Konten dari Pengguna

Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan Indonesia

Ares Faujian
Guru Inovatif Nasional 2020 (KEMDIKBUD) & 2023 (Penerbit Erlangga) - Agen Pusat Penguatan Karakter (PUSPEKA) KEMDIKBUDRISTEK - Fasilitator Literasi Regional Sumatra BADAN BAHASA - Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sosiologi Kab. Belitung Timur
9 Agustus 2021 20:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ares Faujian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi pelajar SMA. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pelajar SMA. Foto: Shutter Stock
Memasuki tahun pelajaran baru (2021/2022), menjadi hal yang menarik dan sentilan keras bagi kita berkenaan “Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan Indonesia”. Karena, hampir di setiap webinar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI (Kemendikbud-Ristek RI), Mas Menteri Nadiem Makarim, selalu menyinggung dosa-dosa besar yang selalu mewarnai dunia pendidikan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Perihal tiga dosa besar ini pernah ia ungkapkan pada webinar “Perempuan Pemimpin dan Kesetaraan Gender” dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret 2021, dan webinar bertajuk “Puasa, Kemanusiaan, dan Toleransi” pada 8 Mei 2021. Tidak hanya di situ semata, ihwal ini pun penulis dengar langsung secara daring dari beliau, ketika mengikuti Diskusi Kelompok Terpumpun Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbud-Ristek RI pada 26-28 April 2021 di Bekasi, Jawa Barat.
Menyambut usia Indonesia yang ke-76 tahun, tentunya tiga dosa besar di dunia pendidikan ini patut menjadi kajian mendalam serta refleksi bagi kita bersama akan masa depan bangsa. Bahwa, perihal ini tentunya akan mengganggu sistem pendidikan nasional yang sedang berlangsung, yaitu stabilitas proses pendidikan siswa di sekolah, tumbuh kembang anak secara intelektual, emosional, spiritual, dan sosial, termasuk mewujudkan harapan Generasi Emas 2045, yaitu Profil Pelajar Pancasila.
ADVERTISEMENT

Intoleransi

Intoleransi ialah dosa yang disebutkan pertama kali terkait tiga dosa besar di dunia pendidikan Indonesia oleh Mas Menteri. Intoleransi adalah praktik sosial yang sampai saat ini masih menjadi penyebab tindakan-tindakan amoral lainnya. Misalnya perisakan, konflik, hingga kekerasan. Nadiem Makarim dalam webinar “Puasa, Kemanusiaan, dan Toleransi” menyampaikan, “Pendidikan harusnya bebas dari intoleransi, karena kreativitas, nalar kritis, dan inovasi hanya dapat berkembangkan jika peserta didik dan pendidik di seluruh Indonesia belajar dengan merdeka tanpa paksaan dan tekanan. Itulah esensi dari Merdeka Belajar," ucap Mas Menteri dalam webinar tersebut.
Menurut KBBI, intoleransi adalah ketiadaan tenggang rasa. Di mana, keadaan seperti ini dapat diartikan sebagai sikap yang tidak menghargai dan menghormati orang lain. Terkhusus yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia, kasus-kasus intoleransi ini lebih mengarah kepada ihwal keagamaan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data dari kompas.com pada artikel “Kumpulan Kasus Intoleransi di Sekolah” oleh Dian Ihsan (26/01/2021), kasus seperti yang dimaksud pernah terjadi di Bali tahun 2014, yaitu pelarangan menggunakan jilbab/ hijab di SMPN 1 Singaraja dan SMAN 2 Denpasar. Selanjutnya, kasus pelarangan berhijab terjadi pula pada tahun 2017 di SMAN 1 Maumere dan tahun 2019 di SD Inpres 22 Wosi Manokwari. Tak cukup itu saja, pada tahun 2020 terjadi perisakan kepada siswi yang tidak memakai kerudung oleh siswa aktivis Rohis di SMAN 1 Gemolong Sragen. Hingga, pada awal tahun 2021 terjadi pula kasus viral intoleransi. Yang mana, kesalahan interpretasi peraturan sekolah dari pihak tertentu di tempat tersebut, yang menjadikan siswi wajib memakai jilbab di SMKN 2 Padang Sumatra Barat.
ADVERTISEMENT
Sejatinya secara hukum, Pasal 3 Ayat 4 Permendikbud No. 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah telah menyebutkan bahwa, pakaian seragam khas diatur oleh masing-masing sekolah dengan tetap memperhatikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya masing-masing. Lalu, mengapa kasus-kasus intoleransi seperti ini masih terus saja terjadi?

