Konten dari Pengguna

Merebut Suara dan Hati Pemilih Muda di Pemilu 2024

ardiansyahihsan87
Peneliti di Kolaborasi Institute, tertarik dengan isu-isu demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan pengembangan masyarakat berkelanjutan
27 November 2023 7:52 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ardiansyahihsan87 tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Gen Z yang suka berkumpul, berdiskusi, tapi cukup apatis dengan politik. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gen Z yang suka berkumpul, berdiskusi, tapi cukup apatis dengan politik. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
"The engagement of young minds in political discourse is the catalyst for societal transformation, a testament to the perpetual renewal of democratic ideals."
ADVERTISEMENT
- John Locke
***
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terjadi perubahan demografi yang signifikan menjelang Pemilu 2024, ditandai oleh peningkatan jumlah pemilih muda (generasi Z dan milenial) berusia 17-39 tahun yang mendominasi lebih dari 50 persen, namun tingkat partisipasi pemilih muda diprediksi akan lebih rendah dibandingkan dengan kelompok usia yang lebih tua. Faktor-faktor seperti ketidakpahaman terhadap proses politik, kurangnya kepercayaan terhadap sistem politik, dan rasa apatis seringkali menjadi penyebab utama rendahnya partisipasi ini.
Temuan Center for Strategic and International Studies (CSIS), misalnya. Studi yang dilakukan pada Agustus 2022 silam menemukan partisipasi pemilih muda pada pemilu 2019 sebesar 91,3%, memang mengalami kenaikan dari 85,9% pada pemilu 2014. Namun ketika berkaitan dengan pandangan, persentase anak muda yang menyatakan minatnya pada politik hanya 1,1%. Banyak pemilih muda yang ragu-ragu, pesimistis terhadap situasi politik dan kurang percaya pada elite politik.
Mahasiswa di Jakarta yang kadang tidak bisa memilih. Foto: Canva
ADVERTISEMENT
Kurangnya kepercayaan terhadap institusi politik dan partai politik menjadi salah satu faktor utama yang menghambat partisipasi pemilih muda. Rasa ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah dan kurangnya representasi pemuda dalam struktur politik juga menjadi penyebab rendahnya partisipasi.
Sebagai kelompok usia yang mendominasi pemilih di tahun 2024 yaitu sebesar 54% dari total 208,4 Juta Jiwa Daftar Pemilih Tetap (DPT), CSIS menangkap komitmen kaum muda pada demokrasi mengalami penurunan dibandingkan data yang dihimpun di 2018 lima tahun sebelumnya. Meskipun masih terkategori menunjukkan minat, kelompok usia muda yang dalam kategorisasi penelitian CSIS adalah populasi yang berusia 17-39 tahun (usia 17 tahun mengadopsi kategorisasi pemilih berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017, dan rentang 39 tahun mengadopsi batas usia populasi milenial yang didefinisikan Badan Pusat Statistik dalam Sensus Penduduk 2020), CSIS menilai respons dari generasi muda terkait ruang kebebasan untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah terbilang sempit, sementara di antara lembaga-lembaga negara, lembaga legislatif DPR menjadi yang paling mengalami krisis kepercayaan di antara responden muda. Ini bisa catatan kritis kita untuk memobilisasi partisipasi dan memaksimalkan potensi yang besar.
ADVERTISEMENT

Mengapa Pemilih Muda Kurang Aktif?

Ilustrasi pelajar SMA usia pemilih mula. Foto: canva
Beberapa pendapat mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi hambatan bagi partisipasi pemilih muda. Salah satu faktor utama adalah kurangnya pemahaman mereka terhadap sistem politik dan peran mereka dalamnya. Pemahaman mengenai demokrasi merupakan bekal yang sangat berguna bagi kelompok pemilih muda dalam menghadapi pemilihan umum yang diadakan.
Pendidikan politik yang kurang memadai di tingkat sekolah dan perguruan tinggi sering kali menyebabkan pemilih muda merasa terputus dari proses politik. Selain itu, masih banyak anak muda yang menganggap politik bukan bagian dari mereka dan juga politik itu identik dengan hal yang kotor.
Setidaknya itu menurut, Silvanus Alvin, Pengamat komunikasi politik dari Universitas Multimedia Nusantara. Ia berpendapat, bahkan generasi muda khususnya Gen Z sebenarnya tidak apatis terhadap permasalahan politik.
ADVERTISEMENT
Menurut Silvanus, anak-anak muda ini cukup melek politik karena terpapar banyak informasi lewat media sosial, namun masalahnya mereka memiliki preferensi sosok pemimpin ideal yang mereka inginkan. Sosok yang tidak memiliki rekam jejak korupsi, peduli akan isu-isu lingkungan dan melek teknologi, serta tahu cara memanfaatkannya untuk masa depan.
ADVERTISEMENT

Tidak Terpapar, atau Murni Apatis?

