Konten dari Pengguna

Polemik Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023: Laut Buntung, Oligarki Untung

Annisa Nabilatul Khaira
Mahasiswa Program Magister Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada
27 Agustus 2023 19:49 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annisa Nabilatul Khaira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Laut Indonesia. Pantai di Nusa Lembongan, Jungutbatu, Kabupaten Klungkung, Bali. (Foto: Tarryn Myburgh/Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Laut Indonesia. Pantai di Nusa Lembongan, Jungutbatu, Kabupaten Klungkung, Bali. (Foto: Tarryn Myburgh/Unsplash)
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu, publik Indonesia dikejutkan oleh isu izin penambangan dan pembukaan kembali keran ekspor pasir laut oleh Presiden Joko Widodo seiring dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 mengenai Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
ADVERTISEMENT
Persoalan ini penting untuk diperhatikan secara saksama mengingat pengalihan domain operasi industri ekstraktif ke wilayah pesisir dan laut berpotensi besar menimbulkan kerugian sosio-ekologis dan mengancam keamanan maritim. Terlebih lagi, kebijakan ini merupakan re-aktivasi kebijakan yang sama pasca diberhentikan selama dua dekade sejak tahun 2003.
Ditinjau dari segi proses pembuatan hingga aturan implementasinya, kebijakan ini dapat dikatakan problematik. Pertama, pengesahan kebijakan terkesan terburu-buru dengan tidak memperhatikan pertimbangan cost-benefit secara rasional.
Kedua, klausul-klausul dalam Peraturan Pemerintah (PP) dapat melegitimasi tujuan terselubung dan menjebak logika publik. Ketiga, meski tergolong sebagai trade-off policy, keuntungan ekonomi yang dihasilkan tidak sebanding dengan biaya sosial dan degradasi lingkungan yang harus ditanggung dalam jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Mengutip tulisan yang disusun Frederic Adam dkk berjudul "Rational Decisions in Organisations: Theoretical and Practical Aspects" (2002), pemerintah wajib membuat keputusan yang rasional. Formulasi kebijakan rasional idealnya memiliki prosedur ketat dengan mempertimbangkan pengetahuan saintifik dan logika yang objektif, alih-alih mengedepankan subjektivitas dan intuisi.
Urgensi dari pertimbangan rasional tidak lain adalah untuk menciptakan kebijakan yang baik bagi kemaslahatan seluruh pihak, terutama masyarakat selaku subjek pembangunan serta menghindari kemungkinan fasilitasi kepentingan golongan tertentu.
Namun, dalam konteks kebijakan penambangan dan ekspor pasir laut ini, terdapat indikasi pertimbangan irasional oleh pemerintah. Hal ini direfleksikan oleh resistensi yang dilayangkan oleh berbagai aktor.
Ahli kelautan, Zulhamsyah Imran mengkritisi bahwa kebijakan ini dapat merusak ekosistem alami perikanan dan hanya bertujuan untuk memuaskan hasrat ekonomi oligarki kapitalis. Akademisi Universitas Sriwijaya, Iskhaq Iskandar berpendapat seharusnya harus dilakukan kajian mendalam sebelum aturan disahkan.
Ilustrasi tambang pasir laut. Foto: Shutterstock
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Susi Pudjiatuti juga sangat vokal berprotes melalui media sosialnya. Ia berharap keputusan ini dibatalkan, karena menurutnya akan semakin memperburuk dampak perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan itu, Greenpeace Indonesia dan Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) mengkritisi bahwa aturan tersebut tidak mengutamakan prinsip pelestarian lingkungan dan meminggirkan suara masyarakat. Kedua organisasi pemerhati lingkungan ini juga mendapat tawaran langsung dari KKP untuk bergabung ke dalam tim kajian aturan turunan PP No. 26/2023.
Meski akhirnya ditolak, menurut penulis, tawaran tersebut merupakan suatu bentuk upaya pemerintah menciptakan relasi patron klien agar kedua organisasi mendukung kebijakannya. Kritik dari pihak-pihak ini mencerminkan sikap pemerintah yang anti-sains dalam merumuskan kebijakan.
