Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Apakah Bisa Mengenal Jati Diri yang Sesungguhnya?
22 Juni 2024 9:34 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Arief Rahman Nur Fadhilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“To know thyself is the beginning of wisdom” - Socrates
ADVERTISEMENT
Sudah menjadi naluri manusia untuk berusaha mencari tahu tentang serba-serbi manusia terutama terkait jati dirinya sendiri. Pertanyaan terkait jati diri manusia sebetulnya banyak dilontarkan dan didiskusikan. Bahkan para filosof awal seperti Aristoteles dan Plato sudah tertarik membahasnya ratusan tahun lalu yang kemudian berkembang menjadi kajian ilmu psikologi.
Mengenal diri sendiri akan membantu seseorang meregulasi perilakunya agar senantiasa melakukan perbuatan yang bermanfaat. Kita juga bisa lebih percaya diri dan membuat keputusan yang lebih bijak dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini memungkinkan kita untuk menjalani hidup dengan lebih jujur dan autentik, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Selain itu, kita jadi lebih mampu mengenali apa yang membuat kita bahagia dan bagaimana cara mencapai tujuan-tujuan kita dengan lebih efektif. Seseorang tidak akan bisa memenuhi potensi diri dan berkembang dengan maksimal tanpa mengetahui potensi apa yang dimilikinya.
ADVERTISEMENT
Urgensi seseorang untuk mengenal diri sendiri memang sangat kuat. Topik ini pun sudah menjadi bahasan yang cukup lama baik dari zaman pra ilmiah sampai di zaman modern. Sayangnya, manusia tidak akan pernah bisa benar-benar mengenal dirinya yang sesungguhnya. Biar saya jelaskan.
Upaya Mengenal Kepribadian
Seperti yang sudah disebutkan, ketertarikan manusia terhadap hal-hal yang berbau psikologis sudah ada sejak lama sekali. Rasa penasaran ini salah satunya membuahkan konsep yang bernama kepribadian. Singkatnya, kepribadian merupakan kecenderungan seseorang dalam berperilaku serta berinteraksi baik tanpa maupun dengan orang lain.
Menurut Psikolog Harfi Muthia Rahmi dalam bukunya yang berjudul Cara Praktis Membaca Kepribadian Orang Lain, kepribadian dipelajari untuk memahami diri sendiri. Upaya memahami kepribadian pun dilakukan bukan untuk menilai, melainkan untuk mengendalikan ego sendiri dan memahami orang lain. Hal ini sudah dilakukan sejak masa prailmiah hingga masuk ke masa ilmiah. Caranya pun sudah bermacam-macam. Dewasa ini kita mengenal banyak sekali alat untuk mengukur kepribadian, contohnya MBTI, DISC, OCEAN, dll.
ADVERTISEMENT
Namun setelah puluhan tahun konsep kepribadian berkembang, terdapat dua hal yang harus dipahami. Pertama, kepribadian tidak dapat menjelaskan keseluruhan terkait perilaku manusia karena sifatnya kecenderungan. Artinya, seseorang yang tergolong introvert kemungkinan besar akan mudah lelah ketika berinteraksi dengan banyak orang sekaligus. Tapi tentu diluar sana masih ada orang-orang yang tergolong introvert dan mampu berinteraksi dengan banyak orang sekaligus dalam waktu yang lama. Kedua, meskipun cenderung stabil, kepribadian juga dapat berubah. Pengalaman serta pengetahuan baru dapat mengubah kecenderungan seseorang dalam berpikir dan bertindak. Sehingga wajar kalau seseorang ketika masih anak-anak akan memiliki perbedaan perilaku yang tampak ketika sudah beranjak dewasa. Artinya, kepribadian saja tidak cukup untuk menjelaskan bagaimana diri anda yang sebenar-benarnya karena masih menyisakan blindspot dan dapat berubah dikemudian hari.
ADVERTISEMENT
Aspek Selain Kepribadian
Untuk melengkapi hal tersebut, ada beberapa hal yang juga harus digali lebih dalam. Profesor di bidang konseling, Meg Selig, mengatakan bahwa terdapat enam aspek khusus untuk mengenal diri anda yang sesungguhnya. Aspek ini disebutnya sebagai “Vitals”, akronim dari Values (Nilai), Interest (Ketertarikan), Temperament (Kepribadian), Around The Clock Activities (Aktivitas Sehari-hari), Life Mission (Misi Hidup), dan Skills (Kemampuan). Dirinya berpendapat, dengan memahami keenam aspek tersebut, seseorang akan mampu mendapatkan gambaran lebih utuh terkait diri sendiri.
