Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Generasi Z dan Efek Misinformasi: Memahami Pengaruh dan Langkah Mitigasi
4 Agustus 2024 17:56 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Annisa Rahma Lila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Di era digital yang serba instan ini, media sosial telah menjadi platform utama bagi setiap kalangan dalam berkomunikasi dan pertukaran informasi. Termasuk generasi Z yang merupakan kalangan yang tumbuh bersama dengan teknologi dan media sosial. Keberadaan media sosial bukan hanya memberikan kemudahan dalam akses informasi, namun juga melahirkan tantangan besar berupa misinformasi.
ADVERTISEMENT
Misinformasi itu adalah informasi yang salah atau menyesatkan, dapat mempengaruhi opini (opinion) , sikap (attitude), dan perilaku (behaviour) Generasi Z secara yang signifikan (Hasyim, 2023). Dalam artikel ini akan membahas bagaimana pengaruh Misinformasi di media sosial terhadap opini Generasi Z, faktor penyebabnya, dan langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengatasinya.
ADVERTISEMENT
A. Memahami Misinformasi di Media Sosial
Misinformasi di media sosial adalah penyebaran informasi yang tidak akurat atau tidak benar, yang sering kali disebarkan secara luas tanpa verifikasi. Berbeda dengan disinformasi, yang sengaja dibuat untuk menipu atau memanipulasi, misinformasi sering kali disebarkan tanpa niat jahat tetapi tetap menyesatkan (Akbar & Fahlevvi, 2023). Generasi Z, yang dikenal sebagai digital natives (lahir dan tumbuh di era digital), memiliki akses yang luas terhadap informasi melalui platform-platform seperti Instagram, TikTok, X, dan YouTube. Sayangnya, memiliki ketergantungan pada media sosial tersebut sebagai sumber informasi yang membuat mereka sangat rentan terhadap penyebaran misinformasi.
B. Dampak Misinformasi terhadap Opini dan Perilaku Generasi Z
Generasi Z cenderung membuat opini mereka berdasarkan informasi yang mereka terima melalui media online. Misinformasi yang disebarkan melalui platform media sosial ini dapat berpengaruh ke pandangan mereka mengenai berbagai isu, mulai dari kesehatan hingga politik. Misalkan, berita palsu mengenai vaksinasi dapat membuat sebagian besar orang tua di Generasi Z enggan untuk memberikan vaksin kepada anak-anak mereka, meskipun bukti ilmiah menunjukkan bahwa vaksinasi efisien dan aman (Pennycook & Rand, 2020).
ADVERTISEMENT
Penelitian menunjukkan bahwa misinformasi yang menyebar ini secara luas dapat membentuk pandangan yang salah dan mempengaruhi pemikiran masyarakat secara luas. Sebagai contoh, berita palsu tentang efek samping vaksin yang berlebihan dapat membuat Generasi Z lebih skeptis terhadap vaksinasi dan memilih untuk tidak melakukannya. Padahal secara ilmiah sudah terbukti dapat digunakan secara efektif.
Misinformasi juga dapat memperdalam polarisasi sosial dengan memperkuat pandangan ekstrim. Generasi Z sering terhubung dalam kelompok online yang memiliki pandangan serupa, yang bisa memperkuat echo chamber—lingkungan di mana informasi yang disebarluaskan hanya menguatkan pandangan mereka sendiri (Barberá, 2015). Echo chamber ini berpengaruh buruk bagi polarisasi sosial, sebab setiap kelompok menjadi semakin ekstrim dalam pandangannya.
ADVERTISEMENT
Contoh nyata dari fenomena ini adalah peran media sosial dalam penyebaran ekstremisme.
Seperti kelompok radikal menggunakan media sosial untuk merekrut anggota baru, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda, dengan menyebarkan propaganda dan informasi yang salah (Sucahyo, 2021). Generasi Z yang terpapar informasi ekstrim dapat terpengaruh untuk mengadopsi pandangan ekstrim atau bergabung dengan kelompok yang memiliki ideologi radikal. seperti pada kasus belum lama ini mengenai tertangkap seorang anak muda 19 tahun yang diduga teroris karena berencana melakukan aksi bom bunuh diri di dua buah rumah ibadah (KumparanNEWS, 2024)
Ketika Generasi Z terpapar pada misinformasi yang luas, kepercayaan mereka terhadap media tradisional dan institusi juga dapat menurun. Misinformasi yang terus-menerus menyebar dapat membuat mereka meragukan kredibilitas sumber informasi yang valid seperti media arus utama, pemerintah, dan lembaga kesehatan. Adanya Penurunan kepercayaan ini akibat kurangnya transparansi pemerintah, peraturan yang cepat berubah, isu politik dengan kontroversi serta peningkatan skeptisisme terhadap kebijakan publik (Putra, 2017).
