Konten dari Pengguna

Fenomena: Kotak kosong Vs Kontestan “Kosong” di Pilkada

Arie Purnama
Alumni Magister Ilmu Komunikasi Universitas Lampung-Konsentrasi Komunikasi Politik-Alumni Int.Class Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
9 Agustus 2024 14:10 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arie Purnama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Fenomena: Kotak kosong VS Kontestan  “kosong”. Sumber (www.istock.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Fenomena: Kotak kosong VS Kontestan “kosong”. Sumber (www.istock.com)
ADVERTISEMENT
Menjelang pesta demokrasi daerah November mendatang, calon kepala daerah cenderung menggalang dukungan banyak partai untuk memenangkan Pilkada 2024 lewat calon tunggal yang berbuntut kotak kosong. Mengutip dari Direktur Eksekutif Parameter Politik Adi Prayitno "Saya kira fenomena kotak kosong di pilkada akan banyak bermunculan di Indonesia, Mereka lelah secara politik, logistik, dan mesin. Mereka juga masih belum move on terkait pemilu yang lalu (Tempo, 4 Agustus 2024)."
ADVERTISEMENT
Fenomena kotak kosong dalam Pilkada bukan hanya mencerminkan demokrasi yang tidak sehat, tetapi juga menandakan kegagalan mendasar institusi politik dalam menjalankan fungsi esensial mereka. Untuk mencapai tujuan "Peace, Justice, and Strong Institutions" seperti yang dicita-citakan dalam agenda pembangunan berkelanjutan, diperlukan peran aktif partai politik yang mampu menjalankan fungsi seleksi dan kaderisasi dengan efektif.
Partai politik harus dapat membangun kepercayaan yang kokoh dengan masyarakat, sekaligus merumuskan kebijakan yang relevan dan visioner untuk kemajuan bersama. Dari perspektif kekuasaan, fenomena kotak kosong mengindikasikan kegagalan partai politik dalam membangun kepercayaan dan daya tarik di mata pemilih.
Kekuasaan politik tidak hanya berkisar pada kemenangan atau kekalahan dalam kontestasi elektoral, tetapi juga pada kemampuan untuk meraih kepercayaan dan simpati masyarakat. Ketika partai politik enggan mengusung calon dalam Pilkada, hal ini menunjukkan krisis kepercayaan diri dan kegagalan dalam membina hubungan yang kuat dan berkelanjutan dengan konstituen mereka.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini mengungkap kelemahan partai politik dalam menjalankan peran strategisnya sebagai penjaga demokrasi dan suara rakyat, yang seharusnya menjadi fondasi kuat bagi terciptanya institusi yang damai, adil, dan kuat.
Ilustrasi Pemilu. Foto: Dok Kemenkeu
Perlu dipahami bahwa istilah "kotak kosong" dalam konteks Pilkada bukan merujuk pada kotak suara yang kosong, melainkan pada situasi di mana hanya ada satu calon tunggal yang bertarung dalam pemilihan, tanpa adanya pesaing. Dalam surat suara, posisi lawan dari calon tunggal ini dinyatakan dalam bentuk kotak kosong.
Meskipun hanya ada satu calon, hal ini tidak berarti calon tersebut secara otomatis diangkat sebagai kepala daerah. Sistem Pilkada Indonesia mengatur bahwa meskipun hanya ada calon tunggal, pemilihan tetap dilangsungkan dengan pilihan antara calon tunggal tersebut dan kotak kosong.
ADVERTISEMENT
Bukan tidak mungkin, kotak kosong dapat menjadi bumerang bagi partai politik dan para calon yang menjalankan strategi tersebut. Seperti yang pernah terjadi di pemilihan wali kota makasar tahun 2018, pasangan Munafri Arifuddin dan Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) sebagai calon tunggal kalah dengan kotak kosong. Hal berikut merupakan bentuk 'hukuman' masyarakat kepada elite. Tidak ada yang diuntungkan apabila hal ini terjadi, berdasarkan peraturan apabila belum ada calon yang terpilih maka pemerintah menetapkan kepala daerah melalui pelaksana tugas dari Kemendagri.
Belajar dari kejadian di Makasar tahun 2018, pilkada langsung merupakan sebuah jalan baru bagi masyarakat dalam menentukan pemimpin daerahnya. Jangan anggap masyarakat bisa dipaksa memiliki logika yang sama dengan partai sehingga mau untuk di intervensi melalui satu calon tunggal. Kalau selama ini dianggap masyarakat pemilih itu bodoh, tidak mengerti, ternyata masyarakat Makassar pernah membalikkan logika-logika tersebut.
ADVERTISEMENT
Keberadaan kotak kosong ini memberikan kesempatan bagi pemilih untuk menolak calon tunggal jika mereka merasa calon tersebut tidak layak atau tidak mewakili aspirasi mereka. Oleh karena itu, calon tunggal harus tetap berjuang untuk memenangkan hati masyarakat dan tidak dapat menganggap kemenangan sebagai hal yang pasti.
Pemilu dengan kotak kosong ini menegaskan bahwa proses demokrasi tetap berlangsung meskipun dalam kondisi anomali seperti adanya calon tunggal, dan ini menjadi bentuk kontrol demokrasi yang memungkinkan masyarakat menyuarakan ketidaksetujuan mereka terhadap kandidat yang ada.