Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Made in Colonialism: 'Garis Lurus' Teritorial Indonesia-Papua Nugini
9 Oktober 2023 7:25 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Anugrah Wejai tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hanya sedikit orang yang bertanya-tanya mengapa garis perbatasan antara Indonesia dan Papua Nugini (PNG) nyaris “tegak lurus”. Sebuah garis yang sampai hari ini menjadi status quo atas dua teritori nasional yang berbeda yaitu Indonesia dan PNG, namun hidup dalam satu struktur antropologi yang sama sebagai ras Melanesia. Dengan luas wilayah 786.000 kilometer persegi yang merupakan habitat kaya secara natural, Indonesia dan PNG memiliki cadangan sumber daya yang signifikan sebagai aset pengelolaan negara.
ADVERTISEMENT
Penguasaan kekuasaan dan sumber daya di wilayah antara Indonesia dan Papua Nugini tidak terhindar dari sejarah perbatasan yang membagi pulau tersebut menjadi dua negara berdaulat. Hal ini menjadi lebih serius ketika minimnya arsip penelitian yang menjelaskan latar belakang penentuan tapal batas tersebut.
Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi mengenai evolusi batas yang ditentukan dari kondisi pra-kolonial New Guinea, kolonialisme Belanda di Hindia Timur dan diplomasi Indonesia-Australia mengenai pengaturan perbatasan yang berlaku hingga saat ini.
Sejarah Penemuan New Guinea
Nenek moyang pribumi Papua adalah orang Austronesia yang berlayar ke Pulau Papua 4.000 hingga 5.000 tahun yang lalu (Mealey, 1999). Kedatangan mereka ditandai dengan adanya organisasi sosial yang kuat dan keakraban dengan teknologi tinggi (senjata dan alat pertanian). Kelompok Austronesia ini tidak menembus daratan Papua melainkan menyebar dan bermukim di pesisir pantai dan pulau-pulau bagian utara.
ADVERTISEMENT
Segera setelah kedatangan orang Eropa pertama, Kerajaan Tidore mengeklaim New Guinea bagian barat sebagai wilayahnya (Mealey, 1999). Pada abad ke-16, Gubernur Portugis di Maluku, Jorge de Meneses, pertama kali menginjakkan kaki di semenanjung barat New Guinea, atau Kepala Burung. Meneses adalah orang Eropa pertama yang memberi nama New Guinea “Ilha dos Papuas” – kata “Papua” diyakini berasal dari bahasa Melayu Kuno, namun kemungkinan besar berasal dari Maluku (Mealey, 1999).
Pada tahun 1545, seorang kapten Spanyol bernama Ynigo Ortiz de Retes berlayar melintasi pulau tersebut dan menamakannya Nueva Guinea atau New Guinea (Sekarang adalah Papua), karena diyakini penduduknya berasal dari Afrika (Mealey, 1999). Sejak pelayaran Meneses dan Ortiz ke New Guinea, kedatangan para navigator Eropa mulai dianggap penting di pulau tersebut.
ADVERTISEMENT
Antara abad ke-18 dan ke-19, terdapat beberapa nama besar seperti William Dampier (1700), Louis Antoine de Bougainville (1768), James Cook (1770) dan Dumont D'Urville (1827) (Mealey, 1999). Sejak pendudukan Belanda di Hindia Belanda pada tahun 1816, keberadaan New Guinea ternyata tidak memiliki daya tawar yang kuat terhadap proyek kolonial. Namun, pihak Belanda mendapat tekanan mengenai rencana ekspansi Inggris dari pantai utara Australia pada awal tahun 1820-an dan menetap di New Guinea (Bryuns, 2019).
Belanda aktif melakukan tindakan terselubung yang bertujuan untuk meminimalisir ekspansi Inggris, termasuk membentuk kelompok eksplorasi “Natural History Committee of the Dutch Indies” yang bertugas menyelidiki alam sekaligus menabur benih kolonialisme di New Guinea (Bryuns, 2019). Belanda membangun pos militer dan kolonial di New Guinea, khususnya di wilayah pesisir.
ADVERTISEMENT
Faktanya, situasi ini bersifat paradoks karena Papua sangat asing bagi kedua koloni tersebut, namun diperjuangkan oleh kedua koloni sekaligus. Secara khusus, strategi intelijen dan militer koloni Belanda di New Guinea menjadi penting dalam hal-hal yang berkaitan dengan batas wilayah kolonial. Perbatasan merupakan simbol penting pembagian kekuasaan kolonial, sekalipun ditentukan oleh perang. Situasi penentuan perbatasan tidak terlepas dari konsesi koloni-koloni raksasa.
