Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Hindari Pajak Menjadi Palak
5 Oktober 2024 18:15 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Teuku Parvinanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kalimat itu terlontar beberapa hari lalu oleh salah satu anggota grup whatsapp yang saya ikuti. Pemicunya adalah tautan berita yang dibagikan sebelumnya oleh anggota grup lain yang memuat konfirmasi dari juru bicara Kementerian Keuangan, Yustinus Prastowo tentang pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) sebesar 22 persen bagi masyarakat yang membangun rumah dengan luas bangunan minimal 200 meter persegi dan 2,2 persen bagi luas bangunan di bawah 200 meter persegi.
ADVERTISEMENT
Pajak merupakan tulang punggung penerimaan negara, namun bagi banyak masyarakat Indonesia, pajak seolah-olah telah menjadi "palak”.
Beban yang terus meningkat, jenis pajak yang semakin banyak, serta ketimpangan antara si kaya dan si miskin dalam pembayaran pajak menjadi sorotan utama.
Sebagai contoh pajak pencairan dana peserta Jaminan Hari Tua (JHT). Dana yang sejatinya akan digunakan untuk kebutuhan hari tua atau kebutuhan darurat saat sedang tidak bekerja, justru dikenakan pajak 5 persen untuk pencairan seluruhnya dan pajak progresif jika dicairkan sebagian.
Padahal dana JHT merupakan bagian dari upah pekerja yang ditabung setiap bulannya sebesar 5,7 persen dari upah, yang artinya juga sudah dikenakan pajak penghasilan. Namun ternyata jika dicairkan akan dikenakan pajak lagi sebesar 5 persen.
ADVERTISEMENT
Suara keberatan pajak pencairan JHT juga pernah diamini oleh mantan Direktur Utama BP Jamsostek, Agus Susanto yang pernah meminta Kementerian Keuangan untuk menghapus pajak pencairan dana peserta JHT karena bertentangan dengan filosofi dasar jaminan sosial yang bertujuan memberi kehidupan dasar yang layak dan bermartabat. Hal itu ia sampaikan dalam RDP dengan Komisi IX DPR pada 8 Juli 2020 silam.
Tahun demi tahun, kritik terus berdatangan terkait kebijakan pajak di Indonesia yang dianggap memberatkan rakyat kecil, sementara para konglomerat dan orang kaya sering kali kedapatan mendompleng pajak, bahkan mendapat insentif dari pemerintah agar mereka mau membayar pajak.
Dikutip dari APBN 2024, 80% penerimaan negara berasal dari pajak, yang menggambarkan betapa pentingnya peran pajak dalam menopang keuangan negara.
ADVERTISEMENT
Jumlah tersebut mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Target penerimaan pajak pada APBN 2024 mencapai Rp 2.307,5 triliun, meningkat dari target APBN 2023 yang sebesar Rp 2.016,9 triliun. Ini menunjukkan peningkatan sekitar 14,4% dari tahun sebelumnya.
Peningkatan ini sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk memperkuat penerimaan negara dari sektor pajak guna mendanai belanja negara, termasuk pembiayaan infrastruktur, pelayanan publik, dan pembayaran utang.
Namun, dengan tingginya ketergantungan ini, rakyat kecil sering merasa diperlakukan seperti "sapi perah." Beberapa jenis pajak yang sering mendapat sorotan adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Penghasilan (PPh), serta pajak barang mewah.
Hal ini kerap memunculkan protes dari masyarakat, karena hampir semua aspek kehidupan dipajaki.
ADVERTISEMENT
Beban Pajak Menumpuk
Terus bermunculannya pajak baru menambah keresahan masyarakat di tengah tekanan ekonomi yang sudah berat.
Di sisi lain, pendapatan masyarakat tidak serta-merta meningkat seiring dengan kebijakan pajak yang lebih tinggi, menciptakan ketidakadilan sosial yang jauh dari cita-cita Pancasila.
Dalam kajian yang dilakukan oleh Burhanudin Abdullah (Gubernur Bank Indonesia 2003-2008) dari tim ekonomi Prabowo, ia menyoroti tax ratio Indonesia yang rendah, yakni hanya sekitar 9-11% dari PDB yang berarti bahwa penerimaan pajak tidak sebanding dengan potensi yang ada.
Pernyataan itu menandakan bahwa pada pemerintahan Prabowo nanti, akan ada kemungkinan penggenjotan pajak untuk meningkatkan penerimaan negara.
Selain beban pajak, pemerintah juga dihadapkan pada masalah utang yang terus meningkat. Sejak pemerintahan Jokowi, utang terus melonjak akibat pembangunan infrastruktur.
ADVERTISEMENT
Drajad Wibowo, ekonom yang juga Ketua Dewan Pakar PAN, menyebutkan bahwa pemerintahan Prabowo akan merasakan beban utang yang dimulai sejak 2015.