Benturan suara antar lembaga pemerintah semakin memperjelas problematika. Penetapan PP No. 26/2023 didukung oleh empat kementerian yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi ekosistem laut. Di antaranya adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi.
ADVERTISEMENT
Mirisnya, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, yang juga merupakan pemilik perusahaan tambang dan batu bara, Luhut Binsar Pandjaitan dengan percaya diri menyatakan ekspor pasir laut tidak akan merusak lingkungan.
Di sisi lain, Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan mengaku tidak mengetahui apapun soal kebijakan ini. Padahal, dalam aturannya Kementerian Perdagangan merupakan salah satu dari tiga pihak yang akan memberi izin ekspor bagi pelaku usaha.
Sebagaimana dikuti dari Kompas dalam artikel berjudul Soal Ekspor Pasir Laut, DPR Siap Minta Keterangan Pemerintah (2023), Yohanis Fransiskus Lema, anggota DPR Komisi IV menilai selain minim partisipasi publik, penetapan kebijakan ini tidak menunjukkan transparansi landasan akademis.
Merespons kritik dari segala arah, pemerintah meminta agar semua pihak tidak terlalu mempersoalkan ekspor pasir laut dan menyatakan bahwa prioritas dari kebijakan ini adalah sesuai dengan judul PP, yakni pengelolaan hasil sedimentasi laut, utamanya untuk menjaga kesehatan laut yang semakin mendangkal.
Ilustrasi tambang pasir laut. Foto: Shutterstock
Dikutip dari tulisan White W. M, dkk berjudul "Encyclopedia of Geochemistry: A Comprehensive Reference Source on the Chemistry of the Earth" (2018), sedimen laut secara umum merupakan endapan campuran material padat di dasar laut yang terdiri atas partikel tanah, lumpur, kerikil, mineral, organisme mati dan material lainnya.
ADVERTISEMENT
Sementara Wendy Tatiana Gonzalez Cano dan Kyoungrean Kim dalam tulisannya berjudul "How to Achieve Sustainably Beneficial Uses of Marine Sediments in Colombia?" (2022), menjelaskan keberadaan sedimen merupakan ancaman bagi kesehatan ekosistem terumbu karang dan biota laut. Meski demikian, sedimen laut adalah sumber daya alam bernilai yang dapat dimanfaatkan oleh manusia.
Namun, apabila meninjau klausul-klausul yang tertuang dalam PP, penulis menilai bahwa pemerintah inkonsisten dengan klaimnya yang mengutamakan pengelolaan sedimen.
Pada Pasal 6 Ayat 1, disebutkan bahwa pengendalian hasil sedimentasi di laut dilakukan melalui pembersihan hasil sedimentasi di laut. Apabila ingin mengelola kelestarian ekosistem bahari, seharusnya isi PP tidak dilanjutkan dengan Pasal 9.
Pasal 9 Ayat 1 berbunyi “hasil sedimentasi di laut yang dapat dimanfaatkan berupa pasir laut dan/atau material sedimen lain berupa lumpur”. Dilanjutkan dengan Pasal 9 Ayat 2 (d) yang secara terang mengatur pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut untuk “ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, PP ini dapat menjebak logika publik apabila tidak diperhatikan secara saksama. Jika dibiarkan, peraturan ini dapat melegitimasi aktivitas penambangan pasir laut dengan dalih pengelolaan sedimen laut guna dijadikan komoditas ekspor.
Salah satu pihak potensial paling diuntungkan oleh kebijakan ekspor pasir laut adalah Singapura. Kebutuhan akan reklamasi menjadikan Singapura sebagai destinasi ekspor strategis.
Mengutip sebuah tulisan yang dimuat Reuters berjudul "Boon for Singapore as Indonesia Scraps Ban on Sea Sand Exports" (2023), berdasarkan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2019, Singapura merupakan importir pasir laut terbesar dunia dan telah mengimpor sebanyak 517 juta ton pasir laut dari negara tetangganya selama dua dekade terakhir.
