Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Duck Syndrome di Organisasi Kampus dan Cara Mengatasinya
20 Juni 2024 14:52 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Arief Rahman Nur Fadhilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Media sosial Tiktok beberapa waktu lalu dihebohkan oleh beberapa influencer yang mempopulerkan fenomena bernama duck syndrome. Dalam beberapa video yang muncul di linimasa Tiktok, tampak menunjukkan pola yang hampir sama. Seseorang terlihat berada dalam tekanan sambil menunjukkan wajah kebingungan sekaligus berusaha untuk tetap tegar menghadapi keadaan.
ADVERTISEMENT
Tren video ini pun menjadi viral lantaran banyak mahasiswa yang menganggap istilah baru tersebut terasa sangat relatable dalam kehidupan sehari-hari. Tidak sedikit juga yang berkomentar bahwa istilah ini mampu menjelaskan perasaan atau keadaan yang sedang dialami oleh mereka. Lantas, sebetulnya apa itu duck syndrome?
Mengenal Duck Syndrome
The Stanford Duck Syndrome, atau singkatnya dikenal dengan duck syndrome, merupakan istilah yang pertama kali muncul di Stanford University. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan kondisi mahasiswa yang menempuh pendidikan di sana. Duck syndrome merujuk pada perilaku di mana seseorang dari luar (penampilannya) terlihat tenang, tetapi sebenarnya diliputi banyak kecemasan (Dewi, 2021).
Istilah ini digambarkan seperti seekor bebek yang dari luar terlihat mengapung dengan tenang di atas permukaan air. Padahal ketika dilihat di bawah permukaan air, kakinya mengayuh dengan susah payah demi menjaga tubuh tetap mengapung.
ADVERTISEMENT
Duck syndrome sendiri bukanlah diagnosa klinis resmi, melainkan perasaan khawatir, suka membanding-bandingkan, sikap mencela diri yang dapat berakar pada penyakit yang lebih serius seperti kecemasan umum, kecemasan sosial, dan depresi klinis (Riley, 2023). Dengan kata lain, istilah ini menjelaskan tentang seseorang yang sedang bersusah payah menjalani hidup serta tanggung jawabnya meskipun dari luar tampak santai dalam kesehariannya.
Pada kehidupan modern, media sosial memiliki peran sentral dalam fenomena ini. Apa yang ditampilkan pada akun media sosial bisa jadi sangat menipu. Seseorang cenderung ingin menunjukkan sisi idealnya di dunia maya dan sebisa mungkin menjaga citra tersebut. Hal ini dilakukan dengan memfilter apa pun yang akan diunggah ke media sosial.
Tipuan ini pun berdampak pada cara pandang orang lain terhadap hidupnya sendiri. Orang lain merasa hanya dirinya lah yang sedang menghadapi kesulitan sedangkan teman-temannya di media sosial tampak baik-baik saja. Merasa tidak ingin dianggap lemah, dirinya pun ikut menciptakan versi ideal dirinya sendiri di media sosial dan menciptakan siklus tak berkesudahan.
ADVERTISEMENT
Bukan Fenomena Baru
Menurut laman resmi Stanford University, Duck syndrome sebetulnya merupakan gabungan fenomena lama yang mendapatkan istilah baru. Sudah menjadi rahasia umum kalau dalam kehidupan kampus, banyak mahasiswa yang kesulitan memenuhi ekspektasi yang diharapkan. Baik oleh kampus itu sendiri maupun ekspektasi lain yang sebagai mahasiswa. Sehingga, perasaan campur aduk pun hadir dan berujung pada perasaan tidak layak untuk menjadi seorang mahasiswa.
Dalam konteks ini, banyak mahasiswa Stanford University yang merasa dirinya tidak layak berkuliah di sana. Padahal yang dapat diterima hanyalah mahasiswa-mahasiswi pilihan dengan seleksi yang ketat. Mereka yang lolos sudah jelas memiliki modal untuk mampu bertahan di kampus tersebut.
Meskipun tidak sepenuhnya sama, publik lebih dulu mengenal high functioning anxiety. Orang yang mengalami high functioning anxiety biasanya digambarkan sebagai seseorang yang dari luar tampak sukses tak bercela. Namun di dalam hati dan pikirannya, terdapat kekhawatiran akut dan rasa cemas akan dipandang sebelah mata oleh orang lain.
ADVERTISEMENT
Sama seperti duck syndrome, istilah ini juga bukan diagnosis klinis resmi yang tercantum pada buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), yang menyediakan kriteria diagnosis klinis untuk gangguan mental.
Ungkapan fake it until you make it juga pernah ramai digunakan. Ungkapan ini digunakan untuk menggambarkan seseorang yang berpura-pura menguasai suatu hal. Bedanya, penggunaannya memiliki konotasi lebih positif karena lebih bersifat memotivasi daripada menggambarkan kekurangan dalam diri.
Dari banyaknya istilah sejenis, dapat diambil kesimpulan bahwa manusia sangat rentan mengalami perasaan cemas. Dalam praktiknya, perasaan ini memiliki banyak wujud. sehingga tidak tidak heran kalau membutuhkan banyak nama untuk mengakomodir semuanya.