Ilustrasi guru muda di sekolah. Foto: Shutterstock
Ada dugaan gejala apatisme terhadap partisipasi pemilih muda ini dikarenakan representasi wakil rakyat hasil Pemilu sebelumnya masih sedikit yang berasal dari generasi muda, atau "jagoan" mereka dari kelompok usia di bawah 40 tahun banyak yang tumbang. Di satu sisi, wakil rakyat yang terpilih dari generasi tua ini “berjarak” dengan mereka sehingga banyak pemilih muda ini kemudian menyimpulkan, suara mereka hanya dimanfaatkan ketika momen pemilihan saja.
Besar kemungkinan, diskusi dan mindset yang berkembang di kelompok usia pemilih muda ini merasa ada semacam tidak tersedianya ruang aktualisasi untuk generasi muda, atau bahkan yang lebih parah, dugaan bahwa proses demokratisasi dibajak, dan dicurangi oleh generasi tua untuk melanggengkan kekuasaannya.
ADVERTISEMENT

Sosialisasi Melalui Teknologi dan Media Sosial

Selain beberapa hal di atas, peran media sosial dalam membentuk opini politik pemilih muda juga patut dipertimbangkan. Meskipun media sosial dapat menjadi alat yang efektif untuk memobilisasi, namun seringkali informasi yang disajikan di sana bersifat selektif dan kurang akurat. Hal ini dapat memperdalam kesenjangan pemahaman pemilih muda tentang isu-isu politik dan kandidat yang bersaing.
Perlu penetrasi yang lebih luas dan masif khususnya oleh penyelenggara pemilu untuk mensosialisasikan terkait pemilu, kandidat, program, dan urgensi dari partisipasi pemilih muda menggunakan platform-platform digital khususnya media sosial. Jangan sampai media sosial malah menjadi ajang provokasi atau kampanye hitam yang memang marak digunakan oleh oknum-oknum tertentu menjelang momen Pemilu, baik itu untuk memecah atau memobilisasi suara ke kandidat, partai, atau kepentingan golongan tertentu.
ADVERTISEMENT
Beberapa negara telah berhasil meningkatkan partisipasi pemilih muda melalui berbagai strategi. Misalnya Pemilu di Australia 2019 yang lalu di mana penyelenggara pemilu menerapkan registrasi otomatis pemilih pada usia 18 tahun, menggunakan kampanye media sosial yang berfokus pada isu-isu yang relevan bagi pemilih muda, serta melibatkan selebriti dan tokoh masyarakat yang populer untuk meningkatkan daya tarik.
Hasilnya cukup signifikan baik secara persentase maupun konstelasi politik. Diskusi tentang pemilih muda semakin maju di negara Australia. Beberapa pihak di sana terkini bahkan mengajukan penurunan usia pemilih muda, dari yang sebelumnya minimal di usia 18 tahun, diajukan di minimal 16 tahun.
Atau, Pemilu parlemen di Belanda pada tahun 2021 lalu, di tengah isu Covid-19 yang begitu masif, Belanda akhirnya menemukan model strategi pendekatan menggunakan teknologi digital/online untuk memberikan informasi dan materi kampanye yang mudah diakses, menerapkan sistem pemilihan yang lebih fleksibel, termasuk pemungutan suara dini dan surat suara pos, membuat platform partisipasi online untuk memungkinkan pemilih muda berpartisipasi dalam perumusan kebijakan.
ADVERTISEMENT
Model yang sukses biasanya melibatkan kombinasi upaya pendidikan politik, pemanfaatan teknologi, dan inklusi isu-isu yang relevan bagi pemuda dalam platform politik. Pendidikan politik yang dimulai sejak dini di sekolah telah terbukti efektif dalam meningkatkan pemahaman pemilih muda tentang sistem politik dan dampak pilihannya.
Selain itu, kampanye yang memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk membangun kesadaran politik juga telah sukses dalam menjangkau pemilih muda yang lebih luas. Dengan semakin baiknya infrastruktur digital di Indonesia, akses terhadap informasi menjadi lebih mudah.
Ini membuat pemilih muda sekarang cenderung memiliki literasi yang lebih baik terhadap informasi. Teknologi juga memungkinkan pemilih muda mengakses sumber informasi alternatif penyeimbang informasi diluar media-media konvensional.
Bahkan jika kita ingin lebih berani, mari berikan ruang yang lebih luas untuk generasi muda ini masuk dalam panggung politik riil dengan cara mengadopsi mekanisme pemilihan yang lebih inklusif, atau memberikan kuota khusus untuk pemuda dalam partai politik.
ADVERTISEMENT
Langkah-langkah ini dapat memberikan insentif lebih besar bagi pemilih muda untuk terlibat secara aktif dalam politik. Sebagai tambahan, penting juga untuk mempertimbangkan relevansi gender dalam partisipasi pemilih muda.

