Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
"SMONG": Tradisi Lisan penyelamat Simeulue
15 Desember 2024 1:24 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Anisa Ulfadila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kebudayaan adalah hal yang tidak lepas dari kelompok masyarakat. Setiap kelompok masyarakat memiliki kebudayaannya sendiri, dan kebudayaan yang berbeda di antara kelompok masyarakat yang berbeda akan menyebabkan keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia. Keberagaman ini membuat Indonesia semakin terkenal dengan berbagai macam budaya nya.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Indonesia harus bersyukur karena memiliki berbagai kebudayaan yang dapat dilihat orang lain. Bahasa, tarian, upacara, dan kesenian lokal adalah bagian dari kebudayaan Indonesia yang kaya. Keanekaragaman budaya harus dilestarikan dan dijaga. Meskipun beberapa orang percaya bahwa kebudayaan lokal telah tertinggal oleh zaman, budaya ini harus dilestarikan agar tetap ada untuk generasi berikutnya. Melakukan pelestarian kebudayaan, masyarakat dapat merasakan berbagai macam kultur budaya yang ada tak. Selain itu dengan melakukan pelestarian ini anak cucu kita akan merasakan keberagaman yang ada seperti Tradisi Lisan/Folklor.
Tradisi Lisan/Folklor adalah salah satu kebudayaan tradisional Indonesia. Foklor sendiri berasal dari kata "folklore" dalam bahasa Inggris. Folk dan lore adalah dua istilah dasar yang berbeda. Menurut Alan Dundes, folk adalah kelompok individu yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan tertentu, dan kebudayaan, sementara lore adalah tradisi rakyat, yaitu sebagian dari budaya yang diwariskan secara lisan atau melalui contoh, disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Berdasarkan pengertian ini, dapat dikatakan bahwa folklor adalah sekelompok individu yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan yang sebagian kebudayaannya diturunkan secara turun-temurun secara lisan. Tradisi lisan/Folklor biasanya berisi pesan/cerita.
ADVERTISEMENT
Kabupaten Simeulue berada di Provinsi Aceh bagian barat daya . Ada 57 pulau besar dan kecil di kabupaten ini. Orang-orang dari berbagai etnik tinggal di Simeulue, termasuk Aceh, Aneuk Jamee, Devayan, Sigulai, dan Lekon. Tradisi lisan masih dipertahankan oleh masyarakat Simeulue, karena itu kebiasaan sehari-hari mereka.
Setelah kejadian tsunami pada tahun 2004, kepulauan Simeulue menjadi fokus studi para peneliti internasional karena kearifan lokal penduduknya. Kata "smong" dalam bahasa setempat, yang merujuk pada tsunami, menjadi kunci penting dalam penelitian tersebut. Peristiwa gempa dan tsunami tanggal 26 Desember 2004 menunjukkan betapa pentingnya pengetahuan lingkungan yang diwariskan secara lisan, yang memungkinkan penduduk Simeulue selamat dari bencana tsunami di tahun itu. Tradisi berbagi secara praktik lisan yang dilakukan oleh semua generasi di pulau yang berada di Samudra Hindia, telah terbukti menyelamatkan nyawa.
ADVERTISEMENT
Smong awal nya muncul ketika Simeulue terdampak bencana tsunami ditahun 1907. Saat kejadian ini Simeulue masih belum memiliki jalan yang layak, dan juga kurang pengetahuan mengenai mitigasi bencana. Akibat kejadian ini sekitar 70% masyarakat Pulau Simeulue tewas. Akhirnya munculah smong yang menceritakan kejadian tersebut agar tidak terulang kembali dimasyarakat selanjutnya yang diwariskan secara praktik lisan seperti, nandong.
Kemudian tahun 2004 terjadi kembali gempabumi disertai Tsunami yang sungguh dahsyat. Lalu di Pulau Simeulue tetua adat menceritakan pengalaman gempa bumi dan tsunami 2004 melalui tradisi Lisan yaitu Syair. Didalam Syair tersebut menceritakan tentang kengerian gempabumi dan tsunami Aceh, bahasa Simeulue digunakan di syair tersebut. Berikut syairnya :
“Aher tahön duo ribu ampek/ Akhir tahun dua ribu empat,
ADVERTISEMENT
Akduon mesa singa mangilla/ Tidak ada yang mengetahui,
Pekeranta rusuh masarek/ Pikiran kita kalut semua,
Aceh fulawan nitimpo musibah/ Aceh emas ditimpa musibah.
Sumeneng bano tandone linon/ Senyap alam tandanya gempa,
Huru-hara ata bak kampöng/ Huru hara orang dalam desa,
Mataöt ata mangida smong/ Takut akan datang tsunami,
Bakdö nga tantu bano humoddöng/ Tidak tentu arah berlarian.
Huru-hara ata bak kampöng/ Huru-hara orang dalam desa,
Mataöt ata smong ne malli/ Takut orang tsunami besar,
Molongang tantu bano humoddöng/Sudah tentu tempat berlari, Delok sibau rok tanggo basi/ Gunung Sibao di tangga basi.”