Ilustrasi tambang pasir laut. Foto: Shutterstock
Sementara jika menilik sejarah sebagaimana dikutip dari jurnal yang ditulis Nurzal E. R berjudul "Upaya Penanganan Pasir Laut dari Segi Kebijakan" (2004), Indonesia pernah menjadi mitra pasok utama bagi Singapura memenuhi kebutuhan pasir laut untuk reklamasi selama puluhan tahun.
ADVERTISEMENT
Upaya reklamasi tersebut menambah luas daratan Singapura sebesar 100.7 kilometer persegi, dari yang sebelumnya seluas 586.4 kilometer persegi pada tahun 1970 menjadi 687.1 kilometer persegi pada tahun 2002.
Saat Singapura berhasil memperluas wilayah, sejumlah pulau terluar milik Indonesia terancam hilang. Sebut saja Pulau Nipah dan Pulau Sebatik yang sempat tenggelam akibat aktivitas penambangan pasir laut.
Menindaklanjuti hal itu, pemerintah Indonesia menetapkan aturan berupa Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut sejak 2003 demi memproteksi keamanan batas maritim dan lingkungan lautnya. Sayangnya, kedua aturan tersebut secara otomatis harus tercabut sebab pengesahan PP No. 26/2023.
ADVERTISEMENT
Zechou Bai dkk dalam tulisannya berjudul "Land Subsidence in the Singapore Coastal Area with Long Time Series of TerraSAR-X SAR Data" (2023), menyebut dengan kembali dibukanya keran ekspor pasir laut, akan sangat memungkinkan apabila Singapura kembali menjadi pasar bagi Indonesia.
Terlebih lagi, proses reklamasi Singapura masih terus berlangsung karena negara ini merupakan negara kepulauan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 15 meter yang sangat rentan terhadap dampak kenaikan permukaan laut di masa depan.
Sementara I Made Andi Arsana dalam tulisannya di Kompas, menyebut perluasan wilayah Singapura lewat reklamasi berpotensi akan memperluas zona laut teritorialnya. Meskipun sudah memiliki perjanjian delimitasi batas maritim, belum ada penetapan Three Junction Point atau titik temu tiga di ujung sebelah barat dan timur yang melibatkan Indonesia, Singapura dan Malaysia.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, Arsana menyimpulkan bahwa Indonesia belum sepenuhnya menuntaskan kejelasan batas maritim dengan Singapura. Bisa dibilang, penetapan kebijakan ekspor pasir laut ini mencerminkan keengganan pemerintah untuk belajar dari kesalahan yang berpotensi mengulang kembali sejarah ancaman keamanan kedaulatan Indonesia.
Ilustrasi tambang pasir laut. Foto: Shutterstock
Lebih lanjut, sebagaimana dikutip dari laman Setneg RI, kebijakan ekspor pasir laut juga merefleksikan inkonsistensi pemerintah mengenai rencananya hendak berfokus pada hilirisasi industri yang menghasilkan keuntungan lebih besar dibanding mengkomersialisasikan tanah serta sumber daya alam tanpa nilai tambah.
Mengutip CNN Indonesia dalam artikel berjudul "Anak Buah Sri Mulyani Ikut Komentar Soal Jokowi Buka Ekspor Pasir Laut" (2023), Kementerian Keuangan Republik Indonesia telah mengkalkulasi dan mengungkapkan bahwa ekspor pasir laut selama ini tidak memberikan keuntungan signifikan bagi pendapatan nasional.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, reaktivasi kebijakan ekspor pasir laut sangat patut untuk dipertanyakan. Mengingat, pemerintah sesungguhnya tidak kekurangan opsi-opsi sumber daya alam bernilai tinggi yang dapat dimaksimalkan sebagai komoditas ekspor, terutama komoditas ekspor perikanan.
