Konten dari Pengguna

Kelompok Wanita Tani dan Peranannya Dalam Advokasi Ketahanan Pangan era Digital

Wayan Ardi Adnyana
Mahasiswa Magister Sains Agribisnis- Institut Pertanian Bogor Pengurus Pimpinan Pusat Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia
15 Desember 2024 14:36 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wayan Ardi Adnyana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Keterangan: Gambar ini dibuat menggunakan Artificial Intelegent (AI) yang mengambarkan gotong royong dari para wanita tani
zoom-in-whitePerbesar
Keterangan: Gambar ini dibuat menggunakan Artificial Intelegent (AI) yang mengambarkan gotong royong dari para wanita tani
ADVERTISEMENT
Pendahuluan
Ketahanan pangan merupakan isu global yang penting, terutama dalam menghadapi perubahan iklim dan ketidakamanan ekonomi (FAO, 2022). Di Indonesia, peran perempuan di bidang pertanian dan ketahanan pangan sering kali dilupakan, padahal kontribusi mereka cukup besar. Kelompok Wanita Tani (KWT) merupakan wadah pengorganisasian perempuan di bidang pertanian yang perannya dalam mendorong ketahanan pangan menjadi semakin penting dan strategis di era digital ini.
ADVERTISEMENT
Sejak zaman dahulu, perempuan berperan penting dalam pertanian, mulai dari menanam padi hingga merawat, memanen, dan mengolah hasil pertanian. Mereka juga memiliki pengetahuan tradisional yang berharga tentang varietas lokal, teknik pertanian berkelanjutan, dan penggunaan sumber daya alam. Kontribusi perempuan dalam menyediakan pangan bagi keluarga dan masyarakat juga signifikan. Anda bertanggung jawab untuk memilih, mengolah, dan menyajikan makanan bergizi seimbang.
Namun, peran perempuan di bidang pertanian seringkali tidak diakui secara resmi. Mereka sering kali dianggap sebagai “pekerja keluarga” tanpa upah dan tanpa akses terhadap sumber daya produktif seperti tanah, modal, dan teknologi (UN Women, 2023). Diskriminasi gender dan norma sosial patriarki juga membatasi partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan terkait pertanian dan ketahanan pangan
ADVERTISEMENT
Munculnya Kelompok Wanita Tani (KWT)
Kehadiran Kelompok Wanita Tani (KWT) adalah manifestasi kebutuhan mendesak buat pengorganisasian dan pemberdayaan wanita pada sektor pertanian. KWT bukan sekadar wadah berkumpul, namun sebuah platform strategis yang memungkinkan wanita menyebarkan pengetahuan tradisional, pengalaman praktis, dan sumber daya yang mereka miliki. Inisiatif pembentukan KWT seringkali kali timbul atas kesadaran kolektif para wanita akan tantangan yang mereka hadapi, misalnya akses terbatas terhadap lahan, modal, teknologi, akses pasar, dan pengakuan formal atas peranan mereka pada perekonomian keluarga. dan komunitas (Farnworth et al., 2016). Keterbatasan ini, ditambah menggunakan aturan-aturan gender yang tidak jarang marginalisasi kiprah wanita dalam pengambilan keputusan, sehingga pembentukan organisasi atau perkumpulan wanita tani menjadi upaya kolektif buat mengatasi kendala-kendala tersebut.
ADVERTISEMENT
KWT berfungsi menjadi sarana pembelajaran dan peningkatan kapasitas bagi anggotanya. Melalui pertemuan rutin, pelatihan, dan kegiatan praktis, anggota KWT saling bertukar informasi tentang teknik bercocok tanam yang lebih efektif dan berkelanjutan, pengelolaan keuangan, pemasaran produk pertanian, dan info-info terkait ketahanan pangan keluarga. Proses ini berperan penting guna memperkuat pengetahuan dan keterampilan wanita pada urusan pengelolaan bisnis pertanian secara mandiri. Lebih lanjut, KWT juga berperan pada membentuk solidaritas dan jaringan antar wanita petani. Dengan tergabung pada KWT, wanita tidak lagi berjuang sendirian, namun mempunyai dukungan antara sesama anggota yang menghadapi tantangan serupa. Jaringan ini juga membuka peluang buat kerja sama dan akses ke sumber daya eksternal, misalnya program pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan pihak swasta.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, data khusus tentang jumlah KWT secara nasional sulit diperoleh pada satu sumber yang terpusat. Namun, eksistensi KWT berada pada berbagai wilayah di Indonesia, mulai dari pedesaan sampai perkotaan, dengan berbagai aktivitas yang beragam, mulai dari budidaya sayuran, tumbuhan obat, perikanan, peternakan skala kecil, sampai pengolahan output pertanian. Beberapa penelitian dan laporan menunjukan bahwa KWT mempunyai peranan signifikan pada peningkatan pendapatan keluarga.Contohnya, penelitian yang dilakukan oleh Manto et al.2023, menyatakan bahwa KWT pada Desa Dutuhe Barat, Kecamatan Bone Bolango, Provinsi Gorontalo berhasil menaikkan pendapatan anggotanya sebanyak Rp.2.723.533/bulan melalui bisnis pengolahan minyak kelapa kampung.