Seberapa Efektif Menitikberatkan Kampanye Presiden 2024 dengan Menargetkan Gen Z dan Milenial?

Ilustrasi Mahasiswa baru selesai nyoblos. Foto: Canva
Jawabnya belum tentu. Kita mesti merujuk kepada preferensi dan juga kesiapan dari masing-masing kandidat ini mengemas program politiknya dalam bahasa yang lebih aplikatif dan dimengerti oleh pemilih muda, dan tepat pada saluran platform komunikasi yang mereka sering gunakan. The right program, on the right channel. Perkara ada gimmick menggunakan tools kecerdasan buatan misalnya, chants atau jargon yang kekinian, atau lewat proaktifnya para admin akun media social partai atau kandidat menyapa langsung milenial dan gen-z yang hari-harinya memantau media sosial, akan cepat tertanam branding tersendiri dalam benak pemilih muda ini.
ADVERTISEMENT
Akhirnya kita merujuk kepada kesimpulan bagaimana merebut suara dan hati pemilih muda ini, di tengah isu masih bingung dan tidak percayanya mereka kepada instrumen politik. Seluruh strategi kampanye para kandidat Capres-Cawapres harus mempertimbangkan konteks politik dan sosial yang berubah dengan cepat. Pemahaman mendalam tentang dinamika pemilih muda dan respons terhadap isu-isu yang lagi happening akan menjadi kunci keberhasilan kampanye.
Berikut beberapa saran yang bisa menjadi pedoman kampanye ke publik berdasarkan data tersebut:
Fokus pada Integritas dan Anti-Korupsi:
Ilustrasi menolak sogokan. Foto: Canva
Pemilih muda cenderung mengutamakan pemimpin yang jujur dan anti-korupsi. Oleh karena itu, kampanye harus menekankan integritas kandidat dan komitmennya untuk melawan korupsi. Pesan yang menyoroti catatan bersih dan tindakan konkret untuk memerangi korupsi dapat menjadi kunci untuk menarik perhatian dan dukungan pemilih muda.
ADVERTISEMENT
Gunakan Media Sosial Secara Efektif:
Dengan mayoritas pemilih muda menggunakan media sosial sebagai sumber utama informasi politik, kampanye harus memiliki strategi yang efektif di platform seperti Instagram, YouTube, X, Tiktok, dan Facebook. Konten yang kreatif, berfokus pada isu-isu yang penting bagi pemilih muda, dan interaksi langsung dengan audiens dapat membantu membangun dukungan melalui media sosial.
Pahami Isu-isu yang Penting Bagi Pemilih Muda:
Kampanye harus memahami dengan baik isu-isu yang penting bagi pemilih muda, termasuk isu-isu sosial, lingkungan, dan ekonomi. Pemimpin yang dapat memberikan solusi yang konkret dan realistis terhadap masalah-masalah ini kemungkinan besar akan mendapatkan dukungan.
Terlibat dengan Pemilih Muda Secara Langsung:
Ilustrasi pemuda yang suka dilibatkan Foto: Canva
Pemilih muda menunjukkan minat tinggi untuk terlibat dalam inisiatif rakyat. Oleh karena itu, kampanye dapat merancang strategi untuk terlibat langsung dengan pemilih muda, termasuk melibatkan mereka dalam dialog, forum, atau kegiatan partisipatif lainnya. Menciptakan ruang untuk mendengarkan aspirasi pemilih muda dapat meningkatkan keterlibatan mereka dalam proses politik.
ADVERTISEMENT
Sesuaikan Pesan dengan Perubahan Preferensi Pemilih Muda:
Mengingat adanya pergeseran preferensi terhadap karakter kepemimpinan, kampanye harus menyesuaikan pesan untuk mencerminkan nilai-nilai yang diinginkan oleh pemilih muda. Komunikasi yang autentik dan mencerminkan kepribadian yang lebih jujur dan dekat dengan rakyat dapat menjadi kunci kesuksesan.
Beri Penekanan pada Keterlibatan Pemilih Muda dalam Pemilu:
Dengan tingkat partisipasi yang tinggi dalam pemilihan umum, kampanye harus memberikan penekanan pada pentingnya pemilih muda dalam membentuk arah politik negara. Kampanye ini bisa memotivasi pemilih muda untuk menggunakan hak suara mereka dan merasa bahwa partisipasi mereka memiliki dampak positif.
Bersiap untuk Transparansi:
Dengan tingginya penggunaan media sosial sebagai sumber informasi politik, kandidat harus bersiap untuk tingkat transparansi yang tinggi. Memberikan informasi yang jelas, menjawab pertanyaan dengan tegas, dan berkomunikasi secara terbuka dapat membangun kepercayaan pemilih.
ADVERTISEMENT
***