Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Bahaya Laten 'Book Shaming' bagi Pembaca Pemula
15 November 2022 17:46 WIB
Tulisan dari Achmad Rohani Renhoran tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seperti halnya karir, buku bacaan juga kerap dihakimi antara satu dengan yang lain. Sebutlah misalnya pembaca novel Fangirl karya Rainbow Rowell, dihakimi tidak lebih baik dari pembaca The Diary of a Young Girl karya Anne Frank, sebab alur cerita di dalam Fangirl dianggap hanya untuk pembaca yang mayoritas gadis-gadis belia saja.
ADVERTISEMENT
Sedangkan, The Diary of a Young Girl lebih menyasar ke pembaca yang tergolong perempuan dewasa. Perbandingan macam ini biasanya muncul dari seseorang atau kelompok pencinta buku yang merasa memiliki selera membaca lebih baik.
Mereka, kemudian saya sebut saja tukang olok, selalu merasa paling superior, merasa paling cerdas, sehingga mudah sekali membandingkan hingga menghakimi pembaca lain, seperti menyebut pembaca novel remaja atau pembaca pemula yang membaca buku-buku romance fiction, sebagai orang-orang yang berselera rendah.
Para tukang olok itu seakan mengamini begitu saja pendapat Robert Philip Kolker dalam buku berjudul Film, Form, and Culture, bahwa membaca dapat berpengaruh terhadap aspek afektif (sikap), linguistik (bahasa), dan kognitif (mental).
Sederhananya, seorang pembaca harus menyukai sumber bacaan yang mampu meningkatkan kecerdasan. Maka, novel teenager macam Fangirl hanya berisi curahan hati remaja semata, tidak akan meningkatan intelektual pembaca, menurut mereka.
ADVERTISEMENT
Diskriminasi Pembaca
Sadar atau tidak, aksi penghakiman terhadap buku-buku bacaan, lamat-lamat bisa lebih diskriminatif lagi. Bayangkan saja, karena takut digolongkan sebagai pembaca berselera rendah, seseorang tidak lagi berani menunjukkan buku bacaannya kepada orang lain.
Bahkan bisa jadi, alih-alih ingin mendapat pengakuan dari teman-temannya, ia justru malas membaca karena terus dituntut harus membaca buku-buku yang sulit ia pahami.
Nicole Bedera dalam jurnalnya, berjudul Slut Shaming Romance Writers, memaparkan bahwa di negara Amerika Serikat sendiri, banyak pembaca novel romance yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan soal genre buku.
Novel Fifty Shades of Grey karya E.L. James dan novel Twilight karya Stephanie Meyer dibilang tidak berbobot sama sekali, karena hanya berisi tentang kisah picisan disertai adegan seks. Akibatnya, pembaca setia kedua novel di atas tidak berani membahas atau sekadar menunjukkan novel tersebut di depan umum.
ADVERTISEMENT
Ini masalah serius. Di Indonesia sendiri, praktik penghakiman terhadap buku bacaan juga gencar terjadi. Lihat saja penyerangan opini dari kubu Pramoedya Ananta Toer dan Chairil anwar, terhadap kubu pembaca Tere Liye dan Fiersa Besari yang ramai di media sosial kemarin.
Kalau ternyata bahaya laten book shaming tidak segera ditanggulangi, maka bisa saja angka minat membaca di Indonesia makin menurun drastis. Para pembaca Tere dan Fiersa mungkin akan memutuskan untuk berhenti membaca, karena tidak lagi percaya diri.
Ketidaksadaran Kolektif Pembaca
Jika ditelaah lebih jauh, tindakan membanding-bandingkan buku bacaan seseorang, biasa disebut Book Shaming, dilakukan bukan tanpa sebab. Hasrat untuk melakukan praktik book shaming, atau istilah dari Steve Treutly, yakni ‘Penghakiman terhadap buku bacaan seseorang’, didorong oleh beberapa faktor, satu di antaranya adalah faktor ketidaksadaran kolektif.