Perundungan

Perundungan atau perisakan ialah hal yang hampir terjadi di setiap sekolah, baik itu dalam skala yang kecil, sedang, hingga besar/ berat. Berdasarkan KBBI, perundungan diartikan sebagai proses, cara, perbuatan merundung. Di mana, merundung merupakan perbuatan yang mengganggu, mengusik secara terus-menerus, hingga perilaku yang menyusahkan seseorang. Merundung (KBBI) juga diartikan sebagai perbuatan yang menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis, dalam bentuk kekerasan verbal, sosial, atau fisik berulang kali dan dari waktu ke waktu. Misalnya memanggil nama seseorang dengan julukan yang tidak disukai, memukul, mendorong, menyebar rumor, mengancam, atau merongrong. Kunci dari tindakan yang dikategorikan rundung ini adalah dilakukan secara terus-menerus oleh seseorang/ kelompok untuk menyakiti pihak tertentu, bahkan hingga menimbulkan kematian.
ADVERTISEMENT
Data kasus perundungan (bullying) di Indonesia sama halnya dengan kasus intoleransi, banyak! Berdasarkan data kompas.com yang ditulis oleh Andi Hartik (10/02/2020), salah satu kasus perundungan ini misalnya yang terjadi di SMPN 16 Malang. Dalam kasus ini, kepala sekolah dan wakil kepala sekolahnya dipecat gegara kejadian yang berbuntut pada kekerasan anak usia 13 tahun hingga masuk rumah sakit. Perundungan ini pun diindikasi karena faktor kelalaian pihak sekolah. Di tahun 2021 sendiri, ada pula kasus di salah satu SMP di Cilacap, yang ternyata kasus ini kembali bermuara seperti kasus-kasus lainnya, yakni kekerasan.
Di masa pandemi COVID-19 seperti ini tak menutup kasus bullying tetap terjadi. Ya, cyberbullying atau perundungan siber/ daring melalui media sosial acap kali beredar beritanya di media massa. Dalam web http://ditpsd.kemdikbud.go.id/ (2020) menyebutkan bahwa, public figure dan orang yang memiliki banyak followers di instagram dapat menjadi target cyberbullying, begitulah ungkap psikolog sekaligus dosen UGM, Novi Puspita. Artinya, dalam hal ini siswa yang populer di sekolah atau media sosial, dan yang memiliki keunikan/ perbedaan mencolok melalui posting-an, sering kali menjadi korban bullying.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, keberadaan peraturan perundang-undangan dan eksekusinya menjadi pertanyaan besar. Dalam hal ini Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, UU Perlidungan Anak, hingga UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) masih belum masif disosialisasikan dan diterapkan di nusantara. Terutama di kalangan satuan pendidikan itu sendiri.

