Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menavigasi Tantangan Multikultural Melalui Culturally Responsive Pedagogy
24 April 2024 10:36 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Ares Faujian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sungguh tak mudah menjadi Bangsa Indonesia, bangsa yang multikultural. Keberagaman multikultural menjadi konsekuensi logis dari pulau-pulau yang kian banyak jumlahnya. Mulai dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua. Belum lagi pulau-pulau yang berukuran besar hingga kecil lainnya. Wajar jika Indonesia salah satu negara yang memiliki banyak budaya dan bahasa di dalamnya. Data BPS tahun 2010 saja menyebutkan ada 1.340 suku bangsa di Indonesia. Untuk bahasanya ada 718 bahasa daerah, menurut laman resmi Badan Bahasa Kemdikbud-Ristek RI (2021).
ADVERTISEMENT
Tantangan multikultural ini bukan perkara perbedaan semata. Namun yang namanya “perbedaan”, pastinya akan memantik perseteruan hingga pertikaian. Orang-orang yang cenderung memiliki kesamaan, akan bersatu membentuk kelompok sosial. Namun orang-orang yang berbeda, berpotensi akan berpisah. Maka dari itu, perlulah suatu konsep atau pendekatan pendidikan di sekolah yang mampu membelajarkan kita, untuk mengerti bahwa secara pribadi, situasi, kondisi, hingga kodrat, bahwa manusia itu memiliki ragam perbedaan.
Tulisan ini berawal dari pokok bahasan penugasan ketika perkuliahan Magister Pendidikan IPS UNY (April 2024), dalam penugasan mata kuliah Pengembangan Startegi Pembelajaran Sosiologi yang diampu Dr. Sudrajat, M.Pd. Pada perkuliahan ini, penulis mempresentasikan mengenai bagaimana Strategi Pembelajaran Sosiologi berorientasi pada Culturally Responsive Pedagogy atau CRP.
Setelah mengkaji pendekatan ini, penulis pikir ihwal ini wajib diketahui oleh publik. Karena pendekatan ini tidak hanya mengajarkan edukasi diversity (keberagaman) hingga toleransi. Namun, bagaimana agar peserta didik di sekolah bisa memahami budaya asalnya sendiri, termasuk budaya di tempat ia berada sekarang. Dr. Sudrajat, M.Pd. menjelaskan bahwa saat ini CRP sedang diajarkan pada Pendidikan Profesi Guru (PPG) dan sangat kontekstual dengan Indonesia. Beliau mengajar untuk materi ini pada PPG di UNY.
ADVERTISEMENT
Culturally Responsive Pedagogy (CRP) dikenal dengan nama lain Pendidikan Tanggap Budaya atau Pendidikan Responsif Budaya. CRP ini juga disama artikan pada beberapa istilah yang memiliki esensi serupa, yaitu Cullturally Relevant Pedagogy dan Culturally Responsive Teaching. Beberapa ahli yang berpengaruh pada gagasan pendekatan ini yaitu, Geneva Gay, Ginsberg, Wlodkowski, hingga Ladson-Billing. Al Musanna (2011) menyebutkan bahwa pendekatan ini digagas oleh Geneva Gay dalam bukunya Culturally Responsive Teaching: Theory, Research and Practice (2000) dan berkembang pada awal tahun 2000-an.
Ginsberg dan Wlodkowski (2009) dalam Al Musanna (2011) menyebutkan, Culturally Responsive Pedagogy (CRP) adalah praksis (teori dan aplikasi) pendidikan yang menekankan pada keterkaitan antara pendidikan dan dimensi sosial budayanya. Penekanan pada kultur peserta didik dan komunitas, tidak semata dijadikan sebagai upaya mendekatkan peserta didik dengan konteksnya, tetapi lebih dari itu, diharapkan dapat menjembatani munculnya kesadaran peserta didik terhadap identitas budayanya.
ADVERTISEMENT
Ginsberg dan Wlodkowski menambahkan bahwa perbedaan budaya yang sebelumnya dipandang sebagai penghalang prestasi dan interaksi, diganti dengan persepsi harmoni yang menempatkan diversitas budaya sebagai kekuatan untuk merangkum perbedaan gaya belajar. Melalui praksis CRP, guru dituntut melakukan elaborasi terhadap berbagai dimensi budaya yang dimiliki peserta didik, dan menjadikannya sebagai pijakan dalam memperkaya interaksi pembelajaran.