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, pada saat pandemi COVID-19, terdapat banyak informasi salah mengenai virus dan vaksin yang beredar di media sosial, sehingga membuat banyak orang, termasuk Generasi Z, meragukan usulan dari otoritas kesehatan dan pemerintah. Adanya penurunan kepercayaan ini dapat menghambat upaya pemerintah dalam mengatasi krisis kesehatan masyarakat (Pennycook & Rand, 2020).
C. Faktor Penyebab Misinformasi di Media Sosial
Algoritma media sosial memainkan peran besar dalam penyebaran misinformasi. Platform-platform seperti Facebook, Instagram, dan TikTok menggunakan algoritma untuk menentukan jenis konten yang ditampilkan kepada pengguna berdasarkan interaksi mereka sebelumnya, seperti likes, shares, dan komentar. Namun Konten yang menimbulkan emosi kuat, seperti kemarahan atau ketakutan, sering kali mendapatkan lebih banyak perhatian dan lebih cepat viral, terlepas dari kebenarannya (Gorwa, 2019).
ADVERTISEMENT
Algoritma ini tidak mempertimbangkan keakuratan informasi; mereka hanya berfokus pada keterlibatan pengguna. Sehingga hasilnya, informasi yang tidak berkredibel dan sensasional dapat menyebar lebih cepat secara luas daripada informasi yang kredibel tetapi kurang menarik (Vosoughi, Roy, & Aral, 2018).
Banyak anggota Generasi Z yang belum memiliki keterampilan literasi media yang memadai. Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk memverifikasi informasi, memahami kebiasan media, dan mengenali berita palsu. Kurangnya keterampilan ini membuat mereka lebih rentan terhadap misinformasi. Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan literasi media yang buruk dapat memperburuk kerentanan terhadap informasi yang salah (Mihailidis & Viotty, 2017).
Ini membuat banyak generasi muda yang tidak terbiasa dengan teknik verifikasi sederhana, seperti memeriksa sumber berita atau menggunakan alat fact-checking, sehingga mereka sering kali menerima informasi tanpa melakukan pemeriksaan kredibilitas dan melakukan verifikasi terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
Selain itu terdapat aktor terorganisir, termasuk negara dan kelompok dengan agenda tertentu, yang secara sengaja menyebarkan misinformasi untuk mempengaruhi opini publik dan memanipulasi hasil politik. Misalnya, intervensi Rusia dalam pemilihan presiden AS 2016 menggunakan media sosial untuk menyebarkan propaganda dan berita palsu dengan tujuan memecah belah pemilih dan mempengaruhi hasil pemilihan (Mueller, 2019).
Kelompok-kelompok ini sering kali menargetkan kaum muda, termasuk Generasi Z, dengan informasi yang dirancang untuk mempengaruhi pandangan politik mereka atau meningkatkan polarisasi sosial.
D. Langkah-Langkah Mengatasi Misinformasi untuk Generasi Z
Perlunya meningkatkan literasi media di kalangan Generasi Z , merupakan langkah kunci dalam mengatasi misinformasi. Pendidikan literasi media ini harus mencakup keterampilan dalam memverifikasi informasi, memahami kredibilitas sumber berita, dan mengenali bias. Perlunya Program pendidikan yang dirancang untuk mengajarkan keterampilan ini sejak dini agar dapat membantu Generasi Z menjadi konsumen informasi yang lebih kritis.
ADVERTISEMENT
Inisiatif pendidikan dapat melibatkan sekolah, universitas, dan organisasi non-profit yang berfokus pada literasi media. Pelatihan ini perlu mencakup teknik untuk memeriksa keakuratan informasi, memahami cara kerja algoritma media sosial, dan mengenali berbagai bentuk misinformasi.