Lebih lanjut, KWT juga berperan krusial menjadi jembatan antara petani Wanita dengan pemerintah dan pihak-pihak terkait. Mereka secara aktif mengadvokasi kebijakan-kebijakan yang mendukung ketahanan pangan, keberlanjutan pertanian, dan kesetaraan gender pada sektor pertanian. KWT bisa menyuarakan aspirasi mereka melalui lembaga-lembaga musyawarah pada taraf desa, kecamatan, kabupaten/kota, sampai taraf nasional. Dalam era digital saat ini, kiprah advokasi ini semakin diperkuat dengan pemanfaatan media masa dan platform online untuk menyampaikan informasi, menggalang dukungan publik, dan berinteraksi menggunakan pembuat kebijakan. Dengan demikian, KWT tidak hanya berperan dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi anggotanya, tetapi juga berkontribusi dalam pembangunan pertanian dan ketahanan pangan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Peran KWT dalam Advokasi Ketahanan Pangan di Era Digital
Peran Kelompok Wanita Tani (KWT) dalam advokasi ketahanan pangan telah mengalami transformasi signifikan dengan hadirnya era digital. Dulu, advokasi terbatas pada pertemuan tatap muka, pelatihan lokal, dan penyebaran informasi dari mulut ke mulut yang jangkauannya terbatas. Kini, internet dan berbagai platform digital membuka peluang tak terbatas bagi KWT untuk memperluas dampak positifnya. KWT dapat memanfaatkan media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter untuk berbagi informasi tentang praktik pertanian berkelanjutan, pentingnya konsumsi pangan beragam dan bergizi seimbang, serta isu-isu terkini terkait ketahanan pangan, seperti dampak perubahan iklim terhadap pertanian, fluktuasi harga pangan, dan kebijakan pemerintah. Konten yang dibagikan bisa berupa tips praktis, infografis menarik, video edukatif, bahkan siaran langsung yang interaktif, sehingga pesan yang disampaikan lebih mudah dipahami dan menjangkau audiens yang lebih luas, termasuk generasi muda yang melek teknologi.
ADVERTISEMENT
Pemanfaatan media sosial dalam advokasi telah diteliti dan menunjukkan efektivitasnya dalam meningkatkan kesadaran publik dan memobilisasi dukungan terhadap isu-isu tertentu (Jungherr, 2016). Selain itu, platform e-commerce dan aplikasi pesan instan juga dapat dimanfaatkan untuk memasarkan produk pertanian KWT secara langsung ke konsumen, memotong rantai distribusi yang panjang, dan memastikan harga yang lebih adil bagi petani dan konsumen.
Lebih dari sekadar penyebaran informasi, era digital juga memfasilitasi KWT untuk berjejaring dan berkolaborasi dengan berbagai pihak, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Melalui platform daring, KWT dapat terhubung dengan organisasi petani lainnya, lembaga swadaya masyarakat (LSM), akademisi, pemerintah, dan bahkan konsumen secara langsung. Jaringan ini memungkinkan pertukaran informasi, pengetahuan, dan pengalaman yang lebih intensif. Misalnya, KWT dapat berpartisipasi dalam webinar atau diskusi daring yang membahas isu-isu ketahanan pangan, mengikuti pelatihan online tentang manajemen usaha pertanian, atau bahkan berkolaborasi dalam riset dan pengembangan teknologi pertanian yang tepat guna. Kolaborasi dan pembentukan jaringan di era digital telah diidentifikasi sebagai faktor penting dalam memperkuat kapasitas organisasi masyarakat sipil, termasuk kelompok tani (Howard, 2017). Ini tidak hanya meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani, tetapi juga memperluas akses pasar bagi produk mereka dan meningkatkan pendapatan keluarga.
