Konten dari Pengguna

Yogyakarta Tak Selalu tentang Klitih

Apri Damai Sagita Krissandi
Mahasiswa S3 Universitas Sebelas Maret dan Dosen Universitas Sanata Dharma
26 Maret 2023 5:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Apri Damai Sagita Krissandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret Tugu Pal Putih Kota Yogyakarta, yang kini bebas dari kabel melintang. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Potret Tugu Pal Putih Kota Yogyakarta, yang kini bebas dari kabel melintang. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
ADVERTISEMENT
Pengalaman mendebarkan sekaligus berkesan terjadi padaku pada suatu malam. Cerita tentang klitih biasanya terjadi di malam minggu di antara pukul 22.00 sampai dini hari. Pelaku klitih rata-rata remaja tanggung belasan hingga dua puluh tahunan, berboncengan dua orang, satu menebas-yang lain jongki alias driver. Mereka mayoritas beraksi menggunakan motor matic. Pelaku menebaskan celurit dan parangnya secara acak di tempat yang relatif sepi.
ADVERTISEMENT
Seluruh penciri klitih itu terjadi padaku di malam Minggu, 25 Maret 2023. Aku relatif jarang berkendara malam sendirian. Di malam itu ada satu pertemuan penting dengan kawan-kawan musisi, seniman pantomime, dan dalang yang ternama di Jogja. Aku memilih berkendara dengan motor mini berjenis honda dax, mirip honda monkey. Sengaja aku ingin pamer biar nyeni. Mau ketemu seniman harus nyentrik pikirku.
Motor yang jarang kupakai, hanya sesekali ke warung saja, tanpa pernah dicek kesehatannya. Sekitar pukul 21.00 malam aku berangkat dari rumah, seniman memang jam kreatifnya biasa menjelang tengah malam. Kulewati jalan tak biasa, jalan sepi nan gelap agak hutan dikit. Menikmati syahdunya dinginnya Jogja, pikirku.
Pukul 21.30 di posisi jalan yang gelap nan sepi tiba-tiba si motor monyet mati. Bensin terus mengucur dari karburatornya. Aih aih... sialan. Dengan sok tahu aku berjibaku berusaha menyalakannya kembali. Satu dua orang melewatiku dengan kencang. Sampai sekiranya setengah jam lebih tak kunjung menyala, justru keringatku yang menetes tak karuan. Rasanya kalut di tengah jalan gelap sepi. Pukul 22.00 lebih saat itu.
Mas Abdul dan Mas Abi menguras bensin motorku
Tiba-tiba dua kali motor matic melewatiku. Kuamati sekilas, dua remaja berboncengan melihatku, lewat dan memutar menuju ke arahku. Wajahnya seusia remaja tanggung. Seluruh prasyarat tindak klitih ada di situasi itu. Dua remaja tanggung, motor matic, menjelang tengah malam, di Jogja-Bantul, jalan sepi nan gelap. Lengkap, aku bakal kena bacok, pikirku.
ADVERTISEMENT
Berusaha sigap, kucoba waspada, kupikirkan strategi sekenanya. Tak dinyana, mereka melempar senyum dan dengan bahasa Jawa halus bertanya keadaan motorku. "Mas, kulo ewangi njih, motore kenging napa?" Mas saya bantu ya, motornya kenapa? Begitu tuturnya halus. Lutut yang menegang lantas lemas namun lega. Saya ndak jadi dibacok.
Dua anak muda yang amat sangat sopan dengan bahasa yang halus dan sorot mata yang teduh menawarkan bantuan di malam yang kacau. Menepis seluruh persepsi negatifku tentang teror remaja Jogja yang tak segan menebas siapa saja. Memang setiap orang harus waspada dalam situasi seperti saya saat itu. Tapi ternyata tidak semua anak muda Jogja itu klitih.
Remaja itu bernama Abdul dan Abi. Ditawarkannya pilihan bantuan, menyetep motorku sampai pulang atau sampai ke tujuanku pergi. Motor kecilku tentunya amat merepotkan jika didorong kaki hingga puluhan kilo. Tak tega aku membayangkannya. Kucoba negosiasi, ingin kutitip motor di tempat mereka atau tempat terdekat yang bisa dititipi. Aku bisa memesan gojek untuk pulang atau melanjutkan perjalanan.
Ilustrasi Berkendara motor malam hari. Foto: Dok. PxHere
Mereka menyetujui usulku, dititipkan motorku di tempat mereka kerja. Di sebuah resto bernama Warung Teduh. Mereka adalah karyawan di sana. Sesampainya di tempat itu, mereka berinisiatif menguras bensinku yang terus mengucur, biar gak habis, eman-eman kata mereka. Dicarinya botol dan ditampung. Aku tak boleh turut campur.
ADVERTISEMENT
Selesai sudah motorku diamankan oleh mereka. Aku bersiap pesan gojek. Mereka berdua mencegahku pesan gojek. Mereka memaksa mengantarkanku ke tujuanku pergi. Dalihnya mereka juga ingin main ke arah sana. Aku rasa mereka hanya cari alasan untuk membantuku, supaya aku tak terlalu sungkan.
Kalau mereka menatap mataku, sebetulnya sudah berkaca-kaca dengan kebaikan semacam ini. Aku malam itu benar-benar merasa orang paling beruntung, merasakan kemanusiaan yang dasyat. Aku tak sering menerima bantuan tulus. Kali ini kunikmati ketulusan manusia lain. Iya, masih ada orang baik, tak ada kamera yang merekam kebaikan mereka.
Diantarkannya aku sampai tujuanku, diberikan nomornya jika esok aku akan mengambil motorku. Kucoba memberikan sekadar pengganti bensin, ditolaknya mentah-mentah. Mas Abdul dan Mas Abi kebaikan ini sangat ingin aku bagi. Jika ada orang yang motornya macet, akan aku teruskan kebaikanmu. Aku berjanji, akan aku bantu orang-orang macet di tengah malam yang kebetulan kutemui suatu saat nanti. Terima kasih ya.
ADVERTISEMENT