Konten dari Pengguna

Dibalik Layar: Sinden sebagai Penghias dan Pemberi Identitas Wayang

Anggun Salsabila Nadirawati
Halo, saya anggun Salsabila Nadirawati, seorang mahasiswa universitas pamulang (Unpam) jurusan sastra Indonesia
12 Desember 2023 13:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggun Salsabila Nadirawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
 sumber foto : pixel.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber foto : pixel.com
ADVERTISEMENT
Sinden, yang berasal dari Bahasa Jawa, merujuk kepada wanita yang menyanyi mengiringi orkestra gamelan, umumnya sebagai satu-satunya penyanyi dalam pertunjukan. Kemampuan komunikasi yang luas, keahlian vokal yang baik, dan kemampuan untuk menyanyikan tembang merupakan kriteria penting bagi seorang sinden yang berkualitas.
ADVERTISEMENT
Dalam pandangan Ki Mujoko Joko Raharjo, istilah sinden diduga berasal dari kata "pasindhian," yang berarti kaya lagu atau yang melantunkan lagu. Sinden juga dikenal dengan sebutan waranggana, di mana "wara" merujuk kepada wanita dan "anggana" berarti sendiri. Pada masa lampau, waranggana merupakan satu-satunya wanita yang tampil dalam panggung wayang atau klenengan. Perannya sebagai seorang wanita yang menyanyi sesuai dengan gendhing dalam pergelaran wayang maupun klenengan sangat khas.
Istilah sinden digunakan secara luas di berbagai daerah seperti Banyumas, Yogyakarta, Sunda, Jawa Timur, dan daerah lainnya yang terkait dengan pergelaran wayang atau klenengan. Seiring berjalannya waktu, peran sinden tidak hanya terbatas pada pertunjukan solo, melainkan dalam pertunjukan wayang modern saat ini, bisa mencapai delapan hingga sepuluh orang atau bahkan lebih untuk pertunjukan yang bersifat spektakuler.
ilustrasi foto sinden, sumber foto : Shutter Stock
Dalam era modern ini, sinden memiliki peran hampir sama dengan artis penyanyi campursari. Tidak hanya mahir menyajikan lagu, sinden juga harus menjaga penampilan dengan berpakaian rapi dan menarik. Sinden seringkali menjadi "pepasren" atau penghias panggung pertunjukan wayang, di mana penampilan yang cantik dan muda dapat meningkatkan kenyamanan penonton. Perkembangan wayang saat ini bahkan melibatkan sinden laki-laki dengan suara merdu seperti wanita, yang tetap memakai pakaian adat Jawa seperti pengrawit pria, dan menjadi tren di kalangan Dalang untuk memberikan nilai tambah pada pergelaran mereka.
ADVERTISEMENT
Adorno menyoroti perbedaan dalam musik berdasarkan strata sosial, menghubungkan musik klasik dengan kelas atas dan musik pop dengan kelas menengah dan bawah. Musisi klasik dianggap untuk mereka yang memiliki waktu senggang, sementara musik pop diidentifikasi dengan pekerjaan yang mekanis. Dalam konteks sinden, masyarakat Jawa mengaitkan sinden dengan strata sosial musik klasik sebagai bagian dari legitimasi kebudayaan kerajaan. Meskipun sinden sering dipandang negatif sebagai hiburan kaum tua atau wanita penghibur, masyarakat karawitan memberikan predikat tinggi kepada sinden dengan mempertimbangkan ilmu, kepribadian, dan pemahaman akan tradisi. Di era modern, sinden lintas genre muncul dengan tampilan yang berbeda, menarik perhatian masyarakat dari berbagai strata sosial. Keberadaan sinden lintas genre dianggap sebagai peluang untuk keluar dari tekanan budaya adiluhung, menciptakan cengkok unik, dan mencari terobosan baru agar tetap relevan dalam masyarakat yang berubah. Sinden lintas genre membawa perubahan pada istilah sinden dalam industri hiburan, dianggap sebagai label dari industri yang beragam etnis. Meskipun perubahan ini dapat berdampak pada pemaknaan profesi sinden, fenomena ini dianggap positif karena membuka kesempatan bagi masyarakat untuk menikmati seni tanpa memandang perbedaan kelas sosial, menjembatani dikotomi antara kelas bawah dan kelas atas.
