Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Ke Mana Perginya Menteri Perempuan di Kabinet Presiden Prabowo Subianto?
15 Oktober 2024 12:06 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Anneila Firza Kadriyanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menjelang pergantian pucuk pimpinan tertinggi Indonesia pada 20 Oktober mendatang, Presiden terpilih Prabowo Subianto memanggil 49 tokoh ke kediamannya di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan. Tokoh-tokoh yang dipanggil ini disinyalir akan menjadi calon menteri pada kabinet yang akan dipimpinnya pada periode 2024-2029.
ADVERTISEMENT
Dari 49 tokoh yang disebut-sebut akan menduduki posisi menteri, hanya enam orang yang merupakan perempuan. Mereka antara lain adalah Widiyanti Putri Wardhana (pengusaha), Arifatul Choiri Fauzi (pengurus Muslimat NU), Ribka Haluk (Pj Gubernur Papua Tengah), Sri Mulyani (Menteri Keuangan periode Joko Widodo), Veronica Tan, dan Meutya Hafid (jurnalis dan politisi Partai Golkar).
Padahal jumlah kabinet di pemerintahan yang baru ini sungguh sangat membengkak dari periode sebelumnya. Namun perempuan yang digadang-gadang menjadi menteri HANYA ENAM ORANG dari 49 pos kementerian.
Para Menteri Perempuan di Era Reformasi
Jika partai politik, penyelenggara pemilu, dan pencalonan anggota legislatif memiliki hukum afirmasi harus memenuhi persyaratan kuota minimum representasi perempuan sebesar 30%, tidak demikian halnya dengan pemilihan menteri kabinet.
ADVERTISEMENT
Penunjukan menteri memang sepenuhnya hak prerogatif pemimpin eksekutif yang disesuaikan dengan kebutuhan dan konteks politik saat sang presiden/perdana menteri menjabat. Di Spanyol dan Finlandia, persentase kabinet menterinya didominasi oleh menteri perempuan sampai lebih dari 60%. Sayang, jumlah menteri perempuan di Indonesia bahkan tidak pernah mencapai 30% (kira-kira hingga 10 perempuan dalam satu periode kabinet).
Dalam Kabinet Persatuan Nasional (era Presiden Abdurrahman Wahid) dan Kabinet Gotong Royong (Presiden Megawati Soekarnoputri), hanya dua perempuan yang ditunjuk sebagai menteri. Jumlah ini bertambah sedikit pada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) di bawah Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menjadi empat orang pada periode pertamanya, dan lima orang pada KIB Jilid II.
Masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang pertama (2014-2019) merupakan era dengan menteri perempuan terbanyak pertama sejak Reformasi 1998, yakni delapan menteri perempuan. Sayangnya jumlah ini menurun di era pemerintahan Jokowi yang ke-2 dengan hanya lima orang perempuan yang menjadi menteri.
ADVERTISEMENT
Jika di periode Jokowi dengan 34 pos kementerian bisa terpilih delapan orang menteri perempuan, logikanya dengan pembengkakan pos kementerian di era presiden terpilih yang baru, jumlah menteri perempuan diharapkan bisa lebih dari delapan orang bahkan mencapai 30%.
Mengingat pada saat ini telah begitu banyak figur-figur perempuan dari beragam latar belakang dan integritas mulai bermunculan dan layak menjadi menteri. Berbagai peristiwa lokal, nasional, dan global pun telah terjadi sebagai bentuk perjuangan untuk mempersempit ketimpangan gender di sektor sosial-politik. Misalnya gerakan global #MeToo dan beragam inisiasi organisasi nirlaba yang mendorong perempuan muda untuk tampil sebagai project leader.
But, no! Presiden terpilih yang baru ini masih berkomitmen untuk menjalankan pemerintahannya dengan melanggengkan dominasi pria, serta hanya memberikan sejumput kecil representasi perempuan dalam kabinetnya.
