Konten dari Pengguna

Merdeka Belajar: Bolehkah Saya Bertanya di Ruang Kelas?

Argya D Maheswara
Jurnalis sekaligus warga Jakarta yang percaya hidupnya abadi selama ia menulis.
4 Juli 2023 10:36 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Argya D Maheswara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi eorang guru di Indonesia. Foto: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi eorang guru di Indonesia. Foto: Unsplash
ADVERTISEMENT
Ketika sedang menonton suatu video di kanal Youtube Gita Wirjawan bertajuk “2045 Perlu Guru yang Bagaimana?” saya teringat akan masa ketika saya sekolah, di mana saya merasakan bahwa saya belum menemukan guru yang tepat dan saya ikhlas mengakuinya sebagai guru. Bagaimana saya bisa berpikir seperti itu padahal saya masih duduk sebagai siswa di bangku SMA?
ADVERTISEMENT
Jawabannya sederhana, saya tidak bisa menemukan guru yang benar-benar mengerti siapa muridnya? Bakat apa yang ada di setiap muridnya? Model pendidikan apa yang tepat untuk para muridnya? Sebuah konsep sederhana yang mungkin belum banyak disadari oleh para guru di sekolah-sekolah kita, baik dari tingkat sekolah dasar sampai menengah.
Dari situ, saya melihat bahwa sistem Merdeka Belajar yang diusung Kemendikbud tidak akan berjalan sebagaimana mestinya jika dalam pendidikan dasar saja, guru tidak bisa menganalisis potensi dari muridnya. Padahal, analisis ini merupakan hal yang sangat vital bagi perkembangan murid untuk mencapai dirinya dan bukan justru kehilangan dirinya setelah lulus dari sekolah.
Kembali ke video yang saya tonton, saya cukup tercengang ketika melihat cuplikan seorang intelek idola saya, Romo Franz Magnis Suseno SJ yang menggambarkan sistem pendidikan kita merupakan sistem pendidikan “mengisi botol kosong”. Dalam analogi ini, Romo Magnis menyebut bahwa pendidikan di Indonesia menganggap murid sebagai botol kosong yang datang ke sekolah dan harus diisi.
Ilustrasi guru mengajar. Foto: Shutterstock
“Saya kira kita harus lepas dari model pendidikan yang dipakai yaitu sistem pendidikan seperti mengisi botol kosong, saya ingat kala itu ada seorang ibu yang lama di Amerika mengeluh pada saya ketika dia memasukkan anaknya di sini (sekolah Indonesia), anaknya pulang dari hari pertama sekolah dan menangis, ketika ditanya dia mengadu bahwa ketika ia bertanya gurunya bilang ‘kamu baru hari pertama ngapain bertanya-tanya?',” cerita Romo Magnis.
ADVERTISEMENT
Sebuah fakta tentang kualitas guru kita yang cukup mencengangkan. Saya justru melihat kualitas guru yang ada di sini sebagai guru yang “anti-pertanyaan”, karena ketika saya di bangku sekolah dulu, saya juga merasakan hal tersebut. Padahal, sebuah pertanyaan bagi saya merupakan suatu parameter kemajuan bahkan sikap kritis pada murid yang harus dipenuhi jawabannya.
Memunculkan suatu pertanyaan dari lisan seorang murid bagi saya sudah cukup hebat. Itu artinya murid itu memiliki rasa penasaran tentang ilmu yang sedang dipelajari dan ingin menguliknya lebih dalam. Apalagi jika guru mendukung dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan sesuai, betapa cemerlangnya dunia pendidikan kelak?
Setelah itu, dengan segala kekecewaan tentang guru yang muncul di kepala saya dan meledak-ledak setiap detiknya timbul beberapa pertanyaan seperti,
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Sekolah Dasar Islam. Foto: Shutter Stock
Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang terus menghantui saya ketika saya berusaha melogiskan tindakan guru yang tidak suka muridnya bertanya. Saya melihat Merdeka Belajar sudah sangat baik jika implementasinya sesuai dengan tajuk, namun dengan guru-guru anti pertanyaan, pendidikan yang ada saat ini justru menuju ke kebuntuan.
Saya sampai membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk mencari pengertian tentang belajar dan saya menemukan arti belajar adalah “berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu, berlatih, berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman”. Artinya sekolah bertujuan agar seorang yang belum bisa akan sesuatu menjadi bisa, yang belum ahli menjadi ahli dan yang tidak mampu menjadi mampu.
Kalau murid adalah pembelajar yang sedang menyerap informasi dan keahlian, maka mana yang harus murid lakukan? lebih banyak bertanya atau menjawab? Logika paling dasar yang dapat saya berikan adalah dengan banyak bertanya. Lalu, saat di sekolah, adakah porsi siswa untuk bertanya?
ADVERTISEMENT
Dari yang saya alami, saya mengalami sekolah dengan model penekanan murid agar menjawab. Saya dihadirkan ragam sesuatu yang harus dijawab, seperti lembar kerja siswa, ulangan harian dan ragam tes lainnya. Justru porsi saya untuk bertanya sebagai murid lebih sedikit.
Ilustrasi Sekolah Dasar Islam. Foto: Shutter Stock
Masih dalam video bagian Romo Magnis dalam mendeskripsikan “2045 Perlu Guru yang Bagaimana?”, saya juga mendapat pesan yang masuk ke dalam nalar saya dalam memahami konsep belajar. Di situ Romo Magnis mengatakan bahwa murid harus dididik untuk bertanya, untuk terbuka dan untuk kritis namun sayangnya ini belum terjadi dalam pendidikan yang saya kira sudah melabeli diri dengan label Merdeka Belajar.
“Justru murid itu harus dibiasakan untuk bertanya, terbuka, curious, Pendidikan yang terdiri dari mendengar dan membaca tidak mungkin membuat orang menjadi kritis,” kata Romo Magnis dalam video yang menurut saya sangat harus diterapkan dalam pendidikan.
ADVERTISEMENT