Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Politik Tanpa Feminisme
28 Maret 2022 15:34 WIB
Tulisan dari Anneila Firza Kadriyanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Korea Selatan (Korsel) telah selesai menggelar pemilihan presiden. Yoon Seok-youl dari golongan konservatif berhasil memenangkan pemilu di tengah merebaknya kemuakan rakyat Korsel terhadap politisi dan rezim nepotisme petahana Moon Jae-in.
ADVERTISEMENT
Sayangnya yang (mungkin) paling disesalkan oleh banyak feminis atas keterpilihan Yoon Seok-youl adalah sikapnya yang anti feminis dan menentang kesetaraan jender. Korsel adalah salah satu negara dengan paham patriarki kuat yang menolak kesetaraan jender.
Banyak para lelaki, terutama yang berusia 20-an, mengatakan jika feminisme di Korsel telah kebablasan karena dikaitkan dengan menurunnya jumlah kelahiran di negeri ginseng tersebut. Bahkan mayoritas lelaki Korsel pun mengatakan jika lapangan pekerjaan semakin kompetitif dengan keberadaan perempuan yang ikut bekerja di ranah publik dan 'menguasai' posisi strategis. Kenyataannya, hanya 15,6% perempuan yang memiliki jabatan top manajerial di Korsel.
Gerakan Politik Perempuan Untuk Tampil di Ranah Publik
Karya klasik Republic karangan Plato pernah menyebutkan jika perempuan pun pada dasarnya memiliki kemampuan alami yang setara dengan pria dalam memimpin dan melindungi Yunani. Akan tetapi pemikiran ini malah ditentang oleh kebanyakan orang-orang Yunani pada masa itu, dan tetap bertahan hingga era imperium Romawi.
ADVERTISEMENT
Puncaknya adalah pemberlakuan Lex Oppia di tahun 195 yang membatasi kepemilikan perempuan terhadap emas, garmen, dan barang berharga yang merupakan simbol keberdayaan. Perempuan yang berdaya berpotensi membangkang hingga kelak melawan pada kehendak suaminya. Anggapan itu tidak bisa dibiarkan karena menyebabkan kedudukan perempuan menjadi superior di atas laki-laki (Marcus Porcius Cato).
Pengekangan terhadap gerakan-gerakan perempuan pun dimulai, baik yang muncul di Abad Pertengahan dan di masa pencerahan Renaissance. Segala bentuk protes, pressure group, hingga karya cipta perempuan berusaha dikerdilkan dan dibungkam. Perempuan tidak memiliki andil dalam pengambilan keputusan, meski hal itu terkait dengan urusan keperempuanannya seperti pernikahan.
Keberhasilan gerakan perempuan baru meraih keberhasilannya pada pertengahan abad ke-19, di mana pada masa itu perempuan menuntut supaya bisa memiliki hak politik dalam pemungutan suara (voting). Inisiasi ini dimulai oleh Abigail Adams, istri dari Presiden Amerika Serikat John Adams. Dalam surat kepada suaminya, Abigail mengancam akan melakukan pemberontakan jika perempuan tidak diberikan hak politik dalam pemungutan suara.
ADVERTISEMENT
Era ini menandai Gelombang Pertama Feminisme. Gelombang pertama ini pula menjadi tonggak awal bagi gerakan feminisme berikutnya yang terus berlangsung hingga hari ini dalam perjuangan beragam bentuk pemenuhan hak-hak perempuan, antara lain untuk bebas dari prasangka rasisme, bebas dari tindakan kejahatan seksual, hingga yang dapat mengakomodasi hak perempuan transjender.
Sistem Politik yang Patriarkis
Meski secara politis gerakan kesetaraan jender dan tuntutan pemenuhan hak-hak perempuan telah bergaung di seluruh belahan dunia, nyatanya keterlibatan perempuan dalam pemerintahan masih sangat rendah.
Padahal keterlibatan perempuan dalam pemerintahan merupakan hal krusial, sebab pemerintah merupakan lembaga yang memiliki otoritas dalam membuat kebijakan publik. Keberadaan perempuan dalam pemerintahan dapat menciptakan aturan-aturan publik yang memihak pada kesejahteraan perempuan, serta memenuhi hak-hak kesetaraan perempuan dan laki-laki.