Teknologi dapat berperan penting dalam memerangi misinformasi. Penggunaan alat dan aplikasi verifikasi fakta yang dapat membantu Generasi Z memeriksa kebenaran informasi secara cepat dapat mengurangi dampak misinformasi. Platform media sosial juga dapat mengimplementasikan sistem yang lebih baik untuk menandai dan mengurangi penyebaran informasi palsu
Contoh alat verifikasi fakta yang berguna termasuk Snopes, FactCheck.org, dan layanan fact-checking yang ditawarkan oleh platform media sosial itu sendiri. Terintegrasi fitur-fitur ini ke dalam aplikasi media sosial yang dapat membantu pengguna untuk lebih mudah mengidentifikasi informasi yang salah.
ADVERTISEMENT
Platform media sosial juga harus secara aktif menangani penyebaran misinformasi. Ini termasuk peningkatan transparansi algoritma, penghapusan akun-akun yang menyebarkan misinformasi, dan kolaborasi dengan organisasi fact-checking untuk memastikan informasi yang tersebar luas memiliki kredibilitas yang akurat. Upaya ini juga harus diimbangi dengan kebijakan yang melindungi kebebasan berekspresi sambil mengurangi dampak negatif misinformasi.
Beberapa langkah pasti ini dapat diambil oleh platform media sosial termasuk menandai informasi yang salah, membatasi jangkauan konten yang tidak sesuai benarnya, dan memberikan informasi yang akurat untuk melawan misinformasi. Selain itu, platform sosial juga perlu bekerja sama dengan akademisi dan peneliti untuk mengembangkan strategi yang efektif dalam mengatasi penyebaran misinformasi.
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa misinformasi pada media sosial memiliki dampak signifikan terhadap Generasi Z, yang mempengaruhi cara mereka membentuk opini dan membuat keputusan. Serta dampak tersebut termasuk pembentukan opini yang salah, polarisasi sosial, dan penurunan kepercayaan terhadap media dan institusi. Sehingga dalam mengatasi masalah ini diperlukan upaya gabungan dari pendidikan literasi media, penggunaan teknologi untuk verifikasi, dan keterlibatan aktif dari platform media sosial.
ADVERTISEMENT
Generasi Z, merupakan kalangan yang paling terpapar oleh media sosial, jadi mereka membutuhkan dukungan dan sumber daya untuk mengembangkan keterampilan kritis yang diperlukan untuk mengevaluasi informasi secara akurat. Dengan langkah-langkah yang tepat, kita harap Generasi Z dapat menjadi konsumen informasi yang lebih cerdas dan mengurangi dampak negatif dari misinformasi.
Daftar Referensi:
Akbar, M. I., & Fahlevvi, M. R. (2023). Cegah penyebaran misinformasi di media sosial menggunakan peralatan dan fitur literasi digital. RENATA: Jurnal Pengabdian Masyarakat Kita Semua, 17.
Barberá, P., Jost, J. T., Nagler, J., Tucker, J. A., & Bonneau, R. (2015). Tweeting From Left to Right: Is Online Political Communication More Than an Echo Chamber? Psychological Science, 26(10), 1531-1542. Tweeting From Left to Right: Is Online Political Communication More Than an Echo Chamber? - Pablo Barberá, John T. Jost, Jonathan Nagler, Joshua A. Tucker, Richard Bonneau, 2015 (sagepub.com)
ADVERTISEMENT
Gorwa, R. (2019). What is platform governance? Information, Communication & Society, 22(6), 854–871. https://doi.org/10.1080/1369118X.2019.1573914
Hasyim, M. A. (2023). Komunikasi penyuluhan & pembangunan keluarga (hal.167). AE Publishing.
KumparanNews. (2024). Densus: Terduga Teroris di Batu Malang Lone Wolf, Rakit Bom Pakai Uang Tabungan. Diakses pada 3 Agustus 2024, dari
Moch, Putera. (2017). Peningkatan Kepercayaan Publik melalui Partisipasi Pemerintah. Universitas Airlangga,12(2), 1-9.
Mueller, R. (2019). Report on the Investigation into Russian Interference in the 2016 Presidential Election. U.S. Department of Justice. Diakses pada 3 Agustus 2024 dari
ADVERTISEMENT
Pennycook, G., & Rand, D. G. (2020). Fighting COVID-19 misinformation on social media: Experimental evidence for a scalable accuracy-nudge intervention. Proceedings of the National Academy of Sciences, 117(48), 3008-3018. Diakses pada 3 Agustus 2024 dari
Soroush Vosoughi et al.,The spread of true and false news online.Science 359,1146-1151(2018).DOI:10.1126/science.aap9559