Konten dari Pengguna

Dendam Cinta Segitiga: Jokowi-Prabowo-PDIP

Arie Purnama
Alumni Magister Ilmu Komunikasi Universitas Lampung-Konsentrasi Komunikasi Politik-Alumni Int.Class Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
22 Agustus 2024 8:13 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arie Purnama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Dendam Cinta Segitiga:Jokowi-Prabowo-PDIP. Sumber (Pixabay).
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Dendam Cinta Segitiga:Jokowi-Prabowo-PDIP. Sumber (Pixabay).
ADVERTISEMENT
Balas dendam dapat dianggap sebagai cara untuk menegakkan keadilan, dan ancaman balas dendam bisa berfungsi sebagai sarana perlindungan, mirip dengan upaya mempertahankan kerja sama sosial (Hall, 2014). Seseorang dianggap menyimpan dendam jika ia menunjukkan keinginan untuk membalas seseorang yang menurutnya telah menyakitinya, dan ia enggan memberikan maaf.
ADVERTISEMENT
Diawali dengan ujaran Megawati dalam dalam acara peringatan HUT ke-50 PDIP di JIExpo Kemayoran "Pak Jokowi itu ya ngono loh, mentang-mentang. Lah iya padahal Pak Jokowi kalau nggak ada PDI Perjuangan juga duh kasihan dah," (news.detik.com, 2024).
Menurut Panda Nababan yang juga salah satu senior PDI-P mengatakan di acara ILC, “Jokowi ini kan pendendam, maka siapa pun yang memperlakukan tidak sesuai keinginannya, maka ia akan melakukan perlawanan, termasuk yang dapat kita lihat saat ini.
Jokowi semakin tidak terbendung dalam mengatur peta politik bersama kroni-kroninya. Banyak daerah yang akan menggelar pemilu serentak di mana Jokowi, melalui KIM Plus, memperlemah posisi PDIP sehingga banyak calon dari partai tersebut tidak dapat maju hanya dengan dukungan satu partai.
ADVERTISEMENT
Seolah tindakan Jokowi terhadap pasangan Ganjar-Mahfud dalam Pilpres sebelumnya belum cukup, kini muncul gerakan untuk menjatuhkan PDIP yang diduga diinisiasi oleh Jokowi. Langkah ini didorong oleh kepentingan Jokowi untuk melindungi dirinya setelah tidak lagi menjabat sebagai presiden, termasuk kepentingan keluarganya dan kroni-kroninya.
Jokowi diyakini tidak percaya bahwa Ganjar Pranowo, calon presiden dari PDIP, dapat melindungi kepentingannya, karena Ganjar dianggap akan lebih loyal kepada Megawati jika terpilih sebagai presiden. Dendam Jokowi terbalaskan dengan membuktikan bahwa dirinya dan keluarganya bisa dengan atau tanpa PDIP dan Megawati.
Pasca Pilpres, Jokowi makin menjadi-jadi menghantam kubu yang berseberangan dengannya. Mulai dari pemanggilan Hasto Sekjen PDI-P, Kemudian agenda pilkada serentak tanpa melibatkan PDI-P dalam koalisi dan tidak memberi ruang PDIP untuk menjalin koalisi dengan Partai lain.
ADVERTISEMENT
Fenomena yang sangat menjadi sorotan adalah kontestasi Pilkada Jakarta, sebelumnya PDIP menginginkan Ahok untuk maju melawan KIM yang plus-plus menjadi mentah dengan pemborongan partai-partai lainnya.
Lain halnya dengan presiden terpilih, Prabowo Subianto mengambil langkah aman dengan tidak ikut tampil di panggung depan dalam konflik Jokowi-PDIP. Akan tetapi mesin politik Prabowo bergerak senyap menggembosi setiap gerak-gerik politik PDI-P. Jangan lupa Gerindra dan Prabowo pernah menjadi tumbal harapan palsu Megawati dan PDIP.
Pada tahun 2009 mereka bersepakat untuk mengusung Prabowo sebagai calon wakil presiden dari Megawati. Kemudian Megawati Soekarnoputri mendukung pencalonan Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada Pemilu Presiden tahun 2014 (nasional.tempo.co, 2023).
Prabowo pernah mengingatkan kembali tentang Perjanjian Batu Tulis 2009 menjelang Pilpres 2014. Pada saat itu, Prabowo, yang menjadi calon presiden dari Partai Gerindra, merasa dikhianati karena Megawati justru memilih Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta, sebagai calon presiden, bukan mendukung dirinya seperti yang diatur dalam perjanjian tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam Pilpres 2019, Megawati kembali menjadi lawan politik Prabowo dengan kembali mencalonkan Jokowi. Akhirnya Prabowo memutuskan untuk merapat dengan Jokowi pada Pilpres 2024 dengan merangkul putra sulungnya sebagai wakil presiden. Maka terbayarlah dendam Prabowo terhadap PDIP dan megawati, dengan menghancurkan “emak-banteng” melalui anak ideologis yang dibesarkannya Joko Widodo.
Lantas berdampak-kah masalah dendam politik ini terhadap demokrasi Indonesia? Jawabannya adalah sangat mungkin, di mana politisi yang dendam mungkin cenderung menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk menjatuhkan lawan politik, termasuk melalui cara-cara yang tidak etis atau bahkan ilegal, seperti menggunakan aparat penegak hukum untuk menekan atau mengkriminalisasi lawan mereka.
Sehingga dendam yang terang-terangan di antara politisi dapat merusak kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi. Ketika masyarakat melihat politisi bertindak atas dasar permusuhan pribadi, mereka mungkin menjadi sinis terhadap proses politik dan merasa bahwa politik tidak lagi mewakili kepentingan mereka.
ADVERTISEMENT
Sehingga yang tercermin dari politik saling sandera karena “dendam” adalah mengabaikan kepentingan dan kebutuhan rakyat. Kebijakan yang dihasilkan bisa lebih berorientasi pada keuntungan politik pribadi atau kelompok daripada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Sudahi pertikaian ini sampai ke akar-akarnya, ingat regenerasi politik akan terus berlanjut. Jangan jadikan dendam ini sebagai contoh yang buruk untuk demokrasi Indonesia di masa depan.