ADVERTISEMENT
Bekti Mar’atun Aisyiyah menjelaskan faktor tersebut dalam tesisnya yang berjudul Perilaku Book Shaming di Kalangan Komunitas Pencinta Buku di Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut Bekti, ketidaksadaran kolektif menurut Karl Jung, punya efek besar terhadap psikis seseorang. Ketidaksadaran yang tak mampu dikendalikan, akan mudah mengambil alih logika, sehingga melahirkan tindakan yang menyimpang.
Dalam konteks perilaku book shaming ini, penyimpangan yang dilakukan dalam bentuk penghakiman terhadap buku bacaan, didasari oleh beberapa hal. Pertama, ialah faktor kecenderungan dalam mengidolakan penulis tertentu secara berlebihan. Akhirnya, fanatisme terhadap idola yang terlalu besar itulah yang memicu tindakan emosional di luar kendali dirinya kepada orang lain.
Kedua, Persona. Dalam kasus ini, biasanya penampilan atau karakter pembaca kerap dihakimi bersama buku bacaannya. Misalnya, menyebut pembaca berpenampilan necis tidak boleh membaca buku-buku bertema macam kritik sosial dan ideologi anarki yang identik dengan ‘kebebasan’. Pun sebaliknya, yang berpenampilan urakan, tidak cocok membaca buku-buku bertema ekonomi, hukum, dan politik.
ADVERTISEMENT
Persona, atau penampilan adalah faktor penentu bagi seseorang terkait penerimaan orang lain ke dalam lingkungan pergaulannya. Pembaca yang penampilannya dianggap tidak selaras dengan buku bacaannya, harus dijauhi atau diabaikan begitu saja.
Selanjutnya, Bekti menyebut faktor sisi gelap dari pelaku book shaming sebagai Shadow. Hal tersebut merupakan suatu tindakan penghakiman yang muncul dari orang yang memiliki lebih dari satu karakter. Ia bisa dengan bebas menghakimi buku bacaan orang lain sejahat mungkin, melalui media sosial sambil bersembunyi di balik karakter baiknya. Jung bahkan menyebut istilah shadow ini sebagai insting ‘binatang’ yang sudah tidak mampu dikendalikan lagi di dalam diri manusia itu sendiri.
Terakhir, faktor Anima dan Animus. Ini merupakan faktor ketidaksadaran yang lahir dari pengalaman interaksi seseorang berdasarkan gender. Anima, adalah ketidaksadaran kolektif pria yang sifatnya feminin, sedangkan Animus merupakan sifat maskulin pada ketidaksadaran kolektif perempuan. Seorang lelaki bisa saja mengkritik bacaan dari sudut pandang perempuan, begitu pula sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Dari faktor-faktor ketidaksadaran kolektif demikian, bisa dilihat bahwa motif pelaku book shaming didasari oleh hal-hal psikologis, di mana tindakan tersebut dilakukan tanpa ia sadari dan tanpa pengendalian diri yang baik. Pelaku, atau juga yang saya sebut tukang olok itu, belum puas jika korbannya belum merasa bersalah dan terkucilkan akibat salah memilih buku bacaan.
Dulu, ketika saya pertama kali bergabung dengan organisasi kemahasiswaan di kampus, saya pun hampir mendapat perlakuan serupa. Waktu itu, saya sedang gencarnya membaca karya-karya Boy Candra dan Aan Mansyur. Ketika hendak mendiskusikannya bersama teman di sekretariat organisasi, saya malah ditinggal pergi.
Di benak saya saat itu, mungkin mereka menganggap buku yang ingin saya bahas, bukanlah sesuatu yang penting. Harusnya saya membaca buku-buku macam filsafat, politik, sejarah, atau buku tentang perjuangan mahasiswa. Agar sesuai dengan tema pembahasan mereka di forum bergengsi di kampus.
