Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Metamorfosis Jokowi: Negara dalam Belenggu Kekuasaan
2 Maret 2024 13:01 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Arie Purnama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jokowi dilahirkan dari Rahim Demokrasi, sebagai kebalikan dari politik yang dikuasai oleh elit-elit oligarki atau dinasti. Ia dipandang sebagai perwakilan dari rakyat, dianggap sebagai sosok yang sederhana namun mampu memimpin dan mengatasi pengaruh para elit dalam pandangan masyarakat umum. Banyak masyarakat tersihir dengan gaya politik Jokowi yang merakyat . Ia sering dianggap Daud yang menaklukan raksasa Goliat dengan alat sederhana.
ADVERTISEMENT
Pada periode kedua pemerintahannya, Jokowi berhasil mengamankan dukungan mayoritas partai politik. Melalui negosiasi dengan kekuatan politik utama yang sangat kuat untuk menjalankan pemerintahan. Jokowi melakukan negosiasi dengan partai-partai politik untuk membagi kue-kue kekuasaan sesuai keinginan partai politik.
Jokowi berhasil meyakinkan partai-partai besar tentang pentingnya menjaga stabilitas. Selain itu, Jokowi mempertahankan dukungan dari para relawan, dengan memberikan jabatan komisaris dan wakil menteri kepada mereka. Bahkan, ia mampu membangun hubungan dengan lawan politik terbesarnya Prabowo Subianto menjadikannya Menteri Pertahanan.
Kontrol terhadap kekuasaan hampir nihil, Partai-partai politik puas dengan keadaan yang ada. Hanya PKS dan Demokrat yang masih bertahan oposisi. Akan tetapi kemudian Demokrat mengangkat bendera putih, serta bertekuk lutut dihadapan Jokowi dengan masuk dalam koalisi Prabowo-Gibran. Di sisi lain, Jokowi memanfaatkan pengaruh jabatan untuk menempatkan orang-orang terpercaya di institusi kepolisian dan militer. Bahkan melemahkan institusi anti rasuah-pun dilakukan demi keamanan Jokowi dan kroninya.
ADVERTISEMENT
Metamorfosis Jokowi
Dalam pemilu 2024 ini kita dipertontonkan dengan sisi gelap Jokowi. Dimana Jokowi berlaku pragmatis dan oportunis. Langkah itu dimulai dari penempatan anaknya Gibran sebagai walikota Solo, Bobby sebagai walikota Medan, kaesang sebagai ketua PSI, dan terakhir menggendong Gibran sebagai calon wakil Presiden Prabowo. Ia mengakui bahwa dalam kontestasi pemilu 2024 akan cawe-cawe dimana setiap kunjungan kerja dan kegiatan menggandeng Prabowo. Bahkan sebelum ditetapkan oleh KPU pun Jokowi sudah mulai menggodok anggaran untuk Prabowo dan putra mahkotanya terkait makan siang gratis. Tidak kalah menghebohkan, dua hari yang lalu Jokowi menyematkan bintang empat kepada Prabowo (Jendral.Hor). Padahal Prabowo sudah lama diberhentikan , menurut Kapuspen TNI Kepres nomor 62 /ABRI/98 tanggal 22 November 1998 isi keputusannya diberhentikan dengan hormat dan mendapatkan hak pensiun, tidak ada kata-kata pemecatan ya. Tidak ada salahnya memang memberikan kehormatan terhadap salah satu tokoh bangsa, yang menjadi rancu adalah ketika tanda kehormatan itu diberikan sebelum ada kejelasan tentang pelanggaran HAM 1998. Entah lah, Terserah! merupakan ujaran yang tepat untuk kejadian-kejadian ini.
ADVERTISEMENT
Mungkin, Jokowi meyakini bahwa kekuatan yang dimiliki sebagai penguasa saat ini. Ia memiliki kemampuan untuk memobilisasi aparat negara dan mengumpulkan dana kampanye yang besar, sehingga dapat mengubah pandangan masyarakat umum. Tidak dapat dipungkiri bahwa politik dan kekuasaan saling berinteraksi. Di satu sisi, politik memiliki daya tarik karena berfungsi sebagai sarana untuk memperoleh kekuasaan.
Menurut Machiavelli, mendapatkan kekuasaan kadang-kadang memerlukan strategi yang licik bahkan menggunakan taktik yang tidak bermoral. Setelah memperoleh kekuasaan, hal itu harus dijaga dengan “metode medis”, bahwa setiap perlawanan dianggap sebagai virus yang wajib dimatikan, ketimbang luka menyebar dan anggota tubuh yang sudah terinfeksi harus dipotong. Pandangan Machiavelli ini kemudian dikaitkan dengan praktik-praktik yang tidak etis, di mana segala cara dianggap sah untuk mencapai tujuan.
ADVERTISEMENT
Jokowi memiliki kecerdasan yang luar biasa dalam mengidentifikasi peluang dan memanfaatkannya saat momentum tepat. Dalam dunia politik, kesempatan tidak akan datang dua kali. Dahulu Jokowi berkomitmen untuk menyelesaikan masa jabatannya dengan integritas dan tanggung jawab. Setelah menyelesaikan tugasnya, ribuan orang bahkan jutaan akan mengantarnya kembali ke kampung halamannya di Solo. Di sana, dia disambut oleh ribuan penduduk yang memenuhi jalanan, dan dengan rendah hati, Jokowi berhenti dan berjalan kaki menuju rumahnya.
Setelah sembilan tahun memerintah, kita menyadari bahwa Jokowi awalnya memulai karir politiknya sebagai seorang populis, tetapi akhirnya berubah menjadi oportunis kekuasaan. Tujuan politiknya jangka pendek sangat pragmatis, yaitu menjadikan Gibran sebagai wakil presiden, membuat PSI masuk ke DPR, menjadikan bobby sebagai Gubernur medan. Semua jalur menuju tujuan itu telah disiapkan dengan cermat. Kita sangat yakin dengan kemampuan Jokowi melakukan kontrol terhadap semua agenda politik pragmatisnya. Yang tidak dapat dikendalikan oleh Jokowi hanyalah satu hal, yaitu kekuatan rakyat!
ADVERTISEMENT