Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Fenomena Gimmick dalam Potret Dramaturgi di Media Sosial
30 Juni 2024 13:21 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Ares Faujian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di era digital yang serba cepat dan terhubung, media sosial telah menjadi panggung tempat individu, komunitas, institusi, ataupun organisasi dalam mendeskripsikan identitasnya dan membentuk perspektif warganet. Fenomena gimmick atau disebut pula strategi manipulatif untuk menarik perhatian sosial di dunia maya, telah menjadi praktik umum di Instagram, TikTok, Twitter (X), Facebook, dan media sosial lainnya. Hal ini tentu untuk menarik jumlah likes, subscribers, followers, viewers, komentar, hingga melakukan share.
ADVERTISEMENT
Fenomena gimmick ini bisa dianalisis melalui teori dramaturgi, yaitu teori dari sosiolog Erving Goffman dalam karyanya yang berjudul "The Presentation of Self in Everyday Life" (1959). Dalam teori ini, Goffman mengilustrasikan bahwa interaksi sosial yang terjadi di media sosial diibaratkan sebagai drama teater.
Gimmick
Mengenai gimmick, gimmick atau dalam bahasa Indonesia disebut gimik, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Verisi VI (KBBI VI) adalah gerak-gerik tipu daya aktor untuk mengelabui lawan peran, atau disebut juga sesuatu (alat atau trik) yang digunakan untuk menarik perhatian. Dalam perspektif film, gimik dalam KBBI VI ini diartikan sebagai sudut pengambilan khusus untuk menarik perhatian pemirsa dalam produksi program siaran.
Anton Mabruri K.N. menjelaskan bahwa gimmick adalah trik-trik yang digunakan untuk menarik perhatian penonton, yang mana trik-trik ini mencakup efek suara, musik ilustrasi, adegan mengejutkan, mimik, ekspresi, dan akting pemain, kelucuan (jokes), teknik pengeditan, serta pergerakan suara (Mabruri. K.N., 2018). Gimik ini terjadi dengan sifatnya yang sementara, namun dampaknya bisa cukup signifikan dalam jangka pendek.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh gimik yang pernah terjadi adalah fenomena Ice Bucket Challenge pada tahun 2014. Tantangan pada fenomena ini melibatkan seseorang yang menuangkan ember es ke atas kepalanya, kemudian menantang orang lain untuk melakukan hal yang sama atau menyumbangkan untuk amal. Walaupun beberapa orang memandangnya sekadar tren sosial yang aneh dan di luar nurul (nalar), namun fenomena ini sempat berhasil mengumpulkan jutaan dolar untuk penelitian dan amal untuk penyakit saraf, yakni ALS (Amytrophic Lateral Sclerosis). Bahkan, tren sosial ini diikuti oleh artis hingga pesepakbola internasional, seperti Taylor Swift, Justin Bieber, Cristiano Ronaldo, Messi, Beckham, Neymar, dsb.
Selain itu, ada pula gimik pemasaran yang terjadi pada Coca-Cola's "Share a Coke" Campaign tahun 2015. Coca-Cola mengganti label pada botol mereka dengan nama-nama orang. Misalnya, Nurul, Fikri, Agus, Ade, Angga, Rina, Dian, Ayu, dsb. Hal ini mengundang pelanggan untuk mencari nama mereka dan atau berbagi minuman dengan teman-teman mereka yang memiliki nama sesuai nama di botol tersebut. Hal ini sempat viral di media sosial, karena melibatkan pelanggan secara pribadi dan menciptakan pengalaman emosional dan bermakna. Alhasil, pembelian produk ini bertambah banyak pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Gimmick di media sosial acap kali mencakup taktik dan strategi dramatis, seperti membuat konten sensasional, konten unik, konten kontroversial, hingga terjadinya pengaturan adegan (staging) yang disengaja. Hal ini dilakukan guna menciptakan ilusi yang dramatis, yaitu sesuai keinginan pembuat skenario.
Teori Dramaturgi
Adalah Erving Goffman, seorang sosiolog terkemuka abad ke-20 yang memberikan fondasi modern bagi konsep dramaturgi ini. Dalam karyanya yang terkenal, yaitu "The Presentation of Self in Everyday Life" tahun 1959, Goffman menggambarkan kehidupan sosial sebagai sebuah pertunjukan atau drama. Pertunjukan ini diilustrasikan seorang individu atau kelompok yang memiliki peran seperti aktor di panggung pementasan (teater).
Dalam literatur tersebut, Goffman menitikberatkan pada bagaimana individu atau sekelompok orang mengontrol kesan yang mereka berikan kepada orang lain. Selain itu, Goffman juga menyebutkan bahwa teori dramaturgi ini memainkan peran orang-orang atau peristiwa tertentu agar sesuai dengan situasi yang diharapkan pembuat alur cerita (skenario). Teater ini mendeskripsikan bahwa seorang individu berusaha mengontrol impresi yang mereka berikan kepada orang-orang lainnya.
