Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Meramu Metafora dan Ironi dalam Menulis Puisi
25 Januari 2022 10:34 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari arif gumantia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tak bisa kita pungkiri, bahwa saat-saat ini terutama dengan maraknya media sosial, kebanyakan orang beranggapan bahwa puisi memiliki image yang buruk, tak lebih dari sekumpulan kata-kata aneh yang tak dimengerti, ungkapan perasaan mendayu-ndayu, atau kalimat-kalimat putus asa penuh tanda seru, hingga beranggapan bahwa puisi tidak ada hubungannya dengan kehidupan. Hal demikian itu tentu anggapan yang salah karena adanya kesalahpahaman.
ADVERTISEMENT
“Puisi” berasal dari kata Yunani “poiesis”—“poiein”, yang artinya “menemukan”—“menciptakan”. Sebagai penemuan-penciptaan, puisi tentu soal penghayatan, pertanyaan terhadap realitas dalam diri maupun di luar diri. dan bagaimana mencari jawabannya. Hal ini membuat puisi selalu relevan bagi kehidupan, bahkan signifikan atau penting. Jawaban-jawaban atau realitas-realitas baru yang ditemukan dalam proses penghayatan itu tentu belum terbahasakan, sehingga dibutuhkan metafor-metafor yang diciptakan melalui penukaran, pengubahan tanda, atau analogi dari aset bahasa berdasarkan prinsip-prinsip similaritas-dissimilaritas, yang ketepatan dan kebermaknaan merupakan taruhannya. Puitik adalah kata sifat bagi puisi atau hal-hal yang berkaitan dengan puisi. Sebagai kata benda, puitik adalah praktik menulis puisi atau komposisi puitik, risalah mengenai sifat, bentuk, dan hukum puisi.
Metafor adalah kreativitas pertama dalam puisi, untuk mengomunikasikan kebaruan-kabaruan itu, masih dibutuhkan penemuan-penciptaan strategi-strategi penyampaian dengan mengeksplorasi dan mengeksploitasi daya tarik logos, ethos, dan pathos, dari bentuk, gaya, sampai irama dan rima untuk dapat dipahami, diterima, diingat oleh pembaca, dan pada akhirnya menggerakkan pembaca, mempengaruhi kesadaran dan keputusan tindakan mereka. Karena relevan dengan kehidupan, maka metaphor-metafor yang diciptakan haruslah dekat dengan kehidupan dan tidak menjauhkan dari kehidupan, seperti anggapan salah kaprah yang selama ini terjadi, semakin rumit metafor maka semakin bagus puisi tersebut, selain itu karena puisi adalah bagian dari seni tentu Metafor tersebut mempunyai nilai estetika.
ADVERTISEMENT
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) me·ta·fo·ra /métafora/ didefinisikan sebagai "pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan.[1] , misal tulang punggung dalam kalimat "pemuda adalah tulang punggung negara".Metafora adalah majas (gaya bahasa) yg membandingkan sesuatu dengan yang lain secara langsung. Metafora adalah gaya bahasa perbandingan. Dengan kalimat yang singkat, metafora adalah mengungkapkan ungkapan secara tidak langsung berupa perbandingan analogis.
Kreatifitas penciptaan metafor-metafor ini dipadukan dengan eksplorasi dan eksploitasi Logos (pernyataan-pernyataan yang dapat kita logika), Ethos (menarik perhatian pembaca puisi tersebut sehingga bisa membangkitakan imajinasi, inspirasi, dan mempengaruhi kesadaran atau
), dan Pathos (membangun hubungan emosional/perasaan antara penyair dan pembacanya, hingga tergerak untuk menafsirkan makna puisi tersebut).