ADVERTISEMENT
Sayangnya persentase keterlibatan perempuan dalam politik dan pemerintahan memiliki jumlah yang sangat jauh dibandingkan dengan pria. Per 1 September 2021, UN Women menyebutkan hanya 26 dari 195 negara di dunia yang dipimpin oleh perempuan, baik sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan.
Di Indonesia, keterlibatan perempuan dalam pencalonan anggota legislatif maupun kepemimpinan lembaga lainnya hanya diatur dalam batasan minimum 30%. Persentase ini tidak mengalami kenaikan sejak undang-undang mengenai partai politik disahkan di tahun 2008. Mirisnya, sampai dengan Pemilu 2019 silam, kuota 30% anggota legislatif perempuan tidak pernah tercapai.
Hambatan yang menghalangi keterlibatan perempuan untuk masuk ke dalam pemerintahan tak bisa dilepaskan dari kuatnya tradisi patriarki yang telah mengakar dalam kehidupan dan pemikiran masyarakat. Perempuan selalu dikaitkan dengan prasangka terhadap tubuh dan faktor biologis sehingga kerap dianggap memiliki kecerdasan berpolitik yang lebih rendah dibanding laki-laki.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini semakin buruk dengan kemunculan beragam pemimpin populis dan demagog yang memiliki kecenderungan ideologi politik konservatif. Dengan demikian, prinsip-prinsip liberal demokratis (yang salah satu muatannya juga adalah pengakuan terhadap kesetaraan jender) tidak dipedulikan.
Donald Trump yang terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat periode 2016-2020 merupakan salah satu pemimpin seksis yang kerap merendahkan perempuan. Begitu juga dengan terpilihnya Yoon Seok-youl kali ini yang menandai kemunduran bagi perjuangan kesetaraan jender di Korsel.
Mendorong Perempuan Berpolitik
Perempuan harus memiliki kesadaran berpolitik yang tinggi serta turut pula terlibat aktif dalam kegiatan tersebut. Politik perempuan harus menjadi motor penggerak yang memiliki gaung agar bisa mempengaruhi keputusan politik yang mengakomodasi kepentingan perempuan.
Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang mangkrak hingga enam tahun adalah salah satu contoh kuatnya dominansi patriarki yang sarat kepentingan politis dengan kerap mengabaikan kepentingan perempuan. Meski pada periode kali ini Dewan Perwakilan Rakyat mengukir sejarah pertamanya dengan dipimpin oleh seorang perempuan, nyatanya penyegeraan legislasi RUU masih terus ditunda-tunda.
ADVERTISEMENT
Kebijakan politik yang mampu mengakomodasi kepentingan dan hak-hak perempuan, haruslah dirancang oleh perempuan. Sebab perempuan yang mengerti kebutuhan apa yang harus dipenuhi oleh perempuan.
Produk legislasi dan kebijakan yang dibuat oleh politisi pria akan selalu mengedepankan perspektif maskulin yang patriarkis, sehingga lagi-lagi kebijakan tersebut tidak mampu mengakomodasi kepentingan perempuan.
Sistem politik global dan Indonesia sudah sangat kuno karena terus mempertahankan paham patriarkisnya. Sekarang merupakan waktunya sistem politik ini memiliki perspektif feminisme. Sejarah telah banyak mengukir keberhasilan politik ketika dipimpin oleh perempuan.
Di masa kekalutan global akibat penyebaran virus Covid-19, negara-negara dengan kepala pemerintahan perempuan seperti Selandia Baru, Denmark, Islandia, dan Jerman menjadi negara dengan respon penanggulangan bencana pandemi terbaik (What Do Countries with The Best Coronavirus Responses Have in Common? Women Leaders: Forbes, April 2020). Laporan dari Harvard Business School 2018 pun mengungkapkan, negara-negara yang dipimpin oleh perempuan memiliki tingkat kesejahteraan hidup yang lebih baik dibanding yang dipimpin oleh pria.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu penting bagi perempuan saat ini untuk tampil memimpin di depan publik. Kepemimpinan perempuan telah terbukti tak hanya mampu memenuhi hak-hak perempuan, melainkan juga meningkatkan standar dan kualitas hidup publik secara keseluruhan. Perempuan harus terlibat dan mau berpolitik.
Sekarang saatnya perempuan berpolitik!
Sekarang saatnya perempuan memilih perempuan!
Sekarang saatnya perempuan beremansipasi!