Implikasi Kolonialitas dalam Evolusi Perbatasan
“Tidak ada makan siang gratis” merupakan sebuah pepatah dalam hubungan internasional yang menyiratkan adanya hubungan resiprokal antara dua entitas. Dalam banyak kasus, kolonialisme berkontribusi pada penyebaran agama Kristen di wilayah kolonial, seperti di Afrika. Peristiwa perbatasan New Guinea pada hakikatnya merupakan produk kolonialisme Belanda dan Inggris, bukan hasil interaksi antar masyarakat adat.
ADVERTISEMENT
Perluasan kolonialisme hingga perubahan batas wilayah New Guinea melibatkan Inggris dan Belanda dalam jangka waktu negosiasi yang panjang. Awalnya Belanda secara sepihak mendeklarasikan wilayah New Guinea pada tanggal 24 Agustus 1828 untuk pertama kalinya setelah mengetahui rencana Inggris untuk memperluas wilayah jajahannya dari pantai utara Australia (Veur, 1966; Mangku, 2018).
Belanda mengklaim wilayah di bagian barat New Guinea, sementara Inggris dan Jerman memperoleh koloni masing-masing di bagian timur New Guinea pada tahun 1884. Wujud klaim kolonialisme mereka adalah penjajaran batas sepihak oleh Belanda dengan pembagian berupa garis lurus yang memotong sisi timur dan barat New Guinea.
Klaim kolonialisme yang ditandai melalui pemotongan perbatasan berdampak kepada evolusi perbatasan itu sendiri. Model pengukuran yang digunakan sebagai alat untuk menentukan batas dalam perundingan antara Inggris dan Belanda adalah pembagian berdasarkan garis meridian.
ADVERTISEMENT
Untuk memetakan perkembangan perbatasan, dua periode dianggap memberikan kontribusi signifikan: tahun 1800-an dan pasca-1910-an. Klaim Belanda atas New Guinea pada tahun 1828 menetapkan wilayahnya dari meridian ke-141 di pantai selatan hingga barat laut dan utara New Guinea. Batasan ini semakin diperjelas pada tahun 1848 karena penekanan Inggris pada wilayah New Guinea.
Hal ini menunjukkan bahwa Belanda berinisiatif menjajah New Guinea, sedangkan Inggris dan Jerman mulai fokus pada kelangsungan wilayah yang diciptakan Belanda. Negosiasi antar koloni berlanjut mengenai wilayah yang belum pernah mereka sentuh sebelumnya.
Perjanjian antara Inggris, Belanda dan Jerman ditandatangani pada tanggal 20 Juli 1895, menghasilkan konsesi yang menurutnya pembagian wilayah didasarkan pada pemotongan garis lurus dari Sungai Fly—pada peta, sungai tersebut membentuk cekungan kecil di selatan Papua—(sekarang Provinsi Papua Selatan) hingga pesisir utara Papua (pantai Jayapura) (Mangku, 2018).
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1901, ketika Australia dinyatakan sebagai bagian dari Persemakmuran Inggris, wilayah timur New Guinea menjadi wilayah kekuasaan negara tersebut. Persoalan perbatasan kembali ditekankan oleh pemerintah Australia dengan mengirimkan surveyor untuk menyelidiki pedalaman New Guinea guna mengkonsolidasikan dan memperjelas perjanjian sebelumnya.
Suar batas menggunakan metode meridian yang mengharuskan lokasi suar ditempatkan pada medan area tersebut. Dari tahun 1928 hingga 1960, misi survei dari Belanda dan Australia menempatkan 14 suar batas di sepanjang perbatasan (Purwanto et al., 2017). Letak lokasi perbatasan diakui oleh kedua negara tanpa adanya campur tangan masyarakat lokal mengenai pembagian wilayah.
Kondisi perbatasan di New Guinea pada tahun 1800an dan setelah tahun 1900 merupakan tatanan kolonialis tanpa perwakilan lokal disertai dengan tidak adanya oposisi. Implikasi kolonialisme dalam mengubah batas wilayah New Guinea berpengaruh penuh pada kehidupan penduduk pulau tersebut.
ADVERTISEMENT
Kesepakatan wilayah kolonialisme tersebut memiliki konsekuensi geopolitik terhadap perbatasan benua antara Asia dan Oseania; Perbatasan darat Papua bagian timur (sekarang PNG) berada di Oseania, sedangkan West Papua atau Papua Barat (sekarang Provinsi Papua) adalah bagian dari Asia (Jacobs, 2012).