Kekerasan Seksual

Kekerasan atau violence menjadi warna kelam yang menyelimuti dunia pendidikan Ibu Pertiwi. Aksi kekerasan (KBBI) merupakan perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Awalnya aksi ini adalah praktik intoleransi, kemudian menjadi perisakan, berlanjut pada kekerasan, dan akhirnya berujung pada luka bahkan kematian.
ADVERTISEMENT
Kekerasan tidak hanya dalam kategori fisik dan verbal, namun ada pula kekerasan seksual. Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, jenis kekerasan seksual merupakan kekerasan yang dilakukan untuk memuaskan hasrat seks (fisik) dan verbal (non fisik). Secara fisik misalnya pelecehan seksual, yakni meraba, menyentuh organ seks, mencium paksa, memaksa berhubungan seks dengan pelaku atau orang ketiga, memaksa berhubungan intim. Sedangkan verbal, seperti membuat komentar, julukan, atau candaan porno yang sifatnya mengejek, berikut pula membuat ekspresi wajah, gerakan tubuh, atau pun perbuatan seksual lain yang sifatnya melecehkan dan atau menghina korban.
Dari data yang dirilis oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2019, sebanyak 89 siswa SD, SMP, dan SMA/SMK telah menjadi korban kekerasan seksual. Para korban ini terdiri dari 55 anak perempuan dan 34 anak laki-laki. Mayoritas pelaku kekerasan seksual ini adalah guru sebanyak 88%, dan 22% sisanya dilakukan kepala sekolah. Untuk kategori guru, yang paling banyak melakukan praktik penyimpangan ini adalah guru olahraga dan diikuti oleh guru agama. Hal ini jelas disampaikan oleh Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, yakni Retno Listyarti saat launching buku Catatan Akhir Tahun Pendidikan 2019 di Hotel Rivoli, Jakarta Pusat (dikutip dari kumparan.com, 2019).
ADVERTISEMENT
Penuh rasanya otak memikirkan dan membayangkan tiga dosa besar ini. Apalagi hal ini terjadi di sekitar kita dan dilakukan pihak-pihak yang familiar, yakni oleh siswa, guru, hingga kepala sekolah. Lengkap! Semua elemen utama internal sekolah ada di dalamnya.
Dalam menyambut usia ke-76 tahun Republik Indonesia, tiga dosa besar dunia pendidikan ini seharusnya bukan hanya menjadi PR di lingkup Kemendikbud-Ristek RI. Akan tetapi, ihwal ini menjadi PR besar bangsa. Ya, kita! Kita yang ada di bumi nusantara ini, yakni semua elemen mulai dari elemen internal sekolah, keluarga, masyarakat, hingga lembaga-lembaga yang berwenang dan pranata yang tak terkait secara langsung. Di mana, semua elemen ini harusnya bisa berkolaborasi dan serentak bergerak dalam memberantas kegaduhan sosial ini.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa solusi yang bisa kita lakukan terkait problematika besar Indonesia ini. Dari tingkat individu, perihal ini menjadi informasi penting bagi kita agar lebih meningkatkan kepekaan sosial di lingkungan sekitar, termasuk jika hal ini terjadi di lingkungan pertemanan dan keluarga kita. Dari tingkat keluarga, para orang tua bisa bertanya dengan pendekatan persuasif kepada anaknya berkenaan hal-hal yang menjanggal dan malu/ takut untuk diceritakan oleh si anak kepada orang tuanya. Jika ada, hal ini bisa menjadi bahasan khusus kepada pihak sekolah yang menjadi wadah pendidikan si anak.
Selanjutnya, dari tingkat sekolah, sekolah wajib menyosialisasikan terkait tiga besar dosa pendidikan ini dan membentuk satgas khusus terkait ihwal ini. Contohnya membentuk satgas anti perundungan sekolah atau semacamnya, tergantung kasus-kasus yang terjadi di sekolah tersebut. Selain itu, sekolah juga bisa mengundang pihak-pihak yang berkompeten untuk mencegah, merespons, hingga melakukan aksi-aksi kuratif dari kasus-kasus yang terjadi di lingkungan sekolah. Misalnya dengan melibatkan Agen Penguatan Karakter (APK) Kemendikbud-Ristek RI yang berada di provinsi masing-masing, terkait sosialisasi Profil Pelajar Pancasila, intoleransi, perundungan, kekerasan seksual, penyalahgunaan narkoba, hingga isu-isu kritis pendidikan lainnya.
ADVERTISEMENT
Karena tugas para agen yang berjumlah 109 orang se Indonesia ini adalah sebagai bagian dari Puspeka Kemdikbudristek RI di daerah-daerah. Di mana, keberadaan APK ini diperkuat berdasarkan Surat Kesepakatan Bersama antara Puspeka Sekretariat Jenderal Kemdikbud dengan Guru dan Kepala Sekolah Dedikatif, Inovatif, dan Inspiratif Tahun 2020 No. 4592/J4/LK/2020 tentang Kemitraan dan Pemberdayaan dalam Penguatan Karakter. Untuk di daerah, keberadaan agen-agen ini dilegalisasi dengan surat Puspeka Kemdikbud No. 4699/J4/RT/2020 perihal Dukungan untuk Agen Penguatan Karakter di lingkup Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten setempat.
Selain melibatkan APK, sekolah bisa terlebih dahulu melakukan riset sederhana berkenaan tiga dosa besar pendidikan ini kepada peserta didik dan guru. Selanjutnya, melakukan evaluasi dan membuat program-program terkait upaya solutif dari kasus-kasus yang terjadi di sekolah masing-masing. Jika memang kasus di sekolah tergolong berat, saran penulis, ada baiknya melibatkan lembaga-lembaga penanganan khusus di daerah atau pun di pusat. Misalnya KPAI, MUI, Kepolisian, dan sebagainya. Namun kembali lagi, semua itu tergantung jenis kasus yang terjadi dan tingkat penanganan yang dilakukan pihak sekolah.
ADVERTISEMENT
Itulah beberapa upaya yang bisa dilakukan oleh kita terkait masalah di dunia pendidikan Indonesia. Harapannya, semoga kita bisa mengembalikan muruah sekolah menjadi lokasi yang aman, nyaman, dan menyenangkan bagi peserta didik untuk keberlangsungan proses belajar demi masa depan. Amin. Yuk, mari kita serentak bergerak untuk mengindentifikasi secara dini, berkolaborasi, dan melibatkan pihak-pihak yang berkompeten guna meminimalisasi dan menghilangkan dosa-dosa besar di dunia pendidikan Indonesia ini. Merdeka Belajar!!
-Ares Faujian, Agen Penguatan Karakter Kemdikbud-Ristek RI