Duck Syndrome Dalam Organisasi Kampus
Fenomena duck syndrome dapat terjadi pada siapa saja dalam banyak hal termasuk kepada mahasiswa yang tergabung ke dalam organisasi kampus. Organisasi kampus sebagai wadah pengembangan diri memiliki daya tarik tersendiri bagi mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Tentunya ada tuntutan organisasi yang harus dipenuhi serta persaingan dengan sesama anggota selama prosesnya. Tidak jarang, mahasiswa yang tergabung di dalamnya merasa kesulitan untuk bertahan menghadapi kesehariannya.
Terdapat tanda-tanda yang muncul apabila seorang anggota organisasi mengalami duck syndrome. Perubahan perilaku menjadi hal pertama yang harus diwaspadai. Bila seseorang yang biasanya tampak energik tapi mendadak berubah menjadi tertutup dan kurang antusias, maka hal ini perlu diwaspadai. Sering hadir terlambat dalam beberapa agenda juga merupakan indikasi awal. Bisa jadi, perilaku tadi adalah tanda seseorang sedang mengalami stres yang tidak diungkapkan.
Penyebab Duck Syndrome Dalam Organisasi Kampus
Terdapat beberapa hal yang menyebabkan fenomena ini muncul. Sebuah organisasi pasti memiliki visi atau tujuan yang ingin dicapai. Dibutuhkan kerja keras dan kegigihan dari setiap orang dalam mewujudkan visi tersebut. selama prosesnya, tidak jarang muncul berbagai macam tekanan dalam organisasi.
ADVERTISEMENT
Dengan kondisi seperti itu, orang-orang dalam organisasi berpotensi mengalami duck syndrome. Mereka berusaha tampak tetap tegar di tengah terpaan tuntutan yang ada. Apabila ada citra organisasi yang harus dijaga, masing-masing anggota mungkin merasa perlu untuk menutupi masalah atau kesulitan mereka agar sesuai dengan citra yang diharapkan.
Akan semakin parah bila citra yang dijaga ternyata tidak realistis. Ruang gerak mereka untuk mengekspresikan masalah pun menjadi terbatas dan akhirnya sulit untuk mencari bantuan.
Ketakutan akan penilaian negatif juga jadi salah satu penyebabnya. Bisa jadi dikarenakan terdapat atasan yang tidak suka melihat kelemahan pada diri anggotanya atau rekan yang cenderung tidak mau bekerja sama dengan orang yang lemah. Khawatir reputasinya menjadi buruk, seseorang pada akhirnya lebih memilih menyembunyikan apa yang dirasakan daripada mendapatkan rasa malu karena mengungkapkannya.
ADVERTISEMENT
Peran Pemimpin Organisasi
Bagi pemimpin organisasi, sebaiknya perlu dilakukan langkah-langkah preventif agar dapat meminimalisasi terjadinya duck syndrome. Dalam buku yang berjudul Anxiety at Work, disebutkan bahwa pemimpin dapat bertanya kepada diri sendiri, seperti: apakah anggotaku benar-benar seperti apa yang ditunjukkan di depanku? Atau itu hanya dibuat-buat agar tampak terlihat baik-baik saja? bagaimana caranya aku mengetahui apa yang sebenarnya terjadi?. Pertanyaan ini merupakan awalan bagus bagi para pemimpin.
Menciptakan atmosfer organisasi yang mengedepankan komunikasi terbuka menjadi sebuah keharusan. Semua anggota harus dibiasakan untuk secara terbuka menyampaikan masalah yang dialami sehari-hari. Pemimpin pun harus paham bagaimana caranya mendengarkan keluhan-keluhan tanpa memberi prasangka dan stigma negatif. Tentunya sambil dilakukan langkah-langkah penyelesaian yang berfokus pada masalah dengan menekankan sikap gotong royong.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, hubungan interpersonal baik sesama maupun antar anggota tim juga harus diperkuat. Hal ini akan memudahkan satu sama lain bersimpati dan berempati ketika suatu masalah menimpa salah satu dari mereka. Orang yang merasakan masalah pun bisa terhindar dari perasaan terisolasi dan mendapatkan dukungan dari lingkungannya.
Langkah-langkah yang sifatnya kuratif juga harus disiapkan. Organisasi dapat membantu menyediakan akses yang mudah pada layanan kesehatan mental seperti konseling maupun terapi. Bagi mereka yang mendapatkan perlakuan ini, harus dipastikan bahwa tidak ada stigma yang disematkan hanya karena mengakses layanan kesehatan mental. Upaya ini juga harus didukung dengan serangkaian upaya peningkatan kapasitas diri serta pelatihan khusus terkait kemampuan problem solving.
Setelah semua upaya di atas dilakukan, organisasi juga harus melakukan upaya evaluasi berkala. Gunanya untuk melihat apakah langkah preventif sampai kuratif tadi telah berjalan dengan semestinya. Jangan sampai hanya sekadar formalitas dan berhenti dalam taraf wacana atau kebijakan saja. Apabila semuanya berjalan dengan semestinya, duck syndrome dalam organisasi dapat diatasi.
ADVERTISEMENT