Meskipun pemerintah mengeklaim kebijakan ini berimplikasi positif bagi pembangunan nasional serta mendukung reklamasi dalam negeri, pembangunan infrastruktur, dan sarana usaha serta ekspor yang menguntungkan ekonomi, namun keuntungan tersebut tidak akan sebanding dengan biaya lingkungan hidup yang harus dikorbankan. Industri tambang pasir laut sangat membahayakan ekosistem laut.
Berdasarkan temuan sebuah penelitian yang dilakukan A Kurniawati dkk berjudul "The Effect of Sea Sand Mining on Fishermen’s Rights" 2021, ditemukan bahwa aktivitas penambangan pasir laut menyebabkan air laut menjadi keruh, kerusakan terumbu karang, menambah kedalaman laut, mempertinggi dan memperbesar ombak laut.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, data Ocean Health Index (OHI) Indonesia berada di peringkat 181 dari 220 negara dengan skor 63 pada 2022. Sedangkan skor rata-rata global adalah 69. Artinya, kesehatan laut Indonesia masih berada di bawah standar global. Izin penambangan pasir laut tentu akan berimplikasi pada semakin buruknya kualitas kesehatan bahari Indonesia.
Ilustrasi kerusuhan sosial di daerah pantai (Foto: Fadel Senna/AFP/Getty Images)
Selain merusak lingkungan, implementasi kebijakan ini dapat menambah daftar panjang konfrontasi sosial. Tambang pasir laut di Indonesia telah menimbulkan banyak sekali konflik vertikal antara masyarakat dengan para pemangku kepentingan maupun konflik horizontal antar masyarakat.
Seperti yang terjadi di Lampung, Makassar, Deli Serdang, Yogyakarta, Takalar, hingga Kepulauan Riau. Pada kasus-kasus tersebut, masyarakat pesisir yang umumnya berprofesi sebagai nelayan tradisional terpaksa harus kehilangan fishing ground atau area tangkapan akibat penambangan pasir. Air laut berubah menjadi keruh sehingga mengganggu visibilitas ikan di dalam air.
ADVERTISEMENT
Selain itu, tambang juga menyebabkan abrasi yang berimbas pada kerusakan pemukiman warga pesisir. Tidak sedikit di antara mereka harus berpindah ke pemukiman baru. Mirisnya lagi, mereka juga tidak mendapatkan kompensasi yang layak atas kerugian yang mereka alami.
Berdasarkan uraian argumentasi di atas, kesimpulannya adalah kebijakan izin tambang dan ekspor pasir laut sebagaimana tertuang dalam PP No. 26/2023 lebih mengutamakan keuntungan ekonomi jangka pendek alih-alih berpihak pada pelestarian ekosistem laut yang memiliki arti penting bagi bangsa.
Mengutip Mans Nilsson dan Nina Witz melalui tulisannya berjudul "Governing Trade-Offs and Building Coherence in Policy-Making for the 2030 Agenda" 2019, mengeruk pasir laut sama artinya dengan merusak media pemenuhan kebutuhan masyarakat dan melemahkan alat pertahanan kedaulatan negara.
ADVERTISEMENT
Tidak dapat dimungkiri, pemerintah akan selalu dihadapkan dengan kondisi trade-off yang dilematis dalam proses pengambilan keputusan. Juga sulit untuk menemukan titik tengah guna mengakomodir kepentingan seluruh pihak dalam kebijakan pembangunan, atau menyelaraskan tujuan ekonomi dengan kepentingan sosio-ekologis.
Akan tetapi, seyogyanya pemerintah harus menempatkan kepentingan sosio-ekologis pada skala prioritas tertinggi dibanding tujuan ekonomi yang tidak terlalu menguntungkan masyarakat. Dari studi kasus ini pula, dapat dipahami bahwa kebijakan pembangunan semestinya tidak hanya menimbang soal untung-rugi, namun harus berorientasi pada baik buruknya proses. Kebijakan dan proses pembangunan yang baik pasti akan melahirkan dampak yang baik pula. Begitupun sebaliknya.