Perjanjian Modern Perbatasan Pascakolonialisme
Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 juga menandai dekolonisasi Papua Barat—sebutan untuk Hindia Timur—dari kekuasaan Belanda. Perdebatan klaim Belanda dan Indonesia atas wilayah Papua Barat berakhir di peristiwa Pepera tanggal 14 Juli 1969 yang menghasilkan mufakat integrasi Papua Barat ke dalam kedaulatan Indonesia.
Faktanya, Australia masih mempunyai kedaulatan atas wilayah New Guinea, sehingga perundingan perbatasan pasca Pepera terus berlanjut dengan pergantian aktor yaitu Indonesia dan Australia. Surveyor kembali diberangkatkan untuk keperluan penetapan batas yang terletak di Sungai Fly. Hasilnya diumumkan pada acara penandatanganan Perjanjian Bilateral Indonesia-Australia (mewakili PNG) pada tanggal 13 Februari 1973 (Mangku, 2018).
ADVERTISEMENT
Perjanjian tersebut memuat ketentuan terkait pengelolaan perbatasan dan meratifikasi alokasi 14 pilar meridian atau suar penanda di sepanjang perbatasan. Dalam kasus penataan perbatasan modern ini, nampaknya konsesi perbatasan diterima begitu saja sebagai produk kolonialisme masa lalu dan upaya penegasannya diperkuat oleh kedua negara, dengan mengecualikan pembahasan de-teritorialisasi status quo perbatasan.
Kelanjutan perjanjian tahun 1973 mempunyai arti penting bilateral bagi kedua kedaulatan di pulau tunggal ini. Tiga tahun setelah Perjanjian 1973, pada 16 September 1975, Papua Nugini resmi merdeka dan mulai menata pemerintahannya. Salah satu kebutuhan mendesak PNG saat itu adalah menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia, khususnya isu penguatan pengelolaan perbatasan.
Namun persoalan perbatasan Indonesia-PNG justru melibatkan Australia dalam perjanjian perbatasan. Perjanjian Indonesia dan Australia tentang wilayah perbatasan Indonesia-PNG mencakup ketentuan yang mengatur Batas Daratan dan Batas Laut, Keprotokolan Batas Dasar Laut, Batas-Batas tertentu antara Indonesia-PNG, MoU Indonesia-PNG tentang Pengaturan Administrasi Perbatasan (Mangku, 2018).
ADVERTISEMENT
Perjanjian modern pasca-kolonial secara de facto melegitimasi perbatasan yang dibuat selama masa kolonial, memperkuat dan mengubah perjanjian bilateral yang mengalihkan kekuasaan dari Belanda ke Indonesia dan dari Kerajaan Inggris ke Australia. Dalam konteks ini, PNG tidak terlibat langsung dalam demarkasi, yang selalu ditampilkan dengan kehadiran Australia sebagai perwakilannya. Keterlibatan PNG menjadi semakin penting setelah kemerdekaan melalui penguatan perjanjian perbatasan yang telah ditandatangani sebelumnya.
Border: Made in Colonialism
Perbatasan, tapal batas dan teritorial merupakan ciptaan manusia yang didasarkan pada berbagai tardisi dan etika. Sulit menemukan hukum alam yang memuat secara pasti batas-batas teritorial suatu negara-bangsa. Proses ini terjadi secara organik karena kepentingan politik negara-bangsa.
Melihat kembali pengalaman sejarah perbatasan Indonesia-PNG, setidaknya garis “tegak lurus” tidak terjadi dalam semalam. Pengorbanan dan kehidupan penduduk pribumi seringkali menjamin hal ini. Kawasan perbatasan Papua memiliki banyak sumber daya yang belum tereksplorasi, dan kondisi medan yang ekstrem serta terisolasi menjadi alasan khusus mengapa batas pulau harus segera ditentukan.
ADVERTISEMENT
Namun, ada dua hal yang perlu direnungkan tentang sejarah perbatasan ini. Pertama, terciptanya perbatasan antara Indonesia-PNG tidak dapat dipisahkan—bahkan secara historis terkait—dengan peran kolonialisme Belanda, Inggris, dan Jerman. Garis yang membela lurus Pulau Papua merupakan metode meridian yang menjadi legasi otentik bangsa Barat.
Kedua, perbatasan Indonesia-PNG merupakan batas geopolitik benua Asia dan Oseania. Terakhir, isu perbatasan Indonesia-PNG saat ini sangat penting dalam kaitannya dengan aktivitas transnasional tradisional dan ilegal, sehingga menimbulkan tantangan baru bagi hubungan diplomatik antara kedua negara.
Realitas dan tantangan yang terjadi di perbatasan telah menjadi bagian dari komitmen Indonesia dan PNG untuk mendorong dan mengembangkan kondisi perbatasan yang lebih kondusif.