Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Kerajaan Gelang Gelang, Kerajaan Jayakatwang di Madiun
5 September 2022 16:24 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari arif gumantia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Banyak yang tidak tahu bahwa kerajaannya Jayakatwang yaitu kerajaan Gelang Gelang berada di Madiun. Tepatnya di Dusun Ngrawan, Desa Dolopo, Kecamatan Dolopo, Kabupaten Madiun. Keberadaan Ngurawan dan Gelang Gelang secara jelas termuat dalam prasasti Mula Malurung bertarikh 1255M. Prasasti ini antara lain menyebut sanak kadang dan keturunan Seminingrat yang dinobatkan sebagai raja di Negara bagian Tumapel Singasari. Di antaranya menyebutkan Nararya Turukbali, putri sang prabu Seminingrat yang menjadi permaisuri Jayakatwang, ditetapkan sebagai ratu kerajaan Gelang Gelang di daerah Wurawan.
ADVERTISEMENT
Prasasti ini belum menulis Jayakatwang sebagai raja Gelang Gelang. Prasasti ini baru menulis Jayakatwang sebagai kemenakan sang prabu Seminingrat dan menantunya. Tentu ini karena Jayakatwang adalah putra mahkota raja Kediri Sastrajaya. Pada masa itu Kertanegara jadi raja Daha atau di timur sungai Brantas, sementara Sastrajaya jadi raja Kediri di barat sungai Brantas.
Baru pada tahun 1271M Sastrajaya digantikan putranya bernama Jayakatwang [Buku Girindra: Pararaja Tumapel-Majapahit]. Pada tahun ini Sri Kertanegara mengangkat Jayakatwang sebagai raja Kadiri menggantikan ayahnya Sastrajaya, sementara Turukbali tetap bersemayam di Gelang Gelang. Sampai kemudian pada tahun 1292M, Jayakatwang yang berkuasa atas Kediri dan Gelang Gelang berhasil menghancurkan pemerintahan Kertanegara di Singasari.Tapi setahun kemudian Jayakatwang dihancurkan raden Wijaya. Sejak saat itu perlahan keberadaan Gelang Gelang surut. Ketika Majapahit berdiri, bekas wilayah Gelang Gelang berganti nama sebagai keraton Pandansalas.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga diperkuat pendapat Arkeolog dari Balai Arkeologi Yogyakarta melakukan penggalian di Situs Ngurawan di Dusun Ngrawan, Desa Dolopo, Kecamatan Dolopo, Kabupaten Madiun, Jawa Timur.Salah satu arkeolog yang terlibat dalam penggalian tersebut, Rita Istari, Sabtu, mengatakan, penggalian kembali dilakukan untuk mengungkap peninggalan budaya di Situs Ngurawan.
"Nama Ngurawan sangat terkenal, baik di masa dulu maupun saat ini. Karena itu, kami sangat ingin tahu tentang Situs Ngurawan tersebut. Mulai dari bentuknya bagaimana, luasnya berapa, dan semua budaya yang terkait dengan situs tersebut," kata Rita kepada wartawan.Ia mengatakan timnya melakukan penggalian untuk mengembangkan penelitian yang sudah dilakukan Balai Arkeologi Yogyakarta akhir tahun 2014 dan awal tahun 2016.
Penggalian dilakukan di halaman rumah milik Gatot Suhanto, tempat warga menemukan susunan batu bata berbentuk pondasi kuno yang diduga merupakan pondasi bangunan kerajaan.Penggalian tersebut juga dilakukan untuk membuktikan catatan sebuah prasasti yang menyebutkan bahwa di daerah Ngurawan dulu ada Kerajaan Gelang-Gelang yang dipimpin oleh Raja Sri Jayakatwang.
ADVERTISEMENT
"Diduga, pondasi itu merupakan peninggalan bangunan Kerajaan Gelang-Gelang semasa Raja Sri Jayakatwang. Itu ada tercantum dalam sebuah prasasti," kata dia. Di salah satu titik lokasi penggalian ada satu lubang besar sedalam tiga meter, yang di dasarnya ada susunan batu.
Menurut rencana, ekskavasi yang melibatkan lima arkeolog tersebut akan berlangsung selama beberapa hari. Penelitian dan penggalian di Situs Ngurawan dilakukan setelah warga sekitar sering menemukan benda-benda kuno yang diduga merupakan peninggalan kerajaan pada masa lalu seperti umpak, yoni, tembikar kuno, ambang pintu, panil relief, dan "jobong sumuran". Di wilayah tersebut juga terdapat arca Nandi (lembu), arca Dewi Parwati, Jaladuwara (saluran air), dan miniatur candi. Warga juga menemukan susunan batu bata berbentuk pondasi dan patung kuno.
ADVERTISEMENT
Nagarakretagama dan Kidung Harsawijaya menyebutkan Jayakatwang adalah keturunan Kertajaya raja terakhir Kadiri. Dikisahkan pada tahun 1222 Ken Arok mengalahkan Kertajaya. Sejak itu Kadiri menjadi bawahan Singhasari di mana sebagai bupatinya adalah Jayasabha putra Kertajaya. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya yang bernama Sastrajaya. Pada tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya, yaitu Jayakatwang.