ADVERTISEMENT
Terakhir, teknologi digital juga memberdayakan KWT dalam advokasi kebijakan. Petisi online, kampanye di media sosial, dan platform penggalangan dana daring (crowdfunding) dapat dimanfaatkan untuk menyuarakan aspirasi KWT dan menggalang dukungan publik terhadap isu-isu ketahanan pangan. Misalnya, KWT dapat meluncurkan petisi online untuk menuntut perbaikan infrastruktur pertanian di daerah mereka, mengkampanyekan pentingnya alokasi anggaran yang memadai untuk sektor pertanian, atau menggalang dana untuk mendukung program-program pemberdayaan petani perempuan. Data dan informasi yang dikumpulkan melalui platform digital juga dapat digunakan sebagai bukti untuk mendukung advokasi kebijakan yang berbasis data. Misalnya, data tentang dampak perubahan iklim terhadap hasil panen dapat digunakan untuk mendorong pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di sektor pertanian. Sebagai bahan inspirasi, beberapa KWT di Sulawesi Selatan menggunakan platform media sosial dan kerjasama dengan media lokal untuk mengadvokasi kebijakan harga gabah yang lebih adil. Kampanye daring mereka berhasil menarik perhatian publik dan pada akhirnya mendorong pemerintah daerah untuk meninjau kembali kebijakan harga gabah. Dengan memanfaatkan teknologi digital secara strategis, KWT dapat menjadi agen perubahan yang lebih efektif dalam mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan dan inklusif.
ADVERTISEMENT
Tantangan dan Peluang
Meskipun era digital menawarkan potensi besar bagi Kelompok Wanita Tani (KWT) dalam advokasi ketahanan pangan, adopsi teknologi ini bukannya tanpa tantangan. Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah keterbatasan akses digital. Tidak semua anggota KWT, terutama yang berada di daerah pedesaan terpencil, memiliki akses yang sama terhadap infrastruktur teknologi dan internet yang handal. Keterbatasan akses ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kurangnya infrastruktur telekomunikasi di daerah mereka, biaya internet yang mahal, dan kurangnya perangkat teknologi yang terjangkau. Kesenjangan ini menciptakan ketidaksetaraan dalam partisipasi dan manfaat yang dapat diperoleh dari teknologi digital.
Selain akses, literasi digital juga menjadi tantangan krusial. Banyak anggota KWT mungkin belum memiliki keterampilan yang memadai untuk menggunakan perangkat teknologi, mengakses internet, dan memanfaatkan berbagai platform digital secara efektif. Keterampilan ini mencakup kemampuan dasar seperti menggunakan komputer atau ponsel pintar, menjelajah internet, menggunakan media sosial, dan mengelola informasi secara daring. Tanpa literasi digital yang memadai, potensi teknologi digital tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Selain itu, tantangan lain adalah ketersediaan konten yang relevan dan berbahasa lokal. Konten edukatif tentang pertanian dan isu-isu ketahanan pangan yang tersedia secara online seringkali masih terbatas dan tidak selalu tersedia dalam bahasa lokal yang dipahami oleh anggota KWT. Hal ini dapat menghambat pemahaman dan penerapan informasi yang disampaikan.
ADVERTISEMENT
Namun, di balik tantangan-tantangan tersebut, terbentang pula peluang yang sangat besar bagi KWT untuk memanfaatkan teknologi digital. Perkembangan teknologi yang pesat dan semakin terjangkaunya perangkat teknologi membuka peluang bagi KWT untuk mengatasi kesenjangan akses. Pemerintah dan pihak swasta dapat berperan penting dalam menyediakan infrastruktur telekomunikasi yang lebih merata dan terjangkau di seluruh wilayah Indonesia. Program subsidi atau bantuan perangkat teknologi juga dapat membantu KWT memiliki akses yang lebih mudah. Peluang dalam peningkatan literasi digital juga sangat terbuka. Program-program pelatihan dan pendampingan literasi digital yang dirancang khusus untuk kebutuhan KWT dapat diselenggarakan oleh pemerintah, LSM, perguruan tinggi, atau relawan. Pelatihan ini sebaiknya disesuaikan dengan tingkat pengetahuan dan kebutuhan anggota KWT, serta menggunakan metode pembelajaran yang partisipatif dan mudah dipahami.