ADVERTISEMENT
Kreatifitas selanjutnya adalah ironi. Menurut Sapardi Djoko Damono ironi inilah sebenarnya terletak inti puisi, Sapardi menyebutnya sebagai : “bilang begini, maksudnya begitu”. Penyair menyampaikan sesuatu gagasan tetapi cara penyampaiannya dengan menggunakan peranti bahasa yang berupa metafora, personifikasi, dan ironi sehingga pembaca harus menafsirkan makna yang tersirat dari larik larik puisi tersebut.dan terkadang puisi puisi tersebut bisa menjadi puisi parabel atau nasehat bagi pembacanya. Di sini diperlukan kecerdasan pembaca untuk menafsirkan puisi bukan hanya apa yang tersurat, tetapi juga apa yang tersirat, hingga bisa menggali gagasan dan amanat puisi yang ingin disampaikan penyair.
Sapardi memberi contoh seperti soneta yang ditulis Chairil Anwar “Kabar dari Laut” :
…………………………..
Hidup berlangsung antara buritan dan kemudi
ADVERTISEMENT
Pembatasan Cuma tambah menyatukan kenang
Dan tawa gila pada wiski tercermin tenang.
…………………………………….
Kata kata yang dipilih Chairil Anwar mengekspresikan gejolak emosi yang kuat, dan menggunakan perumpamaan atau ibarat bahwa hidup berlangsung antara buritan dan kemudi. Ada contoh simile dan metafora pada Puisi WS. Rendra :
………………………..
Dadanya bagai daun talas yang lebar
Dengan keringat berpercikan
Ia selalu pasti sabar dan sederhana
Tangannya yang kuat mengolah nasibnya
…………………………..
Penyair menggunakan kata bagai untuk membandingkan dua hal, dadanya bagai daun talas yang lebar. Dada petani dan daun talas. Penyair menggunakan metafora atau perbandingan : dua hal dibandingkan dengan maksud menjelaskan maknanya. Tangannya yang kuat mengolah nasibnya, nasib yang abstrak, dianggap sebagai sesuatu yang kongkret hingga bisa diolah seperti sawah.
ADVERTISEMENT
Perkembangan puisi erat kaitannya dengan perkembangan bahasa, oleh karena itu Penyair harus cermat dalam memilih kata dan gaya bahasa. Penyair memang sering dikatakan bisa menciptakan bahasa ‘baru’ karena memiliki licentia poetica atau hak khusus dalam menulis sastra. Setidaknya mampu dan memiliki hak untuk menciptakan ungkapan baru, Atau sebaliknya, penyair bisa juga kembali ke bahasa klasik untuk mengusahakan kecermatan ekspresi seperti yang dilakukan oleh penyair Amir Hamzah.
Di kebudayaan manapun di belahan dunia ini puisi banyak ditulis sebagai bagian dari simpati kepada orang susah. Sebagai contoh puisi Toto Sudarto Bachtiar “Gadis peminta-minta”
Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
……………………….
Duniamu lebih tinggi dari menara katedral
ADVERTISEMENT
Melintas-lintas di atas air kotor, tetapi yang begitu kau hafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku
…………………
Sajak yang ditulis tahun 1955 itu bisa dianggap mewakili puisi tahun 50-an yang banyak mengungkapkan simpati penyair terhadap orang miskin.
atau puisi dari Wiji Thukul, dengan metafora seperti judul puisinya "Bunga dan Tembok", rakyat jelata dimetaforakan sebagai bunga dan tirani penguasa dimetaforakan sebagai tembok
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Berbicara tentang puisi tentu tidak pernah lepas tentang tema cinta, pengalaman yang sangat merepotkan kita, hingga para penyair manapun sejak penciptaan puisi klasik sampai sekarang sering menciptakan puisi dengan tema cinta.
ADVERTISEMENT
Seperti Puisi Legendaris Karya Sapardi Djoko Damono ini :
“aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
Puisi juga bisa digunakan oleh penyairnya untuk memperlihatkan sikap hidupnya, baik dengan teknik menggunakan gaya ungkap prosa liris atau puisi tentang peristiwa . Dari paparan di atas terlihat kedekatan atau relevansi puisi dengan kehidupan, sehingga tugas para penyair adalah berusaha menciptakan kreatifitas-kreatifitas , dan teknik mengeksplorasi kata, bahasa, diksi agar menjadi puisi yang dekat dengan kehidupan.