Keenam aspek ini memang akan memberikan gambaran yang lebih utuh, namun lagi-lagi terdapat keterbatasan. Akurasinya ditentukan dengan seberapa jujur anda terhadap diri anda sendiri. Tidak bisa dipungkiri, manusia cenderung melebih-lebihkan persepsi atas kemampuan diri dan cenderung malu untuk mengakui kelemahan yang dimiliki bahkan kepada diri sendiri. Belum lagi fakta bahwa keenam aspek yang ada kebanyakan juga memiliki kecenderungan untuk dapat berubah-ubah seiring berjalannya waktu.
ADVERTISEMENT
Memahami Emosi Secara Utuh
Memiliki kesadaran yang tinggi atas emosi dan disertai kemampuan untuk mengolahnya juga merupakan upaya yang sekarang lazim disarankan dalam upaya mengenal diri. Daniel Goleman, dalam bukunya yang berjudul Emotional Intelligence, mengungkapkan bahwa emosi mempengaruhi banyak hal dalam kehidupan kita termasuk berperan penting dalam memberikan keputusan atas perilaku dan pengambilan keputusan. Bahkan lebih berperan banyak daripada pikiran logika. Perilaku dan keputusan yang kita ambil sedikit banyak memberikan clue tentang diri.
Sayangnya, memahami emosi tidak semudah yang dibayangkan. Memahami emosi tidak sebatas mengetahui apa yang sedang dirasakan. Tetapi juga memahami pemicu serta perilaku yang muncul sebagai tindak lanjutnya. Memahami emosi berarti mampu secara jujur dan sadar merasakan semua gejolak dalam hati tanpa menolak keberadaannya. Sesuatu yang tidak banyak orang dapat lakukan secara konsisten setiap hari.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa kasus yang sangat langka, terdapat orang-orang yang tidak dapat merasakan emosi atau tidak punya perasaan. Kondisi ini disebut dengan Alexithymia. Orang seperti ini cenderung tampak datar dalam semua situasi. Ketika bahagia tidak tersenyum dan tidak menangis saat dilanda kesedihan.
Mengatur emosi bisa dibilang malah lebih susah karena harus lebih dahulu memahami emosi yang muncul. Kemampuan mengatur emosi sedikit banyak akan berpengaruh juga terhadap identitas diri dan citra seseorang dimata orang lain. Orang yang mampu meregulasi emosinya dan tetap tenang dalam kondisi tertekan cenderung dipandang sebagai rekan kerja yang dapat diandalkan. Sebaliknya, orang yang mudah menunjukan emosi negatif akan cenderung dihindari. Persepsi orang lain
Emosi yang muncul pun tergantung dengan tingkat stres dan kondisi lingkungan yang sedang dihadapi. Terkadang orang yang sudah mampu mengenali emosinya dengan baik dapat dikagetkan atas respon emosi yang muncul akibat dihadapkan pada suatu kondisi baru. Sehingga memicu respon yang tidak pernah dialami sebelumnya. Contoh paling mudahnya adalah ketika melihat kawan yang selalu tampak riang tiba-tiba tampak marah seperti orang kesetanan akibat stres bertubi-tubi yang dialaminya.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks hubungan rumah tangga, perubahan seperti ini juga lazim terjadi. Contohnya seorang istri bisa saja melihat suaminya menunjukan perilaku yang sama sekali berbeda padahal sudah saling kenal selama puluhan tahun. Bisa saja, sang suami baru mendapatkan pemicu stres berlebih yang tidak pernah dialami sebelumnya sehingga merubah emosi serta perilakunya. Akhirnya tampak seperti seseorang yang tidak pernah dikenal sebelumnya.
Mengenal Diri Adalah Proses Sepanjang Hayat
Ternyata, mengenal diri bukanlah perkara mudah. Saat ini banyak sekali metode yang ditawarkan para ahli sebagai alat mengenali diri sendiri seutuhnya. Padahal nyatanya, manusia merupakan makhluk dinamis. Senantiasa berubah setiap saat. Bukan variabel tetap seperti ketika mengukur hukum-hukum fisika. Alhasil, seseorang tidak akan pernah dapat mengenali dirinya yang sebenar-benarnya. Karena sejatinya, mengenal diri adalah proses sepanjang hayat.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, tidak ada kata selesai dalam memahami diri. Manusia dengan segala keunikannya, selain dinamis, juga penuh dengan misteri. Malah semestinya seseorang harus mencoba berbagai macam cara mulai dari mengenali kepribadian, emosi, hingga tes-tes psikologi. Karena disaat kita berhenti mencari tahu tentang diri kita sendiri, disaat itu pula kita tidak mengenali siapa diri kita sebenarnya.
Daftar Pustaka
Goleman, D. (2016). Emotional Intellegence. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Rahmi, H. M. (2019). Cara Praktis Membaca Kepribadian Orang Lain. Sleman: Checklist.
Selig, M. (2016, Maret 9). Career. Retrieved from Psychology Today: https://www.psychologytoday.com/us/blog/changepower/201603/know-yourself-6-specific-ways-know-who-you-are