Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
AI Ibarat Pisau Bermata Dua, Peluang Besar atau Ancaman Serius?
20 Oktober 2024 3:42 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Antonius Satria Hadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Artificial Intelligence (AI) seperti pisau bermata dua, bisa menggantikan posisi manusia dalam beberapa bidang. Namun di sisi lain, AI juga bisa meningkatkan produktivitas yang sangat signifikan di berbagai sektor. AI juga bukan sekadar bagian dari evolusi dari sebuah teknologi, melainkan merupakan revolusi yang mengubah cara manusia berpikir dan bekerja. Demikian disampaikan oleh Rektor Universitas Widya Mataram (UWM) Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec. ketika menjadi keynote speaker dalam Seminar Nasional dengan tema “Artificial Intelligence (AI): Perspektif Hukum di Indonesia” pada Sabtu (19/10) di Forriz Hotel Yogyakarta yang diadakan oleh Fakultas Hukum (FH) UWM. Acara yang diikuti oleh sekitar 70 peserta ini juga menghadirkan beberapa narasumber seperti Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi (FIPP) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Dr. Shely Cathrin, M.Phil., Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Dr. Mahrus Ali, S.H., M.H., dan Dosen FH UWM Dr. Roni Sulistyanto Luhukay, S.H., M.H.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Prof Edy menegaskan, "AI ini bukan lagi evolusi, tapi revolusi, bahkan revolusi berpikir. Teknologi ini memaksa kita memikirkan dan melakukan sesuatu yang belum pernah dibayangkan sebelumnya". Meskipun demikian, Prof. Edy mengingatkan bahwa di balik efisiensi yang ditawarkan oleh AI, ada dampak yang cukup menakutkan, termasuk potensi menghilangkan banyak lapangan kerja dalam revolusi industri 5.0, sebagaimana diprediksi oleh McKinsey Global Survey.
Namun, Prof. Edy juga menyampaikan bahwa manusia harus tetap optimis meskipun ada kekhawatiran terkait hilangnya lapangan kerja. "Setiap kali terjadi revolusi industri, teknologi canggih selalu muncul. Tetapi bersamaan dengan itu, kesempatan kerja baru yang lebih banyak juga diciptakan. Ini yang harus kita sadari sebagai peluang," ungkapnya. Menurutnya, dinamika perubahan teknologi saat ini begitu cepat, dan Indonesia sebagai negara dengan 79,50% penduduk yang memanfaatkan teknologi internet harus bisa mempersiapkan diri. "Jika kita tidak mampu memanfaatkan AI, daya saing kita akan menurun. AI ini ibarat pisau bermata dua, bisa mencederai, tapi juga bisa memberikan banyak manfaat jika dikelola dengan baik," tegas Mantan Ketua Forum Rektor Indonesia ini.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, kesiapan Indonesia dalam mengadopsi AI masih menghadapi tantangan besar. Menurut Global AI Index 2024 yang dirilis oleh Tortoise Media, Indonesia berada di peringkat 49 dari 73 negara dalam hal implementasi, inovasi, dan investasi di bidang AI. Ini menjadi sinyal bahwa Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mengejar ketertinggalan di bidang teknologi dan memastikan bahwa infrastruktur pendukung AI tersedia dan berkembang. “Tantangan utama kita terletak pada sektor teknologi yang masih tertinggal, dengan skor rendah dalam indeks kesiapan AI,” tambah Prof. Edy.
Dalam konteks ekonomi, Prof. Edy juga menyoroti potensi deflasi yang dapat terjadi akibat peningkatan efisiensi yang didorong oleh AI. "AI memiliki potensi menciptakan efisiensi besar-besaran yang bisa mempengaruhi dinamika ekonomi, termasuk menciptakan deflasi di beberapa sektor," tambahnya. Menurutnya, hanya mereka yang dinamis dan tidak pernah berhenti belajar yang akan bisa memanfaatkan AI dengan optimal. "Ilmu pengetahuan terus berkembang, apa yang kita tahu hari ini mungkin akan usang besok, maka dari itu kita harus terus belajar untuk menghadapi perubahan ini," ujar Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah ini.
ADVERTISEMENT
Seminar ini juga menyoroti pentingnya stabilitas nasional dalam menghadapi tantangan era AI. Berita bohong dan narasi provokatif yang dihasilkan oleh teknologi AI berpotensi merusak tatanan sosial Indonesia. Oleh karena itu, hukum di Indonesia perlu diperkuat dan disesuaikan dengan perkembangan teknologi.
Prof. Edy menekankan bahwa kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat menjadi kunci untuk memastikan bahwa AI digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan, bukan merusak tatanan sosial. “Dengan regulasi yang adaptif dan kolaboratif, kita bisa memastikan bahwa Indonesia siap menghadapi era AI dan mengantisipasi dampak negatifnya, seperti penyebaran hoax dan pelanggaran hak-hak digital,” tutupnya.
Sementara itu para narasumber lainnya seperti Dr. Shely membahas tentang problematika era AI terhadap dunia pendidikan, Dr. Mahrus membahas tentang problematika era AI terkait digital deepfake dalam perspektif pidana, dan Dr. Roni yang membahas tentang perlindungan hukum terhadap clickwrap agreement dalam hukum di Indonesia.