Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
The World System: Hegemoni sebagai Syarat Kapitalisme
1 Juni 2023 5:52 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Anugrah Wejai tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menjadi bentuk kesederhanaan umum bagi kalangan awam untuk mengenal politik internasional sebagai relasi asimetris antara negara “maju” dan negara “berkembang” atau “miskin”.
ADVERTISEMENT
Dalam disiplin hubungan internasional, kondisi ini dikonseptualisasikan baik melalui hubungan core-periphery yang termaktub dalam World System Theory yang digagas oleh Immanuel Wallerstein.
Tema sentral pendekatan World System adalah hierarki kekuasaan antara core dan periphery di mana negara inti mendominasi negara pinggiran yang konotasinya lemah dan miskin.
Situasi tersebut memainkan skenario ketergantungan antara periphery ke core, yang berimplikasi pada ketidakmandirian negara mengejar visi pembangunannya, dan secara implisit kondisi ini menguntungkan core.
Karena itu menguntungkan di satu sisi—negara maju (core)—dan merugikan di sisi lain—negara miskin (periphery)—ketergantungan ini telah memicu variabel lain yaitu eksploitasi.
World System memiliki kemiripan dengan gagasan “akumulasi modal” Marxisme. Akan tetapi Wallerstein menekankan pada akumulasi modal sebagai proses sistemik atau dunia, sementara Marx melihatnya sebagai rangkaian paralel proses nasional (Burhanuddin, 2015).
ADVERTISEMENT
Eksploitasi yang berlangsung di sistem internasional dicirikan melalui proses sistemik yang digambarkan sebagai transaksi perdagangan yang tidak seimbang dan di dominasi oleh core dalam prosesnya. Eksploitasi yang terjadi secara ekonomi selalu beririsan dengan konsepsi kapitalisme.
Ketergantungan memang memancing eksploitasi, namun sebaiknya kita mengenalnya sebagai kapitalisme. Banyak perspektif menuliskan kecenderungan kapitalisme memusatkan kekayaannya pada negara inti yang sebaliknya memusatkan juga kemiskinan di negara pinggiran (Laitin, 1982).
Konsekuensi ekonomi-politik dari konsentrasi kekayaan di core (variabel sistemik) dan kemiskinan di periphery (variabel tingkat negara), sebenarnya memerlukan investigasi tentang bagaimana mekanisme ini tetap eksis sekalipun kedaulatan segala bangsa menjadi norma internasional paling dihormati.
Kita dapat mengacu pada konsep hegemoni yang seringkali dinyatakan melegitimasi dominasi core atas wilayah periphery. Namun, alangkah baiknya kita memulai mendiskusikan eksistensi kapitalisme hingga terwujudnya hegemoni.
ADVERTISEMENT
Kapitalisme sebagai Agenda Ekonomi-Politik Global
Kautsky dan Lenin menyatakan bahwa imperialisme adalah konsekuensi dari sentralisasi dan monopoli modal. Sentralisasi modal merupakan fitur utama yang dibutuhkan kapitalisme.
Jika diterjemahkan dalam konteks global, kapitalisme memiliki urgensi sebagai agenda ekonomi-politik internasional. Khususnya bersinggungan dengan model pembangunan negara berkembang.
Pembangunan nasional yang berorientasi ekonomi cenderung memiliki kedekatan dengan ciri-ciri kapitalisme secara empiris, apabila modal terpusat di core, menyingkirkan kepentingan civil society, dan internasionalisasi market periphery terhadap produk dari core.
Pembangunan seperti itu nyatanya terlalu sering diadopsi oleh negara-negara periphery, dan atas nama pembangunan sebagaimana diklaim “engine of growth”, kadang kala urusan domestik periphery mengalami internasionalisasi intervensi. Kondisi ini pernah terjadi di Vietnam yang menerapkan “Doi Moi” atau “keterbukaan politik”.
ADVERTISEMENT
Keterbukaan politik tentu adalah hasrat ideologi liberalisme yang memperbesar peran pasar daripada politik negara. Pasar yang berhasil dalam definisi liberalisme adalah signifikansi paritisipasi aktor non-negara dengan maksimalisasi kapital seluas-luasnya bersama aturan main liberalisme.
Di sinilah kapitalisme berkembang dalam batas-batas yang “tidak terbatas” melampaui politik normatif. Pada waktu bersamaan, kecenderungan akumulator kapitalis memobilisasi negara core masing-masing meningkatkan daya saing mereka dalam posisi dunia yang terus mereproduksi segmentasi dunia ke dalam yurisdiksi yang terpisah (Wallerstein, 1974; Arrighi, 1990).