Mungkin Sastrajaya menikah dengan saudara perempuan Wisnuwardhana, karena dalam prasasti Mula Malurung Jayakatwang disebut sebagai keponakan Seminingrat (nama lain Wisnuwardhana). Prasasti itu juga menyebutkan nama istri Jayakatwang adalah Turukbali putri Seminingrat. Dari prasasti Kudadu diketahui Jayakatwang memiliki putra bernama Ardharaja, yang menjadi menantu Kertanagara. Jadi, hubungan antara Jayakatwang dengan Kertanagara adalah sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan.
Hal yang perlu diluruskan dalam sejarah adalah pandangan bahwa Jayakatwang adalah seorang pemberontak, karena kalau merunut sejarah Pararaton dan Kidung Harsawijaya menceritakan Jayakatwang menyimpan dendam karena leluhurnya (Kertajaya) dikalahkan Ken Arok pendiri Singhasari. Suatu hari ia menerima kedatangan Wirondaya putra Aria Wiraraja yang menyampaikan surat dari ayahnya, berisi anjuran supaya Jayakatwang segera memberontak karena saat itu Singhasari sedang dalam keadaan kosong, ditinggal sebagian besar pasukannya ke luar Jawa. Adapun Aria Wiraraja adalah mantan pejabat Singhasari yang dimutasi ke Sumenep karena dianggap sebagai penentang politik Kertanagara. Jayakatwang melaksanakan saran Aria Wiraraja.
ADVERTISEMENT
Ia mengirim pasukan kecil yang dipimpin Jaran Guyang menyerbu Singhasari dari utara. Mendengar hal itu, Kertanagara segera mengirim pasukan untuk menghadapi yang dipimpin oleh menantunya, bernama Raden Wijaya. Pasukan Jaran Guyang berhasil dikalahkan. Namun sesungguhnya pasukan kecil ini hanya bersifat pancingan supaya pertahanan kota Singhasari kosong. Pasukan kedua Jayakatwang menyerang Singhasari dari arah selatan dipimpin oleh Patih Mahisa Mundarang. Dalam serangan tak terduga ini, Kertanagara tewas di dalam istananya.
Menurut prasasti Kudadu, Ardharaja putra Jayakatwang yang tinggal di Singhasari bersama istrinya, ikut serta dalam pasukan Raden Wijaya. Tentu saja ia berada dlam posisi sulit karena harus menghadapi pasukan ayahnya sendiri. Ketika mengetahui kekalahan Singhasari, Ardaraja berbalik meninggalkan Raden Wijaya dan memilih bergabung dengan pasukan Gelang-Gelang.
ADVERTISEMENT
Jadi Justru Sebenarnya Jayakatwang ini menuntut balas karena dulu kerajaan leluhurnya yaitu kerajaan Kadiri dikalahkan oleh Ken Arok Raja Singosari (Singhasari). Peristiwa kehancuran Singhasari terjadi tahun 1292. Jayakatwang lalu menjadi raja, dengan Kadiri sebagai pusat pemerintahannya. Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya yang datang menyerahkan diri. Raden Wijaya kemudian diberi Hutan Tarik untuk dibuka menjadi kawasan wisata perburuan.
Sesungguhnya Aria Wiraraja telah berbalik melawan Jayakatwang. Saat itu ia ganti membantu Raden Wijaya untuk merebut kembali takhta peninggalan mertuanya. Pada tahun 1293 pasukan Mongol datang untuk menghukum Kertanagara yang telah berani menyakiti utusan Kubilai Khan tahun 1289. Pasukan Mongol tersebut diterima Raden Wijaya di desanya yang bernama Majapahit. Raden Wijaya yang mengaku sebagai ahli waris Kertanagara bersedia menyerahkan diri kepada Kubilai Khan asalkan terlebih dahulu dibantu mengalahkan Jayakatwang.
ADVERTISEMENT
Berita Cina menyebutkan perang terjadi pada tanggal 20 Maret 1293. Gabungan pasukan Mongol dan Majapahit menggempur kota Kadiri sejak pagi hari. Sekitar 5000 orang Kadiri tewas menjadi korban. Akhirnya pada sore harinya, Jayakatwang menyerah dan ditawan di atas kapal Mongol. Dikisahkan kemudian pasukan Mongol ganti diserang balik oleh pihak Majapahit untuk diusir keluar dari tanah Jawa. Sebelum meninggalkan Jawa, pihak Mongol sempat menghukum mati Jayakatwang dan Ardharaja di atas kapal mereka.
Menurut kitab Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama, Jayakatwang yang telah menyerah lalu ditawan di benteng pertahanan Mongol di Hujung Galuh. Menurut Pararaton dan Kidung Harsawijaya, ia meninggal di dalam tahanan penjara Hujung Galuh setelah menyelesaikan sebuah karya sastra berjudul Kidung Wukir Polaman.
ADVERTISEMENT