Konten dari Pengguna

Hari Ibu dan Gerakan Perempuan Indonesia

Arie Muslichudin
Penggiat Falsafah dan Agama di Universitas Paramadina
2 Januari 2024 6:39 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arie Muslichudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi memberikan hadiah untuk ibu di Hari Ibu. Foto: Hananeko_Studio/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi memberikan hadiah untuk ibu di Hari Ibu. Foto: Hananeko_Studio/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Tak selang beberapa hari lalu kita memperingati hari Ibu Nasional di Indonesia yang selalu diperingati pada 22 Desember setiap tahunnya yang ternyata menyimpan alasan khusus. Peringatan tersebut didasari oleh Keputusan Presiden Republik Indonesia No.316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959 yang juga bertepatan dengan ulang tahun ke-25 Kongres Perempuan Indonesia. Peringatan Hari Ibu ini ternyata mengacu pada hari pertama Kongres Perempuan Indonesia I, yaitu tanggal 22 Desember 1928.
ADVERTISEMENT
Hari Ibu sendiri merupakan momen peringatan pergerakan perempuan Indonesia yang ditandai dengan Kongres Perempuan Pertama pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Sehingga peringatan hari Ibu ini bisa dirayakan sebagai peringatan Hari Gerakan Perempuan Indonesia.
Dalam hal ini, kita sudah sepatutnya merefleksi apa yang diperjuangkan gerakan perempuan pada saat itu dan apakah sudah mengalami kemajuan yang signifikan ataupun sebaliknya serta bagaimana perempuan di masa depan. Pertanyaan-pertanyaan dasar seperti itu bukanlah ditujukan teruntuk kaum perempuan saja, melainkan menjadi tanggung jawab bersama dalam memperjuangkan kemanusiaan dan keadilan gender.
Gender yang di mana berarti suatu konsep budaya yang diberikan seseorang, karena ia terlahir dengan jenis kelamin tertentu. Suatu proses kebudayaan yang menjadikan adanya perbedaan perlakuan di antara perempuan dan laki-laki dalam peranan sehari-hari. Hal ini kemudian menjadi suatu stereotip tertentu di dalam masyarakat. Berdasarkan pemahaman bahwa gender merupakan konsep yang ada dalam kebudayaan masyarakat maka gender dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
ADVERTISEMENT
Gender di dalam agenda feminisme kontemporer, lebih banyak berfokus pada persamaan hak, partisipasi perempuan dalam pekerjaan, pendidikan, kebebasan seksual, dan juga hak reproduksi. Feminisme kontemporer telah menggunakan berbagai strategi dekonstruktif, sebagai cara untuk mengurangi kestabilan sepasang model yang tertuang dalam pasangan maskulin/feminin. Pada tahun 1990-an, tiga akademisi Amerika Serikat, yaitu Judith Butler, Eve Kosofsky Sedwick, dan Donna Haraway berubah menjadi figur pujaan feminis. Mereka mengajukan beberapa cara menarik dan juga provokatif, untuk memikirkan kembali mengenai subjektivitas gender dan seksual.
Spivak dan Haraway (dalam Prasad, Segarra, dan Villanueva, 2020) memiliki pendapat bahwa tidak ada satu pun paham yang dapat membersamai kepentingan perempuan dan laki-laki secara bersamaan. Feminisme memiliki asumsi untuk menyatukan semua perbedaan antar perempuan tanpa memandang perbedaan ras maupun kelas.
ADVERTISEMENT
Feminisme ialah sebuah paham yang muncul ketika perempuan menuntut untuk mendapatkan kesetaraan hak yang sama dengan laki-laki. Paham ini datang berdasarkan insting perempuan, yang meyakini bahwa posisi atau kondisi perempuan yang ada di masyarakat dapat diubah dan setara dengan kondisi laki-laki dalam ranah sosial.
Sebagian masyarakat masih memiliki asumsi bahwa feminisme merupakan gerakan pemberontakan kaum perempuan terhadap kaum laki-laki. Feminisme kerap dianggap sebagai usaha pemberontakan kaum perempuan untuk mengingkari apa yang disebut sebagai kodrat atau fitrah perempuan, melawan pranata sosial yang ada atau institusi rumah tangga, seperti perkawinan dan lain sebagainya. (Fakih,2007) Berdasarkan asumsi tersebut, gerakan feminisme tidak mudah diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman terhadap konsep feminisme tersebut perlu diluruskan.