Budaya Pulau Simeulue yang menjelaskan pelajaran mengenai Smong atau tsunami yang melanda pulau tersebut pada 26 Desember 2004. Ada tiga ajaran utama dalam syair tersebut. Pertama, menggambarkan tingkat trauma yang ditimbulkan oleh gempa bumi dahsyat dan gelombang air laut yang menyapu pulau tersebut bagi masyarakat Simeulue. Kedua syair berisi pelajaran tentang indikator peringatan akan datangnya gempa bumi. Merasakan keheningan di lingkungan alam seperti tak suara angin yang mengaduk-aduk dedaunan. Area di sekitarnya tidak ada suara binatang atau kicauan burung. Ketiga, jika terjadi tsunami, beritahukan kepada penduduk setempat untuk mengungsi ke lokasi yang telah ditentukan.
ADVERTISEMENT
Gunung tertinggi di Pulau Simeulue bernama Gunung Sibao. Syair di atas menunjukkan bahwa jika terjadi tsunami atau air pasang, orang-orang harus segera mengungsi dari pantai dan mencari tempat yang lebih tinggi. Hal ini dilakukan karena tidak ada cara untuk mengetahui seberapa tinggi tsunami akan datang sebelum mencapai daratan; semakin tinggi tempat yang dituju, maka semakin rendah risikonya. Beberapa orang di Simeulue sudah tidak asing lagi dengan syair lagu tersebut.
Dalam hal pemahaman pratandan smong, smong dapat diidentifikasi melalui beberapa gejala alam, seperti: gempa bumi dahsyat yang diikuti oleh air laut yang surut dengan cepat hingga ikan-ikan terdampar di pantai, air sungai yang mengering, air sumur yang menyusut secara tiba-tiba, serta angin dingin yang datang dari laut hingga muncul ombak besar dengan suara gemuruh yang memekakkan telinga.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Pulau Simeulue menyadari bahwa smong tidak hanya terlihat dari gejala alam, namun juga dari perubahan perilaku hewan ternak. Cerita dari mereka yang selamat dari gempa bumi dan tsunami tahun 2004 menjadi dasar dari informasi ini.
Masyarakat Simeulue telah menciptakan berbagai praktik lisan yang mengandung beragam kearifan lokal yang dikemas dalam berbagai struktur dan diwariskan secara turun-temurun dari zaman ke zaman. Praktik-praktik lisan ini menjadi sarana bagi para wali di Simeulue untuk menanamkan nilai-nilai, kearifan, dan cara pandang terhadap masa depan. Nandong, buai, nafi, nanga, tokok, dan aksioma-aksioma yang berkaitan dengan kejadian merupakan praktik-praktik lisan.
Tradisi lisan yang paling terkenal adalah Nandong, yang juga merupakan salah satu ikon Simeulue. "Bergumam" adalah etimologi dari nandong. Pertunjukan syair atau pantun oleh beberapa penandung-setidaknya dua orang-dipimpin oleh seorang penandung yang dikenal sebagai "penghulu gandang" menunjukkan kemampuan ini. Penghulu Gandang dipilih karena kemampuannya yang luar biasa dalam membawakan nandong, terlihat dari jumlah syair yang dihafalkan, kekuatan suaranya selama pertunjukan, dan ketekunannya yang luar biasa, karena nandong biasanya dimainkan sepanjang malam.
ADVERTISEMENT
Syair tradisional masyarakat Simeulue, Nandong, memiliki struktur dan gaya yang mirip dengan pantun. Syair ini memiliki bentuk pantun dan sifat-sifatnya yaitu refrainya terdapat empat rima, masing-masing terdiri dari delapan hingga dua belas suku kata. Berbeda dengan pantun, yang menyimpulkan ide dalam beberapa bait atau sering kali dalam satu refrain, nandong menjunjung tinggi banyak refrain untuk setiap pembahasan. Nandong menganggap syair dengan sangat serius. Bait tidak boleh bertentangan, jika bertentangan, itu tidak akan dianggap dan mengecewakan.
Penandong dahulunya memakai pakaian tradisional, namun seiring berjalannya waktu, grup Nandong kebanyakan memakai pakaian untuk menunjukkan keberadaan sebuah perkumpulan atau sanggar yang menjadi tempat penandong tersebut. Untuk alasan tampil di berbagai acara resmi, misalnya ajakan dari Pemerintah Daerah atau persaingan, para penghibur memakai pakaian tradisional/kreatif berwarna gelap/kuning dan memakai penutup.
ADVERTISEMENT
Nandong direplikasi dan dinyanyikan dalam bahasa yang paling banyak digunakan di pulau itu, khususnya Jamee. Namun terdapat perbedaan irama antara masyarakat Simeulue Timur dan Simeulue Barat. Di Simeulue Timur, irama abrasifitas nandong lebih tinggi. Sementara itu, di wilayah barat, yang mayoritas penduduknya berbahasa Sigulai, irama Nandong dipuji. Sebagai bentuk pertunjukan, pelaksanaan Nandong dilakukan pada malam hari dan berlangsung hingga matahari terbit.
Tradisi lisan, khususnya yang berkaitan dengan kearifan lokal dalam menghadapi bencana alam seperti tsunami, memiliki peran penting dalam mempertahankan keselamatan masyarakat. Tradisi lisan seperti Nandong tidak hanya berfungsi sebagai hiburan tetapi juga sebagai medium pengajaran dan pemersatu komunitas, mencerminkan pentingnya mempertahankan dan merayakan kebudayaan serta kearifan lokal di Simeulue.
ADVERTISEMENT