ADVERTISEMENT
Tampaknya pada era presiden terbaru, suara perempuan masih akan tenggelam dalam lautan testosterone yang telah terbiasa dengan situasi patriarkis.
Pentingnya Menghadirkan Perempuan Dalam Kabinet Presiden
Jabatan menteri memang kerap diasosiasikan sebagai jabatan politik. Mereka yang ditunjuk sebagai menteri merupakan orang-orang terdekat dan kepercayaan yang bisa membantu presiden menjalankan urusan negara. Maka sering pula penunjukan menteri dilatarbelakangi alasan yang politis, misalnya mengakomodasi anggota partai pendukung yang ikut memenangkan presiden pada masa kampanye.
Namun jabatan menteri juga jabatan birokrat yang untuk bisa sampai ke puncak pimpinan harus melewati jenjang dan promosi organisasi birokrasi. Sehingga tak melulu menteri yang dipilih adalah tokoh politik, melainkan dari kalangan profesional atau internal kementerian tersebut.
Menghadirkan perempuan sebagai menteri adalah upaya presiden dalam menunjukkan sikap dan komitmennya dalam menghapuskan kesenjangan gender dalam birokrasi. Sikap ini juga merupakan wujud keseriusan pemerintah untuk mempromosikan perempuan sebagai pimpinan di organisasi birokrasi.
ADVERTISEMENT
Hal lain yang mendesak untuk memiliki menteri perempuan adalah pada saat penciptaan regulasi dalam skala nasional. Kementerian yang dipimpin oleh menteri perempuan akan turut mengimplementasikan perspektif keadilan gender dalam regulasinya. Maka dari itu, perempuan juga harus ditempatkan di pos-pos kementerian strategis agar implementasi yang berbasis keadilan gender dapat diintegrasikan dalam setiap persoalan penting negara.
Sebab urusan perempuan BUKAN LAGI TENTANG SUMUR dan DAPUR. Melainkan juga persoalan lain yang berkaitan dengan pendidikan, ekonomi, kesejahteraan sosial, kesehatan, bahkan pertahanan dan keamanan negara, hak asasi manusia, hingga urusan politik luar negeri. Segala lini memiliki keterkaitan, kepentingan, dan keterlibatan perempuan di dalamnya.
Dengan banyaknya jumlah perempuan dalam kabinet kementerian juga akan meningkatkan kesejahteraan rakyat yang lebih baik. Kepemimpinan perempuan yang kerap mengedepankan keadilan gender selalu dapat mengakomodasi kepentingan kelompok rentan lainnya (seperti kaum difabel dan etnis minoritas).
ADVERTISEMENT
30% Menteri Perempuan Seharusnya Menjadi Mandatori
Pemerintahan Presiden Prabowo digemborkan sebagai pemerintahan yang ingin meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Meningkatkan kualitas manusia selalu berkelindan dengan peran penting perempuan (terutama kaum perempuan ibu) yang melahirkan, merawat, membesarkan, hingga mendidik generasi manusia.
Jika segala kebijakan nasional tidak menghadirkan keadilan gender yang menjadikan perempuan sejahtera dan bahagia, negara mengalami kerugian terbesar! Dengan populasi yang lebih dari 50%, perempuan yang tidak bahagia dan sejahtera tidak mampu berkontribusi terhadap pembangunan: membayar pajak, mendatangkan devisa, mengisi bursa tenaga kerja, dan sumbangsing pemikiran.
Kehadiran menteri perempuan di pos-pos strategis sangat penting agar dapat memastikan perspektif gender melebur ke dalam urusan-urusan strategis negara. Penunjukan menteri perempuan yang lebih banyak juga akan mendorong keinginan perempuan lain untuk aktif terlibat dalam urusan publik, sehingga dengan demikian dapat mendorong peningkatan indeks kualitas SDM yang bebas dari stereotip dan bias gender.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, seharusnya penunjukan menteri kabinet juga harus memiliki undang-undang afirmasi dengan minimal 30% anggota kabinet menteri adalah perempuan!