Konten dari Pengguna

Ketergesaan yang Membunuh: Soundtrack Kejatuhan Elizabeth Holmes

Arie Muslichudin
Penggiat Falsafah dan Agama di Universitas Paramadina
13 April 2025 10:58 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arie Muslichudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
credit: Disney+ Hotstar
zoom-in-whitePerbesar
credit: Disney+ Hotstar
ADVERTISEMENT
Elizabeth Holmes tidak hanya menciptakan mesin yang gagal, ia juga merancang tragedi modern paling sunyi: kejatuhan karena ilusi kecepatan. The Dropout bukan sekadar serial biografi—ia adalah otopsi atas sebuah ambisi yang terlalu dini dibungkus legitimasi, dibalut lagu country 90-an yang seolah tak nyambung: "I'm in a Hurry (And Don't Know Why)" dari Alabama. Lagu ini bukan tempelan nostalgia. Ia adalah ironi. Ia adalah pengakuan tanpa sadar.
ADVERTISEMENT
Dari langkah pertamanya di Beijing—berusaha berbicara dalam bahasa yang bahkan tak direspons—hingga detik-detik terakhir ketika Theranos runtuh, Holmes adalah arketipe generasi kita yang dibutakan oleh deadline imajiner. “I’m in a hurry to get things done, I rush and rush until life’s no fun”—baris ini bukan cuma soundtrack; ini adalah nubuatan.
Holmes muda, ambisius, tak tertarik pada pesta atau obrolan ringan. Ia bukan sekadar kutu buku; ia sedang berlari dari waktu, dari kegagalan, dari kemungkinan bahwa ia tak cukup. Dalam usahanya menciptakan mesin yang bisa mendiagnosis 200 penyakit dari setetes darah, ia menolak realitas. Ia menolak batasan ilmu. Ia menolak waktu. Tapi waktu—sialnya—tak bisa ditolak. Ia hanya bisa dikejar sampai nafasmu habis.
ADVERTISEMENT
Lagu itu muncul di Episode 1, berjudul serupa: I'm in a Hurry. Bukan kebetulan. Serial ini tahu: untuk memahami Holmes, kita tak perlu menyelam ke teknis biomedis. Cukup dengarkan chorus Alabama yang absurd dan getir: “Shakin' hands with the clock, I can't stop, I'm on a roll, and I'm ready to rock.” Sebuah pernyataan tentang betapa manusia modern bukan lagi berjalan, tapi didorong.
Theranos bukan gagal karena teknologi. Ia gagal karena ilusi. Karena keyakinan Holmes bahwa waktu bisa dipaksa tunduk. Bahwa dengan cukup dana dan jargon, batasan biologi bisa dilompati. Tapi sains tak mengenal shortcut. Sains bukan Silicon Valley.
Yang lebih menyakitkan: ribuan pasien menjadi korban. Tes palsu. Harapan palsu. Nyawa dipertaruhkan atas altar kecepatan. Holmes bukan sekadar CEO ambisius. Ia adalah simbol distopia startup—tempat di mana narasi lebih penting dari realita, dan kesuksesan dihitung bukan dari keberhasilan, tapi dari seberapa cepat kau menabrak tembok.
ADVERTISEMENT
Lagu yang ditulis Roger Murrah dan Randy VanWarmer itu, awalnya hanyalah refleksi akan kegelisahan hidup modern. Tapi di tangan Holmes, ia jadi deklarasi: bahwa hidup bukan untuk dijalani, melainkan dilampaui. Namun apa artinya sampai lebih dulu, jika yang kau tinggalkan adalah reruntuhan?
Dalam dunia yang terobsesi pada produktivitas, Elizabeth Holmes adalah peringatan. Kadang, yang membunuh kita bukan kegagalan. Tapi keinginan untuk menang sebelum waktunya.