Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sesat Pikir Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
20 Maret 2020 14:15 WIB
Tulisan dari Anwar Saragih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Komisi Pemilihan Umum (KPU) berada dipersimpangan kala akan memutuskan sengketa pemilu calon legislatif Partai Gerindra untuk DPRD Provinsi di Kalimantan Barat.
ADVERTISEMENT
Satu arah dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan mengoreksi perolehan suara Hendri Makaluasc, TANPA perintah koreksi perolehan suara Cok Hendri Ramapon.
Satu arah lainnya dari putusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang memerintahkan KPU untuk mengoreksi perolehan suara keduanya yaitu Hendri Makaluasc dan Cok Hendri Ramapon.
KPU kemudian memilih menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI Nomor 154-02-20/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2009.
Kenapa KPU memilih menjalankan putusan MK ?
Pada bacaan saya, putusan MK sifatnya final dan mengikat (final and binding). Artinya KPU berkewajiban hanya memeriksa perolehan suara Hendri Makaluasc yang sebelumnya adalah 2.492 suara menjadi 2.551 suara. Sesederhana itu.
Pun dalam perjalannya, pihak pengadu yaitu Caleg Hendri Makaluasc telah mencabut pengaduannya secara langsung di depan Majelis Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Artinya pengadu (Hendri Makaluasc) telah menerima seluruh putusan yang membuat secara otomatis tidak ada lagi pihak yang dirugikan atas keputusan KPU.
ADVERTISEMENT
Sampai disini, tentu saja DKPP sudah tidak memiliki tugas dan kewenangan lagi dalam pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.
Rujukannya adalah pasal 159 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Dimana ayat 1 mengatakan DKPP bertugas:
Dengan kata kunci “aduan” tentu melibatkan pengadu dan teradu. Pengadu dalam hal ini Hendri Makaluasc telah mencabut segala aduannya. Namun, DKPP tetap ngotot meneruskan sidang pelanggaran etik. Justru pada konteks ini DKPP sendiri telah melanggar standart etik yang ditetapkan oleh undang-undang Pemilu.
ADVERTISEMENT
Kesesatan berpikir DKPP ini justru telah mencederai prinsip keadilan, kemandirian, imparsialitas, dan transparansi dalam demokrasi Indonesia. Alasannya, disamping keputusan yang memberhentikan Evi Novida inkonstitusional karena hanya diputuskan oleh 4 (empat) dari 7 (tujuh) anggota DKPP. Lebih lanjut, DKPP juga telah melanggar etik, karena mengabaikan secara sengaja Pasal 36 ayat (2) Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2019 yang mewajibkan pleno pengambilan keputusan dihadiri paling sedikit 5 (lima) orang anggota DKPP yang membuat seluruh keputusan yang diambil adalah kesesatan berpikir.
ADVERTISEMENT
Siapa yang ingin ambil panggung dalam keputusan yang diambil DKPP ? atau 4 (empat) anggota DKPP tersebut ingin popularitas pribadi ?
Hal ini tentu menjadi pertanyaan yang muncul dalam urgensi penyelenggaraan pemilu di Indonesia bahwa lembaga etiknya tidak memilih menggunakan prinsip netral dan pasif dalam mengambil keputusan. Pun DKPP justru terlalu aktif bereaksi dalam proses pleno yang pengadunya sudah mencabut aduannya.
Evi Novida Tidak Mungkin Gelembungkan Suara
Diluar konteks kesesatan berpikir DKPP. Evi Novida Tidak Mungkin Gelembungkan Suara. Alasannya sederhana, dalam sistem pemilihan umum di Indonesia dilakukan secara berjenjang mulai dari TPS ke PPK (Kecamatan) ke KPU Kota/Kabupaten ke KPU Provinsi hingga KPU RI membuat mustahil bagi individu atau kelompok bisa memanipulasi dengan sengaja hasil pemilihan.
ADVERTISEMENT
Pun lebih lagi, penetapan hasil pemilu, keputusan yang diambil oleh KPU kolektif kolegial yang artinya diambil secara bersama-sama oleh seluruh komisioner. Pada konteks tanggung jawab sebagai Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan dan Logistik Pemilu KPU RI memang Evi Novida Ginting memang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan.
Namun, bukan berarti Evi Novida memiliki kekuasaan sampai mengubah hasil pemilu, itu opini sesat. Pun sebagai bagian dari penyelenggara Pemilu, sekali lagi Evi Novida dan Komisioner KPU lainnya hanya menjalankan putusan MK.
Karena itu, pada pelbagai pemberitaan di media yang mengatakan Evi Novida akan melawan putusan DKPP dan menggugatnya putusan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah sebuah langkah anak bangsa dalam keadilan di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Pun pada konteks menggugat putusan DKPP ke PTUN, argumen Evi Novida sangat kuat dengan dasar menjalankan putusan MK dan kecacatan putusan DKPP.
Mengutip Ucapan Pramoedya Ananta Toer : “Dengan melawan kita tidak sepenuhnya kalah !!”