ADVERTISEMENT
Dari situ, saya berkesimpulan bahwa praktik book shaming rentan dilakukan terhadap seseorang yang baru saja bergabung dengan kelompok tertentu. Yang mana di dalam kelompok tersebut, telah diciptakan suatu pakem khusus terhadap buku bacaan anggota. Ketika ada seseorang yang dinilai tidak merepresentasikan pemikiran kelompok melalui buku yang ia baca, maka anggota lain tidak segan-segan melakukan aksi book shaming kepadanya.
Toleransi Terhadap Minat Baca
Kendati demikian, pengaruh yang dihasilkan oleh tindakan penghakiman itu, tidaklah main-main. Intensitasnya yang tinggi, cepat atau lambat akan berdampak terhadap presentasi minat baca di Indonesia.
Sebagian orang mungkin sudah familier dengan survey minat baca di Indonesia, yang kerapkali muncul pada beberapa tulisan mengenai budaya membaca. Peringkat ke 60 dari 61 negara di dunia yang terus menerus dibahas itu, bisa saja merosot ke peringkat paling bawah, apabila populasi pelaku book shaming makin bertambah.
ADVERTISEMENT
Sebabnya itu, kita perlu berbenah, merubah pola pikir kita. Yang tadinya cenderung membeda-bedakan pembaca berdasarkan buku bacaannya, harus diganti dengan sikap menerima perbedaan. Hemat saya, setiap pembaca berhak menentukan selera membacanya sendiri. Baik fiksi maupun non fiksi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Neil Gaiman pada buku Mengapa Masa Depan Kita Bergantung Pada Perpustakaan, Membaca dan Melamun?
Dalam buku yang diterjemahkan teman saya, mas Ageng Indra itu, Gaiman menyatakan bahwa karya-karya fiksi yang acapkali dihakimi, malah berfungsi sebagai pintu gerbang buat pembaca pemula, di mana dari situlah mereka mulai belajar mengenal dunia.
Seseorang tidak bisa memaksa pembaca pemula agar memiliki selera membaca yang sama dengannya, yang mungkin sudah melahap habis pelbagai bacaan.
ADVERTISEMENT
Membangun budaya membaca yang baik di masyarakat, tidak bisa dilakukan dengan instan. Sebagai salah satu pegiat rumah baca di Indonesia timur, saya sering merasakan jatuh bangun perjuangan, demi mengajak masyarakat untuk tertib membaca. Kendala umum yang saya hadapi adalah kurangnya motivasi masyarakat akan pentingnya membaca. Salah satu penyebabnya, yakni karena aksi penghakiman itu sendiri.
Meski begitu, saya tetap berusaha mendorong masyarakat agar selalu percaya diri dengan apapun buku yang ia baca. Tidak perlu bergantung pada standar bacaan tertentu. Bagi saya, setiap buku bacaan pasti memuat pengetahuan yang penting untuk kita semua.
Membaca buku secara rutin, otomatis akan meningkatkan wawasan, menambah ketrampilan menyelesaikan masalah, serta meningkatkan kecerdasan emosional pembacanya. Sebagaimana yang dikemukakan Amanda Lee dalam tulisan berjudul You Should Never Feel Guilty About What You Read, bahwa “Reading can also help you retain information you already know, improve problem solving skills, and increase youre emotional intelligence”.
ADVERTISEMENT
Saya berharap, semoga bahaya laten book shaming yang kian marak di masyarakat saat ini, bisa segera teratasi, dengan jalan peningkatan kesadaran berpikir serta toleransi perihal selera membaca di masyarakat. Sebab, dengan adanya penerimaan keberagaman minat membaca, maka saya yakin Indonesia bisa terbebas dari penjajahan pola pikir yang sempit dan eksklusif.
AR Renhoran Akademisi dan Pegiat Rumah Baca Taman Bacaan Nuhu Evav.