ADVERTISEMENT
Lili Suparli menguraikan hubungan kausal antara keberadaan sinden dalam penyajian wayang golek dalam teksnya. Sebagai gambaran, sekar kepesindenan diidentifikasi sebagai kelompok seni vokal pada tradisi karawitan Sunda, dengan pasinden atau sinden sebagai seniman yang menyajikannya, dan pertunjukan wayang golek purwa sebagai panggung tempat penyajiannya
(Suparli, 2012:20). Keberadaan pasinden ini telah melalui perjalanan yang panjang dalam ruang dan waktu, manifes dalam sekar gending (vokal instrumental), dan berinteraksi dengan pertunjukan wayang golek selama sembilan dekade. Mereka menyampaikan pesan verbal kepada penonton melalui repertoar lagu, menciptakan soundscape yang memberikan identitas khusus pada pertunjukan wayang golek. Selain tanggung jawab dalang dalam mengolah dialog dan adegan teaterikal dari lakon, sekar kepesindenan membawa lagu-lagu yang mendukung suasana pengadegan atau menguatkan karakter tokoh wayang. Lagu-lagu tersebut juga berfungsi sebagai hiburan bagi penonton, mencegah pertunjukan wayang golek menjadi monoton. Kehadiran pasinden dalam pertunjukan wayang golek purwa, terutama di dunia padalangan Jawa Barat, menjadi fokus penelitian yang menarik, karena mencerminkan entitas perubahan yang dinamis. Pasinden telah berinteraksi dengan dalang dan masyarakat pendukungnya dari masa lampau hingga saat ini.
ilustrasi foto sinden, sumber foto : Shutter Stock
Salah satu topik yang ditekankan dalam artikel ini adalah fenomena munculnya pesinden dalam pertunjukan wayang golek di Sunda, serta dampaknya di tengah masyarakat. Metode yang digunakan oleh penulis untuk membahas hal ini adalah dengan menyelidiki pustaka-pustaka lama yang membicarakan kemunculan sinden dalam pertunjukan wayang golek di Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Pada awalnya, pertunjukan wayang golek tidak melibatkan juru sinden atau pasinden. Semua aspek pertunjukan dijalankan oleh dalang yang memiliki peran vital. Dalang pada masa lalu, disebut sebagai juru barata, memainkan berbagai peran penting, termasuk menyanyi, membuat dialog antar tokoh wayang, melantunkan kakawen, dan memberikan elemen hiburan dengan humor. Sindennya mungkin awalnya bernama ronggong. Namun, sejak tahun 1930, pertunjukan wayang golek di Jawa Barat mulai melibatkan pasinden, dengan Suwanda dan Kayat sebagai dalang pertama yang mengintegrasikan sekar kepesindenan.
Meskipun ada pandangan Kost yang menyebutkan Suwanda dan Kayat sebagai pionir, catatan dari buku "Daja Swara Soenda" menyebutkan bahwa dalang Baradja dengan pasinden Nyi Arwat adalah yang pertama kali menyertakan sinden dalam pertunjukan wayang golek. Sejak itu, popularitas Suwanda dan Kayat, serta dalang lain seperti Penju di Subang, menandai penyebaran penggunaan pasinden dalam pertunjukan wayang golek di Jawa Barat. Radio Belanda juga memainkan peran penting dalam menyosialisasikan pasinden melalui radio Nirom dan Vorl di Bandung serta radio Voro di Jakarta. Keberadaan sinden menjadi suatu keharusan dalam pertunjukan wayang golek, dengan para dalang bersaing untuk mendapatkan sinden berkualitas yang dapat meningkatkan popularitas pertunjukan. Salmun mencatat bahwa keberhasilan pertunjukan juga tergantung pada kualitas suara, penampilan fisik, dan penguasaan aturan oleh sinden.
ilustrasi foto wayang, sumber foto : pexels.com
Kehadiran awal pasinden dalam pertunjukan wayang golek menandai kemajuan yang membanggakan. Dalam waktu singkat, sinden berhasil menempatkan dirinya setara dengan ki dalang. Keberhasilan ini sangat luar biasa, dengan penonton segera merespons positif terhadap kehadirannya. Lagu-lagu yang dinyanyikannya menjadi terkenal dan sangat populer di kalangan masyarakat. Pada akhirnya, peran sinden tidak hanya sebagai pelengkap dalam pertunjukan wayang golek, melainkan juga berkontribusi dalam meningkatkan daya jual dalang di pasaran.
ADVERTISEMENT