Berdasarkan data resmi dari Kementerian Keuangan per 30 April 2024, utang jatuh tempo tahun depan mencapai Rp 705,5 triliun dari Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp 100,19 triliun dari pinjaman luar negeri.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), juga memperingatkan bahwa utang jatuh tempo itu akan sangat sulit dilunasi oleh pemerintahan Prabowo.
Karena sebagian besar utang tersebut berbentuk SBN, pemerintah harus mampu menarik investasi dan mengelola penerimaan pajak dengan lebih baik untuk menjaga stabilitas fiskal.
Jurang Sosial Kian Melebar
Meskipun pajak menjadi salah satu instrumen penting untuk redistribusi kekayaan, kenyataannya, manfaat dari pajak belum dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kesenjangan antara orang-orang kaya dan rakyat kebanyakan semakin mencolok. Orang kaya memiliki celah untuk meminimalisasi kewajiban pajaknya dengan berbagai cara, seperti menggunakan konsultan pajak, memanfaatkan tax haven, atau struktur perusahaan multinasional yang rumit.
Pemerintah Indonesia telah mencoba menerapkan kebijakan seperti tax amnesty untuk memulangkan dana yang disembunyikan di luar negeri.
Namun, efek jangka panjang dari kebijakan ini masih dipertanyakan. Setelah program ini berakhir, tidak banyak tindakan nyata yang dilakukan untuk memastikan para pendompleng pajak tersebut benar-benar mematuhi kewajiban pajaknya di masa depan.
Di negara lain seperti Swedia dan Denmark, pajak yang tinggi sebanding dengan kesejahteraan sosial yang dinikmati oleh masyarakatnya. Di kedua negara ini, meskipun tax ratio tinggi, masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur yang sangat baik.
ADVERTISEMENT
Di Jerman, tax ratio mencapai 38,7%, tetapi negara memberikan tunjangan bagi keluarga yang baru memiliki anak serta subsidi besar dalam sektor energi dan transportasi publik.
Ini menunjukkan bahwa pajak yang tinggi tidak selalu harus diikuti dengan penderitaan rakyat, asalkan pendistribusiannya adil dan transparan.
Sementara itu, di Indonesia, meski pajak terus meningkat, data menunjukkan bahwa Indonesia masih menghadapi masalah serius seperti kemiskinan, pengangguran, dan stunting.
Angka stunting masih tinggi, mencapai 24,4% pada 2022 (Kementerian Kesehatan), angka kemiskinan pada Maret 2023 mencapai 9,57%, dan jumlah pengangguran masih di atas 5% (BPS).
Beban pajak bagi rakyat kecil tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas hidup.
Kejar Pendompleng Pajak Kakap, Jangan Bebani Rakyat Kecil
ADVERTISEMENT
Pendompleng pajak di Indonesia biasanya berasal dari kalangan konglomerat, pebisnis besar, dan perusahaan multinasional yang memiliki sumber daya dan akses untuk melakukan perencanaan pajak yang agresif.
Beberapa perusahaan besar bahkan memanfaatkan perjanjian bilateral untuk menghindari pajak atau memindahkan keuntungan mereka ke negara dengan pajak rendah.
Hal ini diperburuk dengan adanya insentif pajak yang kerap lebih menguntungkan perusahaan besar daripada usaha kecil dan menengah.
Selain itu, ada praktik transfer pricing yang dilakukan oleh perusahaan multinasional untuk mengalihkan keuntungan ke yurisdiksi dengan pajak lebih rendah, sehingga mengurangi kewajiban pajaknya di Indonesia.
Meskipun regulasi terkait transfer pricing sudah diperketat, implementasinya masih belum seefektif yang diharapkan.
Jika dibandingkan dengan negara maju, seperti Jerman dan Amerika Serikat, penegakan hukum dan pengawasan terhadap pajak di Indonesia masih lemah.
ADVERTISEMENT
Di Jerman, misalnya, audit pajak dilakukan secara ketat, dan setiap penyimpangan akan segera ditindak tegas dengan hukuman yang berat.
Amerika Serikat juga memiliki Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) yang sangat efektif dalam mengejar aset warga negaranya di luar negeri.
Australia juga telah melakukan reformasi perpajakan besar-besaran, termasuk memastikan pengawasan yang lebih ketat terhadap penghindaran pajak.
Kondisi yang berlangsung di Indonesia mengingatkan kepada kutipan terkenal Benjamin Franklin “In this world, nothing can be said to be certain, except death and taxes” (di dunia ini, tidak ada yang pasti selain kematian dan pajak).
Kutipan ini menggambarkan betapa pasti dan tak terelakkannya pajak bagi semua orang. Namun, yang menjadi pertanyaan di Indonesia adalah apakah pajak yang pasti ini benar-benar memberikan manfaat bagi rakyat banyak, atau justru menambah beban bagi mereka yang sudah terbebani oleh kesulitan hidup.
ADVERTISEMENT
Pajak yang seharusnya menjadi alat keadilan ekonomi, kini malah dirasakan bak palak yang menyulitkan kehidupan masyarakat.