ADVERTISEMENT
Dalam pertunjukan yang dimaksud oleh Goffman ini, terdapat front stage dan back stage. Menurut Goffman (1959), "front stage" atau panggung di depan yang tampak adalah tempat individu melakukan peran yang dipersiapkan untuk umum. Selain itu ada "back stage" atau di balik layar, yakni tempat persiapan dan penataan yang tidak terlihat oleh penonton.
Gimmick sebagai Dramaturgi di Media Sosial
Dalam menganalisis fenomena gimmick (gimik), teori dramaturgi menawarkan kerangka yang berguna untuk memahami bagaimana identitas dan citra yang dikonstruksi dan dikomunikasikan di media sosial. Dengan memahami dinamika ini, kita dapat lebih kritis dan mendalami arti mengonsumsi dan memproduksi konten di media sosial.
Di dunia media sosial, pengguna (user) sering kali menyusun dan mengelola citra diri mereka secara strategis, serupa dengan aktor yang mempersiapkan perannya di atas panggung. Media sosial memberikan platform di mana individu dapat menyajikan "front stage" mereka, yaitu bagian diri yang ingin mereka tampilkan kepada publik, dan "back stage", tempat di mana mereka dapat bersantai dan menjadi diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Di media sosial, perbedaan antara front stage dan back stage menjadi sedikit blur. Hal ini dikarenakan pengguna media sosial sebagian menampilkan versi diri mereka yang telah disunting (edit) dan dipoles untuk mempertahankan label tertentu, serta untuk mendapatkan perhatian kalangan tertentu pula. Namun yang sudah biasa dan rutin terlibat membuat konten tertentu atau bahkan yang mungkin memiliki “centang biru” di akunnya, pasti mengetahui betapa sulitnya mencapai level itu dan memikirkan konten harian apa yang akan dibuat. Ini pengecualian untuk akun centang biru berbayar, yang kurang aktif memproduksi konten.
Gimik dapat dianggap sebagai alat dramaturgis yang digunakan oleh individu atau organisasi untuk memperkuat citra mereka di media sosial. Penelitian yang dilakukan oleh Dina Dwika Oktora (2020) berjudul "Gimmick in The Reality Show Rumah Uya" menemukan bahwa dalam acara ini, gimmick tidak hanya berupa efek suara, tetapi juga rekayasa akting para talent dengan dialog-dialog yang cenderung vulgar dan menampilkan perilaku kurang sopan. Penelitian ini menyebutkan ihwal ini melanggar regulasi penyiaran yang berlaku, yaitu kebijakan yang diatur oleh Komisi Penyiaran Indonesia. Penelitian ini mendeskripsikan adanya penambahan gimmick pada program reality show diperbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan kesusilaan, hukum, dan peraturan yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ada pula jurnal yang ditulis oleh Made Arini Hanindharputri, dkk. (2024) berjudul “Analisis Konten Visual Instagram Perguruan Tinggi Sebagai Upaya Pembentukan Citra Untuk Generasi Tertarget”. Hasil analisis penelitian ini menunjukkan perbedaan preferensi visual antar generasi, yang mana generasi milenial lebih menyukai konten autentik yang menekankan keterlibatan, sedangkan generasi Z cenderung tertarik pada konten yang informatif dan kreatif. Sementara itu, riset ini juga menyebutkan bahwa generasi baby boomer lebih responsif terhadap konten yang menyoroti prestasi akademik dan nilai-nilai tradisional.
Riset ini mendeskripsikan bahwa memahami preferensi generasi ini secara mendalam memberikan potensi positif pada perguruan tinggi untuk mengoptimalkan strategi komunikasi mereka di Instagram. Hal ini membantu mereka mencapai tujuan perekrutan mahasiswa, memperkuat hubungan dengan alumni, dan meningkatkan citra institusi di era digital ini.
ADVERTISEMENT
Fenomena gimmick di media sosial melalui teori dramaturgi ini membantu memahami bagaimana identitas dan citra dikonstruksi dan dikomunikasikan. Pengguna media sosial sebagai konten kreator seperti aktor di panggung, mereka menyusun dan mengelola citra diri untuk mendapatkan umpan balik dan tujuan yang diinginkan. Misalnya untuk promosi, popularitas, keuangan, hobi, hingga eksistensi. Memahami dinamika ini, memungkinkan kita menganalisis mengenai konsumsi dan produksi konten di media sosial, serta pentingnya strategi yang tepat untuk membangun dan mempertahankan citra di era digital.