ADVERTISEMENT
Pemahaman feminisme yang sesuai, diharapkan dapat membuka cakrawala masyarakat tentang gerakan feminisme secara seimbang. Feminisme berarti memiliki sifat keperempuanan. Feminisme diwakili oleh persepsi mengenai ketimpangan posisi perempuan dibandingkan laki-laki yang terjadi di masyarakat. Akibat dari persepsi tersebut, muncul berbagai upaya untuk mengkaji ketimpangan tersebut dan mencari cara untuk menyejajarkan kaum perempuan dan laki-laki sesuai dengan potensi yang dimiliki mereka sebagai manusia.
Teori feminisme berangkat dari pentingnya kesadaran mengenai persamaan hak di antara perempuan dan laki-laki dalam semua bidang. Teori ini berkembang sebagai reaksi atas fakta yang terjadi di masyarakat, yaitu adanya konflik kelas, ras, dan khususnya kehadiran konflik gender. Feminisme mencoba untuk menghilangkan pertentangan di antara kelompok yang lemah dan yang dianggap lebih kuat. Lebih jauh lagi, feminisme menolak ketidakadilan sebagai akibat dari masyarakat patriarki, menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-laki.
ADVERTISEMENT
Seperti apa yang telah penulis sebut di atas, bahwa tujuan utama dari teori feminisme ini yaitu memahami penindasan perempuan secara ras, gender, kelas, dan pilihan seksual, serta bagaimana mengubahnya. Teori feminisme mengungkapkan berbagai nilai penting perempuan beserta pengalaman-pengalaman yang dialami bersama dan perjuangan yang mereka lakukan. Feminisme menganalisis bagaimana perbedaan seksual yang ada dibangun dalam dunia sosial dan intelektual, serta bagaimana feminisme membuat penjelasan mengenai pengalaman dari berbagai perbedaan tersebut.
Pada tahun 2015, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) menetapkan tujuan pembangunan berkelanjutan atau biasa kita kenal sebagai Sustainable Development Goals (SDGs) dengan maksud untuk mencapai pembangunan yang adil dan inklusif bagi semua orang di seluruh dunia. Ada 17 SDGs yang ditetapkan, yang terdiri dari 169 tujuan dan indikator.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif gender, SDGs memiliki tujuan khusus yang menekankan pentingnya mengurangi ketimpangan gender dan mempromosikan kesetaraan gender. Tujuan tersebut ialah Tujuan 5 tentang Kesetaraan Gender dan Empowerment Perempuan, yang mencakup di antaranya:
(1). Mengakhiri segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan di mana pun.
(2). Menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan di ruang publik dan pribadi, termasuk perdagangan orang dan eksploitasi seksual, serta berbagai jenis eksploitasi lainnya
(3). Menghapuskan semua praktik berbahaya, seperti perkawinan usia anak, perkawinan dini dan paksa, serta sunat perempuan
(4). Mengenali dan menghargai pekerjaan mengasuh dan pekerjaan rumah tangga yang tidak dibayar melalui penyediaan pelayanan publik, infrastruktur dan kebijakan perlindungan sosial, dan peningkatan tanggung jawab bersama dalam rumah tangga dan keluarga yang tepat secara nasional
ADVERTISEMENT
(5). Menjamin partisipasi penuh dan efektif, dan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk memimpin di semua tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan masyarakat
(6). Menjamin akses universal terhadap kesehatan seksual dan hak reproduksi seperti yang telah disepakati sesuai dengan Programme of Action of the International Conference on Population and Development and the Beijing Platform serta dokumen-dokumen hasil review dari konferensi-konferensi tersebut. (Bappenas)
Sekiranya dari pelbagai peristiwa-peristiwa penting bersejarah dan teori-teori yang mendukung dekonstruksi budaya yang lebih inklusif dan adil untuk sesama manusia bukan sekadar peristiwa-peristiwa sejarah yang seperti angin lalu, sudah sepatutnya memerlukan antusiasme dan partisipasi seluruh elemen masyarakat untuk mewujudkan hal tersebut. Saling mengingatkan dan mengkritisi satu dengan yang lainnya, meluruskan paradigma atau stigma yang keliru dalam sosial masyarakat budaya. Bersama meretas sejarah, dan melawan stigma guna mencapai keadilan sesama.
ADVERTISEMENT