CRP atau Pendidikan Tanggap Budaya ialah pendekatan pendidikan yang teoritis, yang memiliki tujuan untuk meningkatkan prestasi peserta didik, dengan fokus membantu mereka menerima dan memperkokoh identitas budayanya. Ada tiga proporsi CRP menurut Ladson-Billing (1995: 164) dalam Al Musanna (2011), antara lain:
ADVERTISEMENT
Dalam konteks CRP, guru memiliki peranan penting dalam edukasi pendekatan ini di sekolah. Dalam hal ini, pendidik harus mampu memahami latar belakang siswa, menghargai perbedaannya, merelevansikan budaya dalam pembelajaran, dan dengan tujuan untuk peningkatan prestasi peserta didik.
Geneva Gay (2000) menyebutkan bahwa Culturally Responsive Teaching harus diimplementasikan di kelas. Karena pendekatan ini mampu mengembangkan pengetahuan berbasis keberagaman budaya, termasuk etnik dan konten kurikulum mengenai keberagaman budaya tersebut. Selanjutnya, Gay menyebutkan bahwa pendekatan ini juga mendemonstrasikan perhatian dan membangun pembelajaran berbasis komunitas. Tidak hanya itu, pendekatan ini juga mampu mengomunikasikan keberagaman etnik pada siswa, serta merespon hal tersebut di dalam pembelajaran.
Villegas dan Lucas (2002: 22) dalam Al Musanna (2011) mendeskripsikan karakteristik guru yang tanggap budaya. Guru tanggap budaya ini memiliki ciri-ciri, antara lain:
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana pembelajaran yang berorientasi pada CRP? Penulis pikir, CRP ini memiliki kemiripan dengan pembelajaran berdiferensiasi yang diterapkan pada Kurikulum Merdeka. Karena CRP dan pembelajaran berdiferensiasi memiliki fokus pada konteks keberagaman siswa. Yang membedakannya ialah penekanan aspek budaya, untuk di CRP itu sendiri. Sehingga apabila dipadukan, pembelajaran berdiferensiasi akan lebih kontekstual Indonesia jika diimplementasikan dengan pendekatan Pendidikan Tanggap Budaya atau CRP.
Karakteristik pembelajaran yang berorientasi CRP dilakukan dengan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Artinya, pembelajaran ini menempatkan siswa sebagai pusat pembelajaran, dengan mengakomodasi latar belakang, minat, dan gaya belajar mereka. Selanjutnya, mengintegrasikan budaya siswa dalam pembelajaran. Pembelajaran ini dilakukan dengan memasukkan dan mengakui keberagaman budaya siswa, sehingga mereka merasa dihargai dan termotivasi untuk terlibat secara aktif. Tidak hanya itu, pembelajaran juga harus kontekstual dan relevan (kekinian). Artinya, materi dan metode pembelajaran yang disajikan oleh guru dihubungkan dengan kehidupan nyata siswa, budayanya, dan budaya tempat ia tinggal, sehingga mereka dapat melihat relevansi dan kegunaan materi dalam kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Menavigasi tantangan multikultural melalui CRP adalah tugas guru, sekolah, orang tua, dinas terkait, pemerintah daerah, dan seluruh elemen masyarakat. Karena “anak” adalah tanggung jawab kita bersama, yang melanjutkan harmoniasi di antara perbedaan-perbedaan yang ada. Guru sebagai pemimpin pembelajaran hanya mampu bertanggung jawab ketika siswa berada di sekolah. Selanjutnya, anak akan kembali ke pangkuan orang tua dan dididik pula oleh kebiasaan masyarakatnya. Maka dari itu, Pendidikan Tanggap Budaya wajib dimengerti dan diterapkan bersama, tidak hanya di sekolah.
Banyaknya kasus intoleransi dan perundungan (bullying) di Indonesia menjadi fakta sosial bahwa harmonisasi perbedaan tidak terjalin dengan baik. Banyak yang merasa budayanya paling baik, karena budayanya dominan di suatu tempat. Ada juga yang merasa tidak bisa menerima keberadaan suku lain, karena perilakunya tidak sesuai dengan budayanya.
ADVERTISEMENT
Hal-hal ini patut menjadi catatan kita bersama. Oleh karena itu, tantangan multikultural ini harus dinavigasi dengan baik, dan sekolah adalah pusat percontohan pertama sebelum CRP diekspansikan ke orang tua hingga masyarakat melalui sosialisasi serta pendampingan oleh satuan pendidikan tersebut. Semoga pendidikan kita semakin bermartabat dan berkarakter Pancasila melalui Culturally Responsive Pedagogy ini.
-Ares Faujian, Agen Penguatan Karakter Kemdikbud-Ristek RI
Referensi:
Gay, Geneva. 2000. Culturally Responsive Teaching: Theory, Research, and Practice. New York: Teachers College Press.
Musanna, Al. 2011. "Model Pendidikan Guru Berbasis Ke-Bhinekaan Budaya di Indonesia" dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17 No. 4, hal. 383-390