Kemudian kita mengenal segmentasi tersebut dalam istilah Global North dan Global South. Upaya merawat keseimbangan dikotomi tentu memerlukan power yang namanya hegemoni. Hegemoni bukanlah kepemimpinan core, melainkan dominasi core atas periphery.
Hegemoni sebagai Prasyarat Kapitalisme
Hegemoni bukanlah kepemimpinan dunia. Kepemimpinan adalah perihal yang luar biasa karena setiap orang membutuhkan kepemimpinan.
ADVERTISEMENT
Hegemoni adalah dominasi yang menunjukkan struktur hirarkis negara core atas wilayah periphery; colonial empires dan neocolonial backyards (Chase-Dunn et.al., 1994). Kendati demikian, esensi kepemimpinan juga mempunyai aspek dikotomis.
Fakta yang sering terjadi menyiratkan bahwa kepemimpinan dalam tatanan global menjelma menjadi ideologi yang melegitimasi proyek dominasi dan eksploitasi (Chase-Dunn et.al., 1994).
Sehingga sangat mungkin hegemoni yang diproyeksikan sebagai dominasi memainkan peran ganda sebagai legitimator perilaku negara core atas periphery dan menggunakan sumber daya guna merawat dominasi agar tetap eksis.
Chase-Dunn dkk (1994) memang benar bahwa hegemoni adalah dominasi alih-alih kepemimpinan, namun hegemoni sebaiknya dimaknai sebagai kombinasi dari keduanya.
Hegemoni dalam praktiknya, lebih mudah dikomersialisasi oleh kapitalisme untuk mereproduksi segmentasi dunia dan menciptakan pola ketergantungan.
ADVERTISEMENT
Kapitalisme memang merepresentasikan negara sebagaimana kita sering mengidentifikasi ekonomi global sebagai ekonomi milik Amerika, namun klaim tersebut bukan yang sesungguhnya.
Alangkah baiknya kita menakar kapitalisme dalam pengertian hubungan antara negara dan modal yang menjadi ciri perkembangan kapitalis selama lima abad terakhir (Moore, 2002).
Hubungan negara dan modal mulai terurai, pada gilirannya mengganti peran negara “nasional” mengakomodasi jalan kepada “perusahaan transnasional” dan banyak borjuasi Transnational Capitalis Class (TCC) (Moore, 2002).
Kesadaran yang seharusnya berkembang adalah negara-bangsa bukan aktor utama dalam proyek perkembangan kapitalisme, tetapi supremasi kelompok pemilik modal yang bertanggung jawab lebih banyak dalam keterlibatannya.
Sebaliknya kelangsungan hegemoni versi TCC cenderung konsensual daripada koersif, didukung oleh kesepakatan sosial—modal sosial—sehingga dalam definisi Gramsci, kelompok ini memanifestasikan dirinya dalam dua metode, ‘dominasi’ dan ‘kepemimpinan intelektual dan moral’.
ADVERTISEMENT
Pada spesifikasi seperti ini, tentu negara-bangsa juga berpartisipasi mengorganisasikan pembentukkan kelas pada wilayah progresif. Restrukturisasi hambatan-hambatan eksternal yang menghambat formasi TCC progresif merupakan satu di antara peran negara-bangsa untuk mengakselerasi akumulasi modal terpusat.
Dalam framework negara-bangsa menjembatani TCC mencapai konsensual pada tingkat sistem dunia, maka pekerjaan selanjutnya adalah maksimalisasi produktivitas ekonomi TCC, dengan beragam metode supaya ekosistem yang terbangun tidak runtuh. Kecenderungan jenis ini tentu menjadi bibit hegemoni yang menguntungkan otoritas negara-bangsa dan eksitensi TCC.
Hegemoni Negara-Bangsa atau TCC?
Apakah negara-bangsa menerima keuntungan lebih besar? Belum tentu. Pernyataan yang sama terjadi juga pada TCC. Kapitalisme adalah proses mekanisasi yang melegitimasi oposisi biner, hegemoni core atas periphery.
Di dalam core ada negara-bangsa dan TCC. Keduanya menikmati dari keseimbangan kerja; negara-bangsa melalui otoritas dan kewenangan internasionalnya membentuk formasi-formasi strategis kelancaran proyek ekonomi, dan perusahaan transnasional menindaklanjutinya dengan pengendalian modal baik secara infrastruktur maupun intervensi pola konsumsi periphery.
ADVERTISEMENT
Sebaiknya fenomena ini tidak dipahami sebagai kondisi final dari konstelasi ekonomi-politik global, karena sejauh mekanisme ini berlangsung maka perdebatan akan terus mengganggu proses kapitalistik sejauh keadilan masih menjadi kewarasan universal.