ADVERTISEMENT
Pengembangan konten yang relevan dan berbahasa lokal juga merupakan peluang yang dapat dimaksimalkan. KWT dapat berkolaborasi dengan ahli pertanian, ahli gizi, atau content creator lokal untuk menghasilkan konten-konten edukatif yang informatif, menarik, dan mudah dipahami. Konten ini dapat disebarkan melalui berbagai platform digital, seperti media sosial, website, atau aplikasi pesan instan. Selain itu, peluang untuk berjejaring dan berkolaborasi dengan berbagai pihak secara daring juga semakin terbuka lebar. KWT dapat memanfaatkan platform digital untuk membangun kemitraan dengan organisasi petani lainnya, LSM, pemerintah, dan pihak swasta, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional (Castells, 2010). Kemitraan ini dapat membuka akses ke sumber daya, pengetahuan, dan peluang yang lebih luas.
Dengan mengatasi tantangan dan memanfaatkan peluang yang ada, KWT dapat memaksimalkan peran mereka dalam advokasi ketahanan pangan di era digital. Pemberdayaan KWT melalui teknologi digital bukan hanya sekadar mengikuti tren, tetapi merupakan investasi strategis untuk meningkatkan kesejahteraan petani perempuan dan mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan dan inklusif.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Peran Kelompok Wanita Tani (KWT) dalam advokasi ketahanan pangan telah bertransformasi secara signifikan di era digital. Dari sekadar wadah berbagi pengetahuan dan pengalaman antar perempuan petani, KWT kini memanfaatkan teknologi untuk memperluas jangkauan dan dampak advokasi. Platform daring dimanfaatkan untuk diseminasi informasi pertanian berkelanjutan dan gizi seimbang, membangun jejaring dan kolaborasi, serta mengadvokasi kebijakan. Transformasi ini menjadikan KWT sebagai agen perubahan yang lebih efektif, menjembatani berbagai pemangku kepentingan dan menyuarakan aspirasi komunitas secara lebih luas. Namun, efektivitas ini sangat bergantung pada akses dan literasi digital.
Sayangnya, meskipun potensi digital sangat besar, perhatian pemerintah terhadap KWT masih belum optimal. Program-program yang ada seringkali bersifat sporadis dan kurang terintegrasi, belum sepenuhnya menjawab tantangan mendasar seperti kesenjangan akses dan literasi digital yang merata. Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran spesifik untuk pemberdayaan KWT dalam bidang digital, membangun kemitraan strategis dengan berbagai pihak, dan melakukan pemetaan kebutuhan secara komprehensif. Lebih dari sekadar menyediakan infrastruktur, pemerintah perlu memastikan keberlanjutan program literasi digital, pengembangan konten lokal yang relevan, dan penguatan kelembagaan KWT. Tanpa perhatian yang lebih strategis dan berkelanjutan, potensi KWT dalam mewujudkan ketahanan pangan di era digital tidak akan tercapai secara maksimal.
ADVERTISEMENT
Referensi
Castells, M. (2010). The rise of the network society: The information age: Economy, society, and culture (Vol. 1). John Wiley dan Sons.
FAO. (2022). The State of Food Security and Nutrition in the World 2022.
Farnworth, C. R., Jiggins, J., dan Thomas, D. (2016). Gender, agriculture and rural livelihoods: Global trends and local realities. Routledge.
Howard, P. N. (2017). Network propaganda: Manipulation, disinformation, and radicalization in American politics. Oxford University Press.
Jungherr, A. (2016). Analyzing political communication with digital trace data. Springer.
Manto, R. A., Indriani, R., dan Saleh, Y. (2023). Peran Kelompok Wanita Tani (KWT) Terhadap Peningkatan Pendapatan Keluarga (Studi Kasus KWT Muda Mandiri Desa Dutohe Barat Kecamatan Kabila Kabupaten Bone Bolango). AGRI-SOSIOEKONOMI, 19(2), 761 –. https://doi.org/10.35791/agrsosek.v19i2.48301
ADVERTISEMENT
UN Women. (2023). Progress of the world’s women 2023-2024: Families in a changing world. UN Women.