali, dan disemai dalam kehidupan sehari-hari. Karena hanya dengan begitu ia akan tetap lestari dan hidup abadi.
ADVERTISEMENT
Seperti cinta, Pancasila juga bisa mati jika kita terus membiarkannya hanya menjadi kata tanpa makna. Jika suatu hari nanti Pancasila benar-benar mati, maka kematian itu semestinya tidak sulit dipahami. Mengapa? Karena